Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah NU dan Muhammadiyah Berbeda?

19 Desember 2020   18:42 Diperbarui: 20 Desember 2020   07:30 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Olah Pribadi

Matahari rebah ke barat ketika saya menginjak pelataran warkop Kang Mamat. Dua orang tengah asyik berpolitik, bersaing mengatur sebuah kerajaan di papan catur, serta bekerja tanpa kata menggerakkan bidak dan perwira. Dua orang lainnya sibuk baku debat. Adapun Kang Mamat, barista plus pramusaji, cengar-cengir menyambut kedatangan saya.

Tatkala meletakkan gelas kopi, Kang Mamat langsung menodong saya dengan pertanyaan yang menohok. "Daeng anggota NU atau Muhammadiyah?"

Saya tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Kebiasaan yang taklazim saya lakukan. Orang-orang yang sering nongkrong di warkop Kang Mamat tahu benar bahwa saya suka ceplas-ceplos. Kali ini saya menahan diri agar tidak spontan menjawab. Saya takut jebakan betmen.

Kang Mamat tidak membiarkan saya leluasa bernapas. Ia kembali bertanya. "Benarkah NU dan Muhammadiyah itu berbeda?"

Dua orang yang tengah asyik menunggang kuda dan mengarak pion serentak berhenti. Dua orang yang tengah sibuk berdebat mendadak berhenti. Lima pasang mata tertuju kepada saya. Lima pasang mata itu bersinar laksana mata jaksa menuntut jawaban terdakwa.

Tidak ingin berpanjang lebar mendaras perkara kunut dan tidak kunut, berapa jumlah rakaat salat tarawih, atau doa iftitah mana yang paling tepat, saya mencari jalan jawab yang lain. Tidak. Saya tidak ingin berputar-putar dalam kitaran perbedaan. Saya lebih ingin hanyut dalam pusaran persamaan.

Saya paham bahwa ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, tetapi saya juga tahu bahwa banyak persamaan di antara dua ormas tersebut. Perbedaan itu sangat berasa di tataran akar rumput. Perbedaan yang sesekali memantik percik sengkarut. Malahan, telingkah tidak perlu.

Lalu terlintas satu kejadian yang mengendap di ingatan pendek saya.

Syahdan, begitu ujar saya membuka selantun kisah, suatu ketika Buya Hamka dan Kiai Idham Chalid sekapal saat perjalanan haji ke Mekah. Dua ulama karismatik tersebut adalah tokoh besar dua ormas Islam di Indonesia. Buya Hamka petinggi Muhammadiyah, sedangkan Kiai Idham pemuka NU.

Pada Subuh pertama dalam perjalanan, Kiai Idham memimpin jemaah. Praktik membaca doa kunut pada rakaat kedua sontak beliau tinggalkan. Seusai salat, beliau menjawab kegelisahan makmum dari kalangan NU yang merasa janggal karena Kiai Idham tidak berkunut.

Kiai Idham bertutur dengan lembut. "Saya tidak membaca kunut karena saya tahu di belakang saya ada Buya Hamka. Kita semua tahu bahwa beliau tidak berkunut. Saya tidak mau memaksa orang yang tidak berkunut agar ikut membaca kunut," tutur beliau.

Keesokan harinya, giliran Buya Hamka yang mengimami salat Subuh. Ndilalah, beliau yang lazim tidak membaca kunut sesudah iktidal pada rakat kedua salat Subuh, kali ini membaca doa kunut dengan fasih dan lancar. Jemaah pun bertanya-tanya.

Buya Hamka berucap dengan lembut. "Saya membaca kunut karena saya tahu di belakang saya ada Kiai Idham. Kita semua tahu bahwa beliau berkunut. Saya tidak mau memaksa orang yang berkunut untuk tidak membaca kunut," ucap beliau.

