Jelas bahwa pihak imigrasi tidak punya wewenang untuk mengungkit-ungkit soal pajak, tetapi meletakkan pernyataan tentang Bali yang ramah LGBT pada butir pertama tiada berbeda dengan memberikan senjata bagi lawan. Konyol (untung saya tidak salah tekan huruf, karena huruf y dan t bertetangga di papan tik)!
Memang jelas bahwa poin itu merujuk pada cuitan Gray, tetapi harus diwaspadai lantaran ia pintar memanfaatkan situasi. Jangankan situasi, siniasi saja dapat ia olah. Akibatnya fatal. Gray pun enggan melirik sanksi atas pelanggaran Pasal 122 huruf (a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Pada akhirnya, si magadir petantang-petenteng lagi. Pada mulanya menuding warga Indonesia rasis, sekarang menuduh dirinya dideportasi gara-gara pernyataannya tentang LGBT. Memang bukan salah Gray sepenuhnya, sebab pihak imigrasi juga agak keliru. Sedikit, sih, tetapi fatal.
Sungguh, saya kesal. Saya terangsang untuk misuh-misuh lagi, padahal saya capek. Letih hati saya melihat negara kita jadi bahan bualan turis; peraturan kita jadi bulan-bulanan wisatawan; dan Undang-Undang yang disusun setengah mampus dan dibiayai dari anggaran negara yang tidak sedikit jadi bahan olok-olokan Magadir Gray. Huh!
Mau tidak mau, saya terpaksa mengambil kuda-kuda ala bocah warnet.
Duhai Surabi Tutung, baca juga poin kedua. Jangan comot poin pertama saja. Anda itu masuk ke negeri kami, bikin niaga virtual di sini, jual bukel di sini, ogah bayar pajak, menghasut WNA lain untuk menyerbu Bali, kasih rekomendasi agen, biaya konsultasi mahal, lalu mendadak LGBT dikau jadikan alasan. Itu klise, Tahu Bulat Digoreng Dadakan!
Tamu memang raja, Kerak Telor, tetapi bukan tamu seperti Anda. Saya kasih satu pepatah, ya. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Catat ini: langit dijunjung. Bukan, ludah dilepeh!
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H