Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Polemik Kursi Menteri antara Petahana dan Oposisi

7 Juni 2019   05:00 Diperbarui: 9 Juni 2019   09:25 2670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: antaranews.com

Kegelisahan Seorang Warga
Lewat opini, Oposisi dalam Politik Indonesia (Kompas, 4 Juli 1998), Ignas Kleden mengajukan dua pertanyaan.

Pertama, apakah ketika politik tanpa melembagakan oposisi serupa Orde Baru maka masalah korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), tidak terulang? Faktanya korupsi masih marak. Makin banyak elite politik, baik lokal maupun nasional, yang tertangkap tangan menjadi "tikus" yang mengerat uang rakyat. 

Kedua, apakah kekuasaan di Indonesia tidak membutuhkan oposisi yang secara resmi dan konsisten mengawasi pemerintah? Faktanya kita butuh. Hanya saja, pihak oposisi lebih aktif mengoceh di media sosial dibanding meminta pertanggungjawaban pemerintah ketika mereka merasa ada yang keliru. 

Kedua pertanyaan itu sangat relevan diajukan pada hari ini. Gejala penurunan kualitas anggota parlemen saja sudah menyesakkan dada. Tidak sedikit parpol yang mengusung caleg hanya karena popularitas, bukan karena keunggulan diri, ketajaman visi, dan kegigihan misi. Belum lagi bekas narapidana korupsi yang dibiarkan tetap maju bertarung.

Kegelisahan Ignas Kleden sejatinya merupakan kegelisahan kolektif seluruh anak bangsa. Harus disadari bahwa eksistensi demokrasi di Indonesia masih jauh dari sempurna. 

Jika Pak Jokowi benar-benar merangkul Gerindra, itu berarti beliau mengebiri kekuatan oposisi. Jika itu terjadi berarti Pak Jokowi menciptakan celah lebar bagi praktik politik yang mengerat hakikat demokrasi itu sendiri.

Dalam situasi seperti ini, ketika kita masih sibuk belajar berdemokrasi, penguatan kelompok oposisi merupakan kebutuhan mendesak. Atas dasar kebutuhan itulah sehingga Pak Jokowi berpeluang menjadi aktor perubahan.

Caranya mudah. Pertama, perkukuh jajaran dengan memilih "pembantu" yang seirama dengan semboyan "kerja, kerja, kerja". Kedua, perteguh oposisi dengan cara tidak mengebiri kekuatan oposisi.

Bagi Kuasa, Bukan Bagi Kursi
Salah satu konsep yang melatari kehadiran oposisi adalah konsep pembagian kekuasaan (division of power). Pemerintahan otoriter tidak mengakui pembagian kekuasaan.

Pembagian kekuasaan berarti penguatan demokrasi supaya kekuasaan tidak berada dalam genggaman seorang penguasa. Harus ada pihak yang mengawasi, yang mengontrol, dan yang menyeimbangkan. Pihak itu dari kubu oposisi.

Dengan demikian, hal utama yang penting dilakukan oleh Pak Jokowi adalah berbagi kekuasaan atau berbagi ruang kuasa dengan pihak oposisi. Jadi, bukan bagi-bagi kursi. Biarkan oposisi tumbuh subur. Biarkan oposisi melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun