Buya Hamka berucap dengan lembut. "Saya membaca kunut karena saya tahu di belakang saya ada Kiai Idham. Kita semua tahu bahwa beliau berkunut. Saya tidak mau memaksa orang yang berkunut untuk tidak membaca kunut," ucap beliau.
Lima pasang mata itu makin berkilat-kilat. Mereka seakan-akan tidak puas dengan kisah yang baru saja saya tuturkan. Mereka sepertinya masih penasaran apakah saya membenarkan ada atau tidaknya perbedaan antara NU dan Muhammadiyah.
"Tadi kami berdebat soal Front Pembela Islam," kata Pak Tarkim agak sengit, "lalu Kang Mamat mengalihkan pembicaraan pada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Saya tahu, Daeng ingin menegaskan bahwa perbedaan itu pengindah kebersamaan." Ia berhenti sejenak, ambil napas panjang dan lama, lalu berkata, "Tetapi kisah sampeyan tidak menjawab pertanyaan."
Saya tidak mau berpayah-payah mengambil jalan kilah. Kali ini saya tuturkan sejalin kisah tentang jawaban Gus Dur tatkala dicecar pertanyaan oleh jurnalis. Kala itu, Gus Dur baru saja bersandar ke tembok seusai salat Magrib.
Setelah sedikit berbasa-basi, seorang wartawan mengajukan pertanyaan yang amat serius. "Gus, bagaimana pandangan Islam tentang Indonesia yang memilih bentuk negara Pancasila, bukan negara Islam?"
Gus Dur balik bertanya. "Menurut siapa dulu, NU atau Muhammadiyah?"
"Menurut NU, Gus."
Gus Dur menjawab sangat lugas. Ringkas dan jelas. "Hukumnya boleh. Bentuk negara itu hanya wasilah atau perantara, bukan ghayah atau tujuan."
"Kalau menurut Muhammadiyah?"
Gus Dur menjawab singkat, "Sama!"
Sang wartawan merasa tidak puas. Ia kembali menyorongkan pertanyaan, "Boleh tidak melawan Pancasila, Gus? Bukan Al-Qur'an, kan?"
"Menurut NU atau Muhammadiyah?" tanya Gus Dur.