Gonjang-ganjing politik terus terjadi. Perseteruan dua kubu peserta Pilpres 2019 bagai gelombang tak kenal surut. Gelombang itu menderu liar tidak peduli menumbuk karang atau menjilat pantai.
Rabu, 5 Juni 2019. Agus Harimurti Yudhoyono, putra Susilo Bambang Yudhoyono--Presiden ke-6 RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat, berlebaran ke Istana Bogor. Setelah itu, dilansir Detik.com, AHY menuju kediaman Megawati Soekarnoputri.
Pada hari yang sama, Ali Mochtar Ngabalin menyatakan bahwa Pemerintah berharap Partai Demokrat dan PAN segera bergabung dengan Koalisi Indonesia Kerja. Tujuannya, tutur Tenaga Ahli Kedeputian IV KSP, demi memperkuat dukungan parlemen kepada Pak Jokowi.
Keesokan harinya, Andre Rosiade (anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra) menyatakan bahwa Pak Jokowi juga ingin mengajak Gerindra bergabung dalam pemerintahan beliau. Bahkan, menurut Andre, Pak Jokowi menawarkan beberapa kursi menteri kepada Gerindra.
Lepas dari benar tidaknya polemik tersebut, titik silang polemiknya jelas. Pertama, ada yang mendengar ajakan bergabung dengan kubu lawan. Kedua, ada yang "terdengar" menawarkan jatah kursi menteri. Muara pertelingkahan atau perdebatan di antara dua kubu sudah terbabar lebar. Muaranya tiada lain adalah kekuasaan.
Menyoal Kekuatan Oposisi di Indonesia
Usia Republik Indonesia yang belum mencapai seabad merupakan alasan kuat mengapa kita masih harus banyak belajar dalam hal berdemokrasi. Patut kita camkan bahwa keberadaan partai oposisi di parlemen merupakan perkara yang penting. Tidak bisa dipandang remeh. Tidak dapat dilihat sebelah mata.
Supaya lebih terang benderang, mari kita ulik. Apakah oposisi itu? Oposisi kita serap dari bahasa Inggris, yakni dari kata opposition. Kata opposition sendiri berasal dari bahasa Latin, yakni oppnere, yang berarti "menentang, menolak, atau melawan". Dengan demikian, oposisi eksis selama menentang, menolak, atau melawan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan keinginan masyarakat.
Mengingat pentingnya peran oposisi dalam membangun bangsa, sekalipun kita masih dalam tahap belajar berdemokrasi, oposisi harus diperkuat. Selama kekuasaan itu dibangun oleh sekumpulan manusia, niscaya memiliki sejumlah kelemahan dan berpotensi melakukan kesalahan. Itu sebabnya kita butuh oposisi.
Mengapa kehadiran oposisi amat vital dalam menyegarkan dan menyehatkan iklim berdemokrasi di negara kita? Sebab, negara kita menganut sistem presidensial. Relasi antara eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (Parlemen) harus terjaga. Kebutuhan oposisi di parlemen sangat penting untuk menjalankan peran kontrol dan perimbangan (checks and balances) secara terlembaga.
Apakah tradisi oposisi kita kuat? Belum. Jangankan rakyat, banyak elite politik-baik di kubu oposisi maupun pendukung pemerintah--yang mengira laku oposisi adalah "asal beda" atau "yang penting menentang pemerintah". Tidak heran jika masih ada yang memahami oposisi sebagai "musuh pemerintah".
Padahal, oposisi merupakan partner pemerintah. Posisinya berhadap-hadapan dengan Presiden. Jadi kalau ada kebijakan pemerintah yang disangka keliru, panggil Presiden atau pembantunya. Jalankan fungsi pengawasan. Jika kebijakan melenceng, apalagi sampai melanggar hukum, bikin mosi tidak percaya atau hak lain yang dapat digunakan di parlemen.
Di atas kertas, sebenarnya kita punya peranti hukum terkait oposisi. Sesuai dengan Pasal 7a dan 7b Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen), DPR dapat mengajukan pemberhentian kepada MPR ketika Presiden melakukan pelanggaran HAM berat, tindak pidana kriminal, melanggar haluan negara, serta penyuapan.