Lima pasang mata itu makin berkilat-kilat. Mereka seakan-akan tidak puas dengan kisah yang baru saja saya tuturkan. Mereka sepertinya masih penasaran apakah saya membenarkan ada atau tidaknya perbedaan antara NU dan Muhammadiyah.

"Tadi kami berdebat soal Front Pembela Islam," kata Pak Tarkim agak sengit, "lalu Kang Mamat mengalihkan pembicaraan pada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Saya tahu, Daeng ingin menegaskan bahwa perbedaan itu pengindah kebersamaan." Ia berhenti sejenak, ambil napas panjang dan lama, lalu berkata, "Tetapi kisah sampeyan tidak menjawab pertanyaan."

Saya tidak mau berpayah-payah mengambil jalan kilah. Kali ini saya tuturkan sejalin kisah tentang jawaban Gus Dur tatkala dicecar pertanyaan oleh jurnalis. Kala itu, Gus Dur baru saja bersandar ke tembok seusai salat Magrib.

Setelah sedikit berbasa-basi, seorang wartawan mengajukan pertanyaan yang amat serius. "Gus, bagaimana pandangan Islam tentang Indonesia yang memilih bentuk negara Pancasila, bukan negara Islam?"

Gus Dur balik bertanya. "Menurut siapa dulu, NU atau Muhammadiyah?"

"Menurut NU, Gus."

Gus Dur menjawab sangat lugas. Ringkas dan jelas. "Hukumnya boleh. Bentuk negara itu hanya wasilah atau perantara, bukan ghayah atau tujuan."

"Kalau menurut Muhammadiyah?"

Gus Dur menjawab singkat, "Sama!"

Sang wartawan merasa tidak puas. Ia kembali menyorongkan pertanyaan, "Boleh tidak melawan Pancasila, Gus? Bukan Al-Qur'an, kan?"

"Menurut NU atau Muhammadiyah?" tanya Gus Dur.

"Coba menurut Muhammadiyah, Gus."

"Tidak boleh," ucap Gus Dur amat tegas. "Pancasila itu bagian dari kesepakatan. Kesepakatan itu inti dari perjanjian. Islam mengecam keras perusak janji!"

"Kalau menurut NU?"

Gus Dur buru-buru menjawab, "Sama!"

Sang wartawan mulai dongkol. "Jawaban Gus Dur selalu sama," katanya mulai agak sewot, "kalau memang pandangan NU dan Muhammadiyah sama, buat apa Gus Dur meminta kami memilih jawaban menurut NU atau Muhammadiyah?"

"Kita mesti mendudukkan pemikiran organisasi para ulama itu dengan benar, Mas," tutur Gus Dur  dengan santai dan santun. "Nggak boleh serampangan!"

Para wartawan serempak mendesak. "Serampangan bagaimana?"

"Ajaran Muhammadiyah itu," kata Gus Dur dalam tempo yang pelan dan tegas, "merujuk langsung kepada Rasulullah!"

Para jurnalis kembali bertanya, "Kalau NU?"

Gus Dur menjawab dengan satu kata, "Sama!"

Hening. Petang di pelataran warkop Kang Mamat sontak senyap. Lima pasang mata seakan-akan hendak menelan tubuh saya dalam sekali teguk. Saya terpaksa membeberkan rahasia besar soal dua kisah yang saya pulung dari berbagai sumber itu.

Saya sejatinya ingin mempertegas bahwa NU dan Muhammadiyah itu sama. Lantas, saya ingin mengudar pertanyaan bernada humor sufistik lain. Saya sadar, makin hari makin banyak orang yang kehilangan selera humor. "Kecuali kalau Kang Mamat ke Madura dan menanyakan apa agama warga Madura."

Kang Mamat menatap saya dengan pandangan menyelidik. "Kira-kira apa jawabannya?"

"Konon," jawab saya, "sembilan puluh lima persen penduduk asli Madura beragama Islam."

"Sisanya?" tanya Pak Tarkim.

Saya segera menjawab, "Muhammadiyah!"

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun