Apa sebenarnya yang kita inginkan sehingga kita menulis sesuatu? Pasti ada alasan sehingga kita tergerak menulis sesuatu. Puisi, misalnya, bisa saja lahir dari rangkaian rasa kesal dan kecewa. Artikel lepas, misalnya, mungkin saja lahir dari seruntun rasa cemas dan gelisah.
Ketika imajinasi kita nyalang ke mana-mana, benak merancang kerangka, lantas jemari menari lincah di atas papan tombol, sebenarnya saat itu kita sedang bermain-main dengan gagasan. Â Â
Nah, gagasanlah yang sejatinya kita tuangkan ke dalam tulisan. Sederhananya, gagasan ibarat bahan dan bumbu masakan. Ihwal bagaimana menghasilkan tulisan yang renyah dan gurih persis seperti kemampuan mengolah bahan dan bumbu menjadi masakan yang sedap dan bergizi.
Tatkala kita tuangkan gagasan ke dalam kalimat, pada saat itu kita tengah berinteraksi dengan pembaca. Komunikasi terbangun, kesadaran terjaga. Itu berarti bahwa gagasan bukanlah benda mati yang nisannya bertebaran di atas kertas. Sesungguhnya gagasan adalah makhluk hidup yang tak kasatmata. Begitu pembaca mulai membaca tulisan kita maka pada saat bersamaan gagasan kita bergerak memasuki benaknya.
Di sinilah pentingnya kita ajukan pertanyaan kepada hati kita. Apakah pembaca akan kita suguhi gagasan basi dalam wacana amburadul? Tentu kita tidak sesadis itu. Bagi saya, asal menulis saja. Tidak masalah berprinsip seperti itu asalkan hasilnya tidak kita pajang di ruang publik. Simpan saja tulisan asal-asalan kita di garasi gawai atau di lembar diari, lalu kita baca sendiri.
Pada saat menulis sesuatu, sebenarnya kita sedang membagikan pemikiran, menyampaikan pesan, atau mengungkapkan perasaan. Peranti "bumbunya" bisa situasional atau emosional, peranti "bahannya" bisa sosial atau budaya. Boleh jadi gagasan yang kita tulis sudah basi atau kedaluarsa, tetapi karena kita pandai meracik gagasan itu maka hasilnya akan berbeda.
Mengulas cinta, misalnya. Gagasan tentang cinta sudah ditulis oleh orang lain sejak dahulu kala. Ribuan tahun lalu sudah ada yang menulis tentang cinta. Dari yang menyek-menyek sampai yang adiluhung. Kita jelas bukan orang pertama yang punya gagasan tentang cinta dan bukan pula orang pertama yang menuliskannya.
Penulis adalah Penabung yang Cergas
Asam di gunung ikan di laut, bertemu di belanga jua. Itu betul. Akan tetapi, kita membutuhkan orang lain agar bisa menaruh asam dan ikan dalam satu belanga. Bahkan garam di tambak dan ikan di laut yang berdekatan saja agak repot kalau harus kita kumpulkan sendiri.
Artinya, penulis butuh orang lain agar dapat menemukan dan memainkan gagasan. Orang lain itu bisa teman, saudara, atau orang terdekat kita. Bisa juga orang asing yang tidak kita kenal atau belum pernah kita temui sebelumnya. Pintu gagasan juga banyak. Bisa dari berita di media, bisa dari kejadian sehari-hari, bisa dari mimpi. Bahkan, bisa dari benda mati.
Penulis yang hebat cenderung merangkap sebagai pendengar yang baik. Teman sedih, dengarkan. Teman ngomel, perhatikan. Jadi, dengarkan dan perhatikan saja. Jangan menjadi pembela yang jago sanggah atau hakim yang mahir menghukum.
Selanjutnya, dirikan bank gagasan. Tabung semua yang kita dengar ke dalam bank gagasan. Jauhkan kesombongan dangkal seperti merasa punya daya ingat yang kuat. Minat atas sesuatu yang baru saja dapat mengalihkan ingatan dari gagasan yang sebelumnya sudah kita temukan. Gagasan harus dicatat. Kita mesti punya bank gagasan tempat kita menabung ide.
Dengan demikian, penulis yang baik niscaya penabung yang sigap. Saat atasan di kantor marah-marah tanpa alasan jelas, tidak usah manyun atau cemberut sepanjang hari. Dengarkan omelan itu. Jangan simpan di hati karena kita mungkin akan sakit hati.
Lebih baik simpan ide itu di bank gagasan agar kapan-kapan bisa kita tuangkan ke dalam tulisan. Jika sudah luang dan ingin membalas omelan atasan yang tidak jelas juntrungannya itu, tulislah. Omelan lisan akan hilang dengan sendirinya selama tidak terekam, tetapi tulisan kita kemungkinan besar akan selalu ada dan bisa dibaca kapan saja.
Penulis adalah Petani yang Cekatan
Kadang kala gagasan seperti wangsit yang muncul tiba-tiba atau kita temukan tanpa sengaja. Dari mana pun asalnya, hal terbaik yang perlu kita lakukan justru menyemai gagasan itu agar dapat tumbuh menjadi bibit wacana.