Meski demikian, mengutip pendapat Subekti (2008, 373), prosesnya rumit karena harus melalui pemeriksaan Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, peluang pemakzulan presiden sangat kecil. Hal itu mengkhawatirkan karena dapat memicu kebuntuan politik (political deadlock), gara-gara tidak ada jalan keluar yang memungkinkan Pemerintah diberhentikan oleh parlemen.
Apa kehadiran oposisi bermanfaat? Jelas bermanfaat. Setidaknya ada dua manfaat oposisi. Pertama, melalui fungsi kontrol dan perimbangan, kekuasaan parlemen dicegah menjadi sebatas “membebek” pada pendapat atau kebijakan eksekutif.
Kedua, kekuatan oposisi dalam tubuh parlemen, jika benar-benar mampu menjadi kekuatan penyeimbang, justru dapat mengatrol kualitas pengawasan parlemen terhadap eksekutif. Lagi pula, konstitusi negara kita tidak pernah mengharamkan oposisi karena sistem oposisi merupakan salah satu ciri dari negara demokrasi.
Apa hubungannya dengan Pak Jokowi? Jelas ada hubungannya. Kalau Pak Jokowi menarik PAN dan PD ke dalam KIK, kekuatan oposisi pasti tergerus. Pak Jokowi bakal menguasai kira-kira 80% kursi di parlemen. Sungguh sangat kuat untuk membendung riak perlawanan, sekaligus mengikis peluang kontrol dari oposisi.
Apatah lagi kalau sampai menarik Gerindra. Alamat terancam keselamatan dan keberlangsungan demokrasi, sebab tidak ada oposisi di parlemen. Kondisi demikian sangat berbahaya. Maka dari itu, baik Pak Jokowi maupun Gerindra harus meyakini bahwa kekuatan oposisi dapat menjaga pelaksanaan negara demokrasi berjalan dengan baik dan demokratis.
Pak Jokowi Butuh Lawan Tangguh, Bukan Lawan Tanggung
Negara kita belum termasuk dalam kaum negara demokrasi modern. Jadi, tidak usah heran apabila pihak oposisi cenderung memahami laku oposan sebagai "asal berbeda" atau "asal berbicara". Akibatnya lebih dekat dengan "biang ribut" dibanding penyeimbang (balancer). Selain mengoceh di media massa, pihak oposisi juga getol "asal berbicara" di media sosial.
Selain itu, masyarakat kita masih labil. Secara psikologis, masyarakat kita belum dewasa dalam berbeda pendapat. Tidak heran apabila banyak yang menderita fanatisme buta. Masyarakat kita juga belum mahir memproduksi kekuatan melawan (contravailing forces). Kalaupun ada, sifatnya sporadis. Tiada beda dengan letup api tersiram gerimis. Asap ada, bara tiada.
Timbullah keraguan. Jikalau oposisi lemah, bagaimana kita berharap akan ada oposisi institusional yang efektif dalam mengawasi kewenangan eksekutif?
Setelah reformasi, praktik oposisi memang sedikit membaik, terutama ketika SBY berkuasa dan PDIP membaptis diri sebagai oposan. Hal itu lebih baik dibandingkan dengan keberadaan oposisi pada era Orde Baru. Namun, akan kembali memburuk apabila Gerindra "dirangkul dengan iming-iming kursi menteri".
Mari berandai-andai sejenak. Andaikan MK menolak gugatan Gerindra, mestinya Pak Jokowi teguh pendirian. Seperti kata beliau, "Tidak ada lagi yang saya takuti pada periode kedua." Jadi, jalan saja. Biarkan oposisi menguat supaya kontrol parlemen tetap terjaga.
Kegelisahan Seorang Warga
Lewat opini, Oposisi dalam Politik Indonesia (Kompas, 4 Juli 1998), Ignas Kleden mengajukan dua pertanyaan.
Pertama, apakah ketika politik tanpa melembagakan oposisi serupa Orde Baru maka masalah korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), tidak terulang? Faktanya korupsi masih marak. Makin banyak elite politik, baik lokal maupun nasional, yang tertangkap tangan menjadi "tikus" yang mengerat uang rakyat.
Kedua, apakah kekuasaan di Indonesia tidak membutuhkan oposisi yang secara resmi dan konsisten mengawasi pemerintah? Faktanya kita butuh. Hanya saja, pihak oposisi lebih aktif mengoceh di media sosial dibanding meminta pertanggungjawaban pemerintah ketika mereka merasa ada yang keliru.
Kedua pertanyaan itu sangat relevan diajukan pada hari ini. Gejala penurunan kualitas anggota parlemen saja sudah menyesakkan dada. Tidak sedikit parpol yang mengusung caleg hanya karena popularitas, bukan karena keunggulan diri, ketajaman visi, dan kegigihan misi. Belum lagi bekas narapidana korupsi yang dibiarkan tetap maju bertarung.
Kegelisahan Ignas Kleden sejatinya merupakan kegelisahan kolektif seluruh anak bangsa. Harus disadari bahwa eksistensi demokrasi di Indonesia masih jauh dari sempurna.
Jika Pak Jokowi benar-benar merangkul Gerindra, itu berarti beliau mengebiri kekuatan oposisi. Jika itu terjadi berarti Pak Jokowi menciptakan celah lebar bagi praktik politik yang mengerat hakikat demokrasi itu sendiri.
Dalam situasi seperti ini, ketika kita masih sibuk belajar berdemokrasi, penguatan kelompok oposisi merupakan kebutuhan mendesak. Atas dasar kebutuhan itulah sehingga Pak Jokowi berpeluang menjadi aktor perubahan.
Caranya mudah. Pertama, perkukuh jajaran dengan memilih "pembantu" yang seirama dengan semboyan "kerja, kerja, kerja". Kedua, perteguh oposisi dengan cara tidak mengebiri kekuatan oposisi.
Bagi Kuasa, Bukan Bagi Kursi
Salah satu konsep yang melatari kehadiran oposisi adalah konsep pembagian kekuasaan (division of power). Pemerintahan otoriter tidak mengakui pembagian kekuasaan.
Pembagian kekuasaan berarti penguatan demokrasi supaya kekuasaan tidak berada dalam genggaman seorang penguasa. Harus ada pihak yang mengawasi, yang mengontrol, dan yang menyeimbangkan. Pihak itu dari kubu oposisi.
Dengan demikian, hal utama yang penting dilakukan oleh Pak Jokowi adalah berbagi kekuasaan atau berbagi ruang kuasa dengan pihak oposisi. Jadi, bukan bagi-bagi kursi. Biarkan oposisi tumbuh subur. Biarkan oposisi melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik.
Tidak bisa dimungkiri, setidaknya ada dua ancaman yang mengintai Pak Jokowi kalau bersikeras menyisihkan kursi bagi Gerindra.
Pertama, tidak ada lawan tanding. Pak Jokowi akan kedodoran menakar hasil kerja tanpa kehadiran oposisi. Kedua, akan ada bara dalam sekam. Jika menteri hibah gagal bekerja dengan baik alamat terjadi pemecatan. Hasilnya, bertambahlah anggota Pasukan Sakit Hati.
Polemik tentang tawaran kursi menteri, yang belakangan ini santer terdengar, dapat membingungkan rakyat dan elite. Polemik itu harus segera disudahi. Biarkan oposisi menguat sehingga masyarakat tidak menganggap parlemen sebagai lembaga pelengkap yang sebenarnya tidak perlu ada.
Sementara itu, pihak Gerindra--andai gugatan di MK tidak sesuai harapan--tidak perlu takut menjadi oposisi. Tanggalkanlah sejenak tabiat merasa perlu terus berada dalam lingkaran kekuasaan. Tidak lama, kok, cuma lima tahun.
Gerindra lebih baik fokus pada upaya yang tengah diperjuangkan di MK daripada mendebat sesuatu yang tidak perlu. Gerindra lebih baik mengasah kemampuan partai dalam beroposisi daripada menerima sorongan kursi. [khrisna]
Rujukan:
- Detik.com. 6 Juni 2019. Jokowi Juga Menawarkan Kursi Menteri kepada Kami. Diakses pada 6 Juni 2019, pukul 22.15 WIB.
- Ignas Kleden. 4 Juli 1998. Oposisi dalam Politik Indonesia. Jakarta: Kompas.
- Valina Singka Subekti. 2008. Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945. Jakarta: Rajawali Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H