Kegelisahan Seorang Warga
Lewat opini, Oposisi dalam Politik Indonesia (Kompas, 4 Juli 1998), Ignas Kleden mengajukan dua pertanyaan.
Pertama, apakah ketika politik tanpa melembagakan oposisi serupa Orde Baru maka masalah korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), tidak terulang? Faktanya korupsi masih marak. Makin banyak elite politik, baik lokal maupun nasional, yang tertangkap tangan menjadi "tikus" yang mengerat uang rakyat.Â
Kedua, apakah kekuasaan di Indonesia tidak membutuhkan oposisi yang secara resmi dan konsisten mengawasi pemerintah? Faktanya kita butuh. Hanya saja, pihak oposisi lebih aktif mengoceh di media sosial dibanding meminta pertanggungjawaban pemerintah ketika mereka merasa ada yang keliru.Â
Kedua pertanyaan itu sangat relevan diajukan pada hari ini. Gejala penurunan kualitas anggota parlemen saja sudah menyesakkan dada. Tidak sedikit parpol yang mengusung caleg hanya karena popularitas, bukan karena keunggulan diri, ketajaman visi, dan kegigihan misi. Belum lagi bekas narapidana korupsi yang dibiarkan tetap maju bertarung.
Kegelisahan Ignas Kleden sejatinya merupakan kegelisahan kolektif seluruh anak bangsa. Harus disadari bahwa eksistensi demokrasi di Indonesia masih jauh dari sempurna.Â
Jika Pak Jokowi benar-benar merangkul Gerindra, itu berarti beliau mengebiri kekuatan oposisi. Jika itu terjadi berarti Pak Jokowi menciptakan celah lebar bagi praktik politik yang mengerat hakikat demokrasi itu sendiri.
Dalam situasi seperti ini, ketika kita masih sibuk belajar berdemokrasi, penguatan kelompok oposisi merupakan kebutuhan mendesak. Atas dasar kebutuhan itulah sehingga Pak Jokowi berpeluang menjadi aktor perubahan.
Caranya mudah. Pertama, perkukuh jajaran dengan memilih "pembantu" yang seirama dengan semboyan "kerja, kerja, kerja". Kedua, perteguh oposisi dengan cara tidak mengebiri kekuatan oposisi.
Bagi Kuasa, Bukan Bagi Kursi
Salah satu konsep yang melatari kehadiran oposisi adalah konsep pembagian kekuasaan (division of power). Pemerintahan otoriter tidak mengakui pembagian kekuasaan.
Pembagian kekuasaan berarti penguatan demokrasi supaya kekuasaan tidak berada dalam genggaman seorang penguasa. Harus ada pihak yang mengawasi, yang mengontrol, dan yang menyeimbangkan. Pihak itu dari kubu oposisi.
Dengan demikian, hal utama yang penting dilakukan oleh Pak Jokowi adalah berbagi kekuasaan atau berbagi ruang kuasa dengan pihak oposisi. Jadi, bukan bagi-bagi kursi. Biarkan oposisi tumbuh subur. Biarkan oposisi melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik.Â