"Coba menurut Muhammadiyah, Gus."
"Tidak boleh," ucap Gus Dur amat tegas. "Pancasila itu bagian dari kesepakatan. Kesepakatan itu inti dari perjanjian. Islam mengecam keras perusak janji!"
"Kalau menurut NU?"
Gus Dur buru-buru menjawab, "Sama!"
Sang wartawan mulai dongkol. "Jawaban Gus Dur selalu sama," katanya mulai agak sewot, "kalau memang pandangan NU dan Muhammadiyah sama, buat apa Gus Dur meminta kami memilih jawaban menurut NU atau Muhammadiyah?"
"Kita mesti mendudukkan pemikiran organisasi para ulama itu dengan benar, Mas," tutur Gus Dur  dengan santai dan santun. "Nggak boleh serampangan!"
Para wartawan serempak mendesak. "Serampangan bagaimana?"
"Ajaran Muhammadiyah itu," kata Gus Dur dalam tempo yang pelan dan tegas, "merujuk langsung kepada Rasulullah!"
Para jurnalis kembali bertanya, "Kalau NU?"
Gus Dur menjawab dengan satu kata, "Sama!"
Hening. Petang di pelataran warkop Kang Mamat sontak senyap. Lima pasang mata seakan-akan hendak menelan tubuh saya dalam sekali teguk. Saya terpaksa membeberkan rahasia besar soal dua kisah yang saya pulung dari berbagai sumber itu.
Saya sejatinya ingin mempertegas bahwa NU dan Muhammadiyah itu sama. Lantas, saya ingin mengudar pertanyaan bernada humor sufistik lain. Saya sadar, makin hari makin banyak orang yang kehilangan selera humor. "Kecuali kalau Kang Mamat ke Madura dan menanyakan apa agama warga Madura."