Engkos mengetuk-ngetuk meja dengan buku jari manis kanannya. Iramanya teratur dalam tempo yang sedang. "Jatuh cinta, menurut Kuntowijoyo, salah satu belenggu hidup. Seburuk atau sebusuk apa pun yang dicintai, tidak akan memengaruhi hati. Cemooh orang lain selalu ditangkal dengan kata tidak peduli atau masa bodoh atau bodoh amat. Bila sudah begitu, apa beda antara pintar dan pandir?"
Mamat mendengarkan dengan mimik terpesona. Matahari membakar jalan raya. Angin menyeruduk daun-daun. Asap dari knalpot kendaraan menyerang cuping hidung. Kopi menyusut hingga ampasnya terdengar meratap minta diganti.
Engkos kian berapi-api. "Cinta memang kita butuhkan. Naguib Mahfouz, sastrawan Mesir, berani mengatakan bahwa tidak ada yang bisa diperbuat oleh kematian pada hati ketika cinta telah membuatnya abadi. Saya mencintai kopi, tetapi saya harus pintar-pintar menghitung seberapa gelas kopi yang saya butuhkan selama sehari. Mengapa? Saya juga butuh teh, susu, atau jus."
"Pantas dari tadi baru pesan segelas kopi."
"Tenang," ujar Engkos, "nanti saya tambah."
"Bercanda."
"Saya juga bercanda."
Kening Mamat kontan berkerut. "Balik lagi ke dungu!"
"Silakan!"
"Apa tanggapan elu atas tabiat Rocky mendungukan orang lain?"
"Ketika kita menghina dan menunjuk-nunjuk orang lain, sebaiknya kita mengingat lagi ujar-ujar leluhur. Telunjuk mengarah pada orang yang dituding, jempol abstain, sedangkan jari tengah, jari manis, dan kelingking kompak menunjuk penuding."