Bukan berarti saya menganggap sumber gagasan itu tidak penting, bukan. Saya hanya ingin menyatakan bahwa gagasan sebanyak apa pun akan sia-sia jika tidak kita tebar di atas bedeng-bedeng persemaian.
Bagaimana cara menyemai gagasan agar tumbuh menjadi bibit wacana?Â
Ada satu trik yang bisa kita gunakan, yakni riset. Saya tidak akan menyodorkan angka sebagai sekian jumlah trik yang bisa kita coba satu demi satu. Cukup satu saja: riset. Namun, jangan remehkan manfaat riset bagi pengayaan gagasan. Riset ibarat pupuk bagi tanaman: menyuburkan dan memakmurkan.
Ketika ada calon pengantin yang bunuh diri karena merasa terberati uang mahar atau bea pesta, kayakan gagasan dengan mengulik atau memeras Gugel. Kalau perlu, ubek-ubek perpustakaan. Cari berapa banyak orang yang menghabisi hidupnya pas sebelum menikah. Cari titik unik yang layak disuguhkan kepada khalayak.
Ketika kita mendengar kabar tentang orangtua yang terpaksa mencuri gawai cerdas hanya demi memenuhi kebutuhan belajar daring anaknya, lalu kita pilih sebagai gagasan pembingkai wacana, carilah data tentang kesulitan orangtua memenuhi tuntutan pembelajaran jarak jauh. Luangkan waktu sejam atau dua jam untuk bermain-main dengan data.
Penulis memang mesti menjadi petani ide yang tabah: tidak buru-buru menyalakan laptop dan meramu tulisan, tidak tergesa-gesa merampungkan tulisan, dan tidak sembrono menyodorkan tulisan ke hadapan sidang pembaca.
Lihatlah petani yang menyemai bibit padi. Tidak semua bibit layak ditandur atau ditanam di sawah. Penulis juga begitu. Sekalipun gagasan sudah crot di kepala, jangan buru-buru main plung seperti orang kebelet berak. Nanti setelah benar-benar plong baru mulai menulis. Trik ini juga akan sangat membantu kalian agar terhindar dari "jalan buntu" saat menulis.
Penulis adalah Pedagang yang Cerdas
Setelah gagasan kita temukan, tersimpan dengan rapi di bank gagasan, lalu tersemai dengan subur di ladang riset, saatnya seorang penulis menjadi pedagang yang pintar. Mengapa harus amsal pedagang? Ini terkait dengan sudut pandang "daya jual" gagasan.
Calon pengantin yang bunuh diri tadi dapat kita jadikan sebagai contoh kasus. Setelah meriset ke sana kemari dan menemukan banyak varian data, saatnya kita tilik mana yang punya daya jual tinggi. Bisa jadi tilikan gagasan kita adalah kondisi psikologis, mungkin juga situasi di rimba permaharan dan perpestaan yang biayanya mencekik leher.
Orangtua yang mencuri gawai demi memenuhi kebutuhan belajar anaknya dapat juga kita pilih sebagai bahan uji coba menaksir barang a la pedagang. Kita harus pintar-pintar menguak sisi mana yang punya daya tawar tinggi di hadapan pembaca. Bisa perasaan orangtua yang terpepet kebijakan, bisa perdebatan tentang baik-buruk tindakan sang orangtua.
Trik ini akan berfungsi lebih baik jika kita punya keahlian "meragukan dan mempertanyakan". Ya, tiada beda dengan pedagang. Ia harus meragukan apakah seekor kambing akan laku atau tidak. Ia juga harus mempertanyakan kualitas kambing apakah sudah setara atau belum dengan harga jualnya. Bahkan, sudah memikirkan kompatriot dan kompetitor di pasar kambing.
Penulis adalah Pelukis Diri Sendiri
Ada orang yang diberkati dengan gilang-gemilang gagasan, tetapi tidak mampu menulis dengan baik. Gagasan itu hanya bertumbuh dan bertambah di kepala dan bikin sesak otak. Ada juga orang yang dianugerahi kerlap-kerlip ide sekaligus mampu menulis dengan baik. Gagasan di benaknya bergerak ke benak orang lain, terus bertumbuh dan bertambah, akhirnya berkembang menjadi sesuatu yang menggerakkan.
Tiap-tiap manusia dilimpahi keunikan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Tugas enteng kita hanya satu, menemukan keunikan itu dan mengungkitnya menjadi kelebihan. Dua penulis lagu dapat menghasilkan karya berbeda dari sumber inspirasi yang sama. Dua pelukis bisa menghasilkan gambar yang berbeda sekalipun yang dilukis berasal dari satu objek. Begitu pula dalam dunia tulis-menulis atau karang-mengarang.
Jika trik menjadi penabung yang cergas, petani yang cekatan, dan pedagang yang cerdas sudah kita jalani berkali-kali maka kita akan menemukan sendiri gaya, bentuk, dan karakter tulisan kita. Mula-mula kita bisa menjadi peniru, lambat laun kita menjadi diri sendiri.
Kalian mau memilih tipe mana saja, terserah. Tidak memilih satu tipe pun tidak apa-apa. Yang penting kalian menghindari hal terburuk yang kerap dilakukan oleh banyak penulis, yakni berlindung di balik perisai "yang penting menulis". O, tidak begitu. Sekarang sudah masanya kita memakai tameng "menulis yang penting"! [kp]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI