Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tiga Trik Mencari Jodoh

15 Januari 2019   01:03 Diperbarui: 15 Januari 2019   12:57 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya suka matanya. Jenis mata yang teduh dan meneduhkan, yang teguh dan meneguhkan. Kalaupun marah, matanya bukan bara yang menyala-nyala dan membakar apa saja yang berada di sekitarnya. Itu sebabnya saya jatuh cinta kepadanya.

Hanya saja, matanya bukan satu-satunya alasan mengapa saya ingin menghabiskan sisa hidup bersamanya. Sungguh. Ada hal lain yang tiada tertakar, yakni caranya mencambuk semangat saya: sesekali datar dan hambar; sesekali melecut dan membakar.

Amel Widya namanya. Rasa-rasanya saya tidak akan segesit ini menulis jikalau bukan dia yang berada di sisi saya. Ini bukan perkara tulang rusuk yang tersua, bukan. Ini perihal bagaimana seseorang dapat membuat hidup saya berasa semakin hidup. Begitulah mestinya kalian mencari pasangan. Bukan hanya rela seranjang sepedihan, melainkan juga berani sepandang sepikiran. 

Namun, bukan itu yang hendak saya udar lewat tulisan ini. Bukan pula bagaimana kami berjodoh atau apa saja yang telah kami lalui bersama, bukan. Saya ingin bercerita tentang bagaimana trik mencari jodoh. Bila di antara kalian ada yang masih menjomlo, silakan membeliak supaya tidak melewatkan barang sekata saja.

Baiklah. Kita mulai saja trik luar biasa dan sangat penting ini.

Testimoni Seno Gumira Ajidarma atas novel. Dokpri
Testimoni Seno Gumira Ajidarma atas novel. Dokpri
Pada pertengahan Juni 2015, seseorang mendatangi saya. Kami berteman akrab. Bukan cuma berkawan secara maya, melainkan sekaligus berteman di dunia nyata. Teman saya ini bekerja selaku penyunting di sebuah penerbitan.

Tunggu, kita mundur dulu ke tahun 2011, tahun ketika saya menjadi warga Negeri Twitter. Di negeri para juru kicau itulah saya bertemu dengan teman saya yang penyunting di sebuah penerbitan itu. Bahasa Indonesia gara-garanya. Saya memang demam berkicau tentang bahasa Indonesia di Negeri Twitter. Naga-naganya teman saya itu mencium aroma pasar dari cuitan-cuitan saya.

Sekarang kita balik lagi ke tahun 2015. Setelah berbasa-basi, teman saya menanyakan apakah cuitan saya tentang bahasa Indonesia bisa dikumpulkan dan disusun menjadi sebuah buku. Sebagai seorang penulis, pasti saya mengangguk. Apa susahnya menulis sesuatu yang kita sukai? Tidak ada. Saya selalu yakin bahwa menulis sesuatu yang kita cintai akan menghasilkan cinta tiada tara. Kenapa? Karena segala-gala yang tumpah dari belanga imajinasi sejatinya adalah cinta.

Lantaran kehadiran pepuja hati, buku yang saya tulis rampung nyaris sebelum satu bulan terlewati. Meski begitu, karena buku itu terkait bahasa Indonesia, saya membacanya