Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerindra Letih Gara-gara Teman Sendiri, Ndro

8 Juni 2019   19:10 Diperbarui: 9 Juni 2019   07:27 3432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andre Rosiade dan Capres Paslon 02 | Foto: wartaekonomi.co.id

Merasa dirongrong dari dalam, merasa digunting dalam lipatan, atau merasa disakiti teman sendiri dapat memacu psikosomatik atau sakit pikiran yang bisa memicu sakit fisik.

Tidak, saya tidak sedang menakut-nakuti. Dalam bahasa gaul, ini beneran. Anda bisa sakit kepala berat apabila merasa terus dirongrong dari dalam oleh teman sendiri. Anda bisa dilanda depresi gara-gara menyangka ditelikung teman sendiri.

Jika Anda disakiti lawan, sakitnya tidak seberapa. Jika Anda dikadali teman sendiri, sakitnya jauh dari tidak seberapa. Sakit pikiran gara-gara ulah lawan mudah disembuhkan, obat sakit pikiran karena merasa dilukai teman sendiri tidak jelas ke mana hendak dicari.

Itu sebabnya saya tidak merasa heran saat membaca berita Warta Ekonomi mengenai Andre Rosiade. Petinggi Partai Gerindra tersebut menegaskan bahwa Partai Gerindra sudah capek (kata baku: capai) melihat gaya berpolitik Partai Demokrat. 

Luka Lama Koalisi
Setelah Jokowi-JK menang dalam Pilpres 2019, pengusung kandidat Prabowo-Hatta merapatkan barisan. Mereka "gerah" setelah pendukung Jokowi-JK, pada 19 Mei 2014, sepakat membentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Akhirnya lahirlah Koalisi Merah Putih (KMP) pada 14 Juli 2014. Dengan kekuatan yang relatif dominan, KMP siap menjadi oposisi karena memang lebih kuat dibanding KIH. KMP didukung lima partai, yaitu Gerindra, Golkar, PAN, PPP, dan PKS dengan 292 kursi.

Sementara itu, KIH yang didukung PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI hanya menduduki 208 kursi. Adapun Partai Demokrat, dengan kekuatan 61 kursi di DPR, tidak bergabung ke dalam dua kolisi tersebut.

Semula jalinan pertemanan dalam KMP amat kuat. KMP berusaha menguasai parlemen dengan mengubah undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD-3). Sebelum DPR periode 2014-2019 dilantik, KMP berhasil memenangi perselisihan tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR.

KMP menghendaki Ketua DPR tidak otomatis dijabat oleh partai pemenang pemilu, tetapi dipilih melalui sistem paket. Hasilnya luar biasa. Kader-kader partai pendukung KMP menguasai 58 dari 63 kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan lainnya.

Tentu saja KIH meradang. Menurut hitung-hitungan kasar, dengan kursi sebanyak  44% di DPR, setidaknya kader-kader partai pengusung KIH memperoleh 22 kursi pimpinan DPR. Faktanya berbeda. KIH hanya memperoleh 5 jabatan pimpinan.

Garang pada masa awal. Begitu kondisi kubu KMP. Ada "bom waktu" yang tiba-tiba meledak sehingga fondasi koalisi retak. Tiga partai politik pendukung KMP hengkang. Kemudian, ketiga-tiganya bergabung dengan KIH untuk mendukung pemerintah. Ketiga partai tersebut adalah PAN, PG, dan PPP. KMP praktis tinggal dihuni oleh Gerindra dan PKS. 

Dari hari ke hari, tekanan oposisi atas pemerintah melemah. KMP lamban dalam mempersoalkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap berlawanan dengan visi partai-partai oposisi atau bertentangan dengan kepentingan rakyat. 

Belakangan, beberapa elite oposisi malah cenderung menjadi "Parlemen Media Sosial". Gejala ini setidaknya diwakili oleh Fadli Zon (Gerindra) dan Fahri Hamzah (mantan petinggi PKS).

Pengalaman Bersama Mantan
Namun, jangan dikira Gerindra pendendam. Mereka sangat pemaaf.

Golkar dan PPP memang seperti mantan yang tidak tahu jalan pulang, tetapi PAN akhirnya menjadi laksana cinta lama yang bersemi kembali. PAN bergabung dengan Koalisi Adil Makmur untuk mengusung Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019.

