"Mustahil!"
Engkos menutup telinga ketika klakson motor bersahut-sahutan. Setelah bising reda, ia menghela napas. "Ingatkah Kang Mamat ketika jalan desa di Dukuh Gemarumpi dikerjakan?"
Mamat menjawab dengan anggukan.
"Panjang keseluruhan mencapai sepuluh kilo di lima titik dengan masing-masing dua kilo," ucap Engkos dengan mimik agak serius. "Jalan itu rampung hanya dalam empat bulan. Kelar bersamaan karena dikerjakan secara bersamaan. Jika sepuluh ribu desa pada saat bersamaan mengerjakan jalan desa sepanjang masing-masing sepuluh kilo, berarti ada kemungkinan seratus kilo jalan desa tuntas dalam waktu empat bulan."
Mamat mencelangap lagi. Kali ini tanpa diikuti "mmm" atau "hemm". Pengunjung warungnya memang bukan serombongan sarjana, segerumbul filsuf, atau sekawanan pakar, tetapi obrolan di warungnya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Jajang, saudagar pecal ayam, sangat fasih membahas gerak-gerik peniaga pinjaman daring gara-gara ia diteror ketika cicilannya tertunda selama dua bulan. Parman, tukang gali got, lincah bercuap tentang hoaks. Jangan dikata Engkos, tukang sapu paruh waktu, wawasannya melebihi panjang tangkai sapunya.
"Berarti dungu bukan cuma hak milik kaum cebong?" tanya Mamat dengan tatapan menyelidik. Sedikit seringai mengakhiri pertanyaannya.
"Ya," seru Engkos. Suaranya tegas. "Ketika kasus operasi plastik merebak dan disangka buah tangan para pengeroyok, itu termasuk perangai 'dungu luar biasa'. Dalam bahasa Indonesia disebut 'goblok bukan kepalang'."
"Jalan desa lebih panjang dari diameter bumi?"
"Wah, itu mah kalimat brilian dari orang pintar."
"Tadi kata elu salah...."