Adapun Partai Demokrat, semula bagaikan gebetan yang diam-diam ditaksir dari kejauhan, juga memutuskan bergabung dengan Koalisi Adil Makmur. Koalisi ini dari luar tampak gagah dan megah. Gerindra, PAN, dan PD dalam balutan nasionalisme, sementara PKS dalam balutan agamaisme.

Sayang sekali, Gerindra selaku "pemimpin geng" KAM sepertinya gamang. Pada satu sisi terlihat terlalu percaya kepada teman, pada sisi lain sangat protektif melindungi kepentingan sendiri. Persis bermain lepas tangkap, dilepas sendiri ditangkap sendiri. Mari kita kupas satu -satu.

Terlalu percaya kepada teman. Sudah tahu PAN pernah menelikung dan menyeberang ke kubu lawan, tetap saja diterima dan dipercaya sepenuh hati untuk bergabung dengan koalisi. Rasanya seperti menerima mantan yang pernah atau bahkan berkali-kali menyakiti. 

Akibatnya fatal. Gejala PAN bakal kembali menikam dari belakang mulai terlihat. Ketum PAN, sekaligus Ketua MPR, tampak asyik berhaha-hihi dengan Presiden Jokowi dalam sebuah acara di Istana Negara.

Interaksi sosial negatif karena hubungan pertemanan yang buruk sebenarnya berbahaya bagi kesehatan pikiran. Ujung-ujungnya memicu psikosomatik, lalu mengancam kesehatan fisik. Jika PAN benar-benar bergabung dengan kubu Jokowi, Gerindra akan merasa bagaikan menderita kadas dan kurap. Malunya tak seberapa, gatalnya yang tidak terkira.

Sejatinya, pertemanan buruk dapat mengatrol kadar protein yang menyebabkan peradangan. Bahkan, menurut riset yang dikabarkan CBS New York, interaksi sosial negatif gara-gara hubungan pertemanan buruk dapat memicu penyakit jantung, diabetes, dan kanker. Sungguh mengerikan.

Tidak heran jika Andre meraung. Bayangkan saja. PAN pernah menikam dari belakang, lalu diterima dengan lapang dada ketika kembali ke pelukan koalisi, kemudian lagi-lagi terlihat akan berkhianat. Rasanya seperti luka lama yang kembali bernanah.

Terlalu percaya pada teman baru. Gerindra jelas bahagia dan makin percaya diri ketika PD bergabung ke dalam koalisi. Bagaimanapun, pengalaman Pak SBY dua kali memenangi pilpres merupakan aset berharga bagi Gerindra. Sebut saja, kehadiran PD bak angin segar bagi hasrat menang yang tak kunjung tercapai.

Setelah gagal merontokkan karisma wong ndeso bernama Joko Widodo pada Pilpres 2014, Prabowo dan Gerindra tentu sangat berambisi melakukan revans alias penebusan kekalahan. Bagaimanapun, Prabowo tidak ingin kehilangan muka lagi. Itu sebabnya Gerindra senang hati menyambut kedatangan PD. 

Akan tetapi, Gerindra juga punya strategi. Tidak semua masukan teman baru dalam koalisi diterima mentah-mentah. Beberapa sodoran strategi PD ditampik setelah, sepertinya, ditapis dengan saringan bernama "suka-suka gue". Apalagi ada "tukang ngoceh" dari Demokrat yang kerap bikin belingsatan. Andi Arif namanya.

Nah, Andi Arif inilah yang sering menjadi api dalam sekam atau penggunjing dari dalam. Mula-mula ledekan Jenderal Kardus hingga ocehan terbaru tentang asal-muasal kekalahan Prabowo-Sandi. Ocehan terbaru itulah yang membuat kuping Andre seperti tersunu rokok. Sakit akibat gerunyam kader teman baru jelas bikin uring-uringan. Bikin sakit pikiran.

Terlalu percaya diri sendiri. Sekalipun sudah pernah merasakan kalah tarung di gelanggang pemilu, Prabowo dan Gerindra punya rasa percaya diri yang tiada tara. Sodoran cawapres hasil ijtimak ulama ditolak dengan tegas. Pak Anies Baswedan dipaksa menjomlo atau menjadi semacam orangtua tunggal bagi rakyat DKI Jakarta. Ketua BPN pun dipulung dari kalangan loyalis. Pendek kata, semua dari Gerindra.

Ketika indikasi kegagalan menguat dan kekalahan di depan mata, wajar apabila jajaran Gerindra kalut dan kalap. Uang emak-emak sudah terkumpul, sumbangan orang-orang miskin sudah tertumpuk, kekalahan kembali menerpa. 

Jangan dikira menerima kenyataan itu mudah, apalagi menerima kekalahan. Jangan disangka menghadapi kegagalan itu gampang, apalagi menghadapi kekalahan. Sekali saja sakit, apalagi berkali-kali.

Jangankan manusia, kondisi kejiwaan tikus saja rentan terhadap ketakstabilan emosi apabila menderita kegagalan. Melalui penelitian yang hasilnya disebarkan pada 1994, Albonetti dan Farabollini meriset sekawanan tikus jantan untuk mengetahui pengaruh stres akibat kekalahan berulang-ulang terhadap perilaku bersosial.

Hasilnya mengejutkan. Tikus yang pernah mengalami kekalahan berkali-kali cenderung kian sensitif. Satu kecurangan saja dapat memantik kegusaran, bahkan menyulut agresivitas berlebihan. Pada gilirannya, perasaan antipati menguasai hati sehingga kekalahan tidak diterima.

Tidak heran jika Andre galau membaca cuitan Andi Arif di Twitter. Sederhananya begini. Kalah dalam pemilihan Bupati saja menyakitkan, apalagi kalah dalam pemilihan Presiden. Ditambah lagi, kalah berkali-kali. Andre, juga petinggi Gerindra lainnya, pantas kecewa karena merasa dirojok teman sendiri.

Bukan apa-apa. Partai lain sejatinya hanya mendukung. Semua beban moral ditanggung oleh Gerindra. Calon Presiden dari Gerindra, Cawapres dari Gerindra, semua dari Gerindra. 

Masak partai lain yang hanya dimintai dukungan justru banyak bacot dalam menyikapi kegagalan. Sunguh kurang empatik dan tidak simpatik.

Membentengi Hati dari Depresi
Berdasarkan tilikan asal-asalan di atas, kita mestinya dapat memaklumi atau memahami pernyataan Andre. 

Jikalau boleh urun saran, sebaiknya sesama teman koalisi tidak cakar-cakaran. Jangan pula gontok-gontokan. Itu bisa jadi bahan tertawaan bagi orang luar, sekaligus modal sakit hati bagi orang dalam.

Sekalipun artikel ini hanya amatan abal-abal, barangkali Pak Andre dan teman sekoalisinya dapat menggali iktibar. Jangan tunggu hingga mengidap psikosomatik baru buru-buru mengobati hati. Seperti kita sadari bersama, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati.

Seyogianya Pak Andre dan teman sekoalisi, termasuk Pak Andi Arif, mengeja dan menafsir ulang petuah Aa Gym. Jagalah hati. Atau, memahami esensi pesan Meggy Z. Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Atau, menyelami saran saya. Tidak ada sakit yang enak, termasuk sakit gigi dan sakit hati.

Sebagai penutup, saya berharap agar Pak Andre dan teman sekoalisi lebih mengeratkan tali silaturahmi. Mumpung masih dalam suasana hangat Lebaran. Jangan galau, jangan risau. Apalagi mengusik atau mengusir teman sendiri. 

Sesungguhnya mencari seorang teman lebih sukar dibanding menemukan seribu musuh.

Meminjam kebiasaan Rocky Gerung yang belakangan gencar memakai kata Ndro, saya tutup artikel receh ini dengan sebuah permintaan kepada elite Partai Gerindra. Jangan capek, Ndro! [khrisna]

Rujukan:

  1. Kristine Jonhson (ed.). 22 April 2016. Study: 'Toxic Friendships' Can Lead To Serious Health Promblems. CBS New York. Diakses pada 8 Juni 2019 pukul 16:30 WIB. 
  2. M.E. Albonetti dan F. Farabollini. 30 Juni 1994. Social Stress by Refeated Defeat: Effects on Social Behaviour and Emotionality. Behavioural Brain Research Journal. Diakses pada 8 Juni 2019 pukul 16:45 WIB. 
  3. Warta Ekonomi. 7 Juni 2019. Capek dengan Gaya Politik Demokrat, Gerindra Beri Kritik Tajam. Diakses pada 7 Juni 2019 pukul 23:00 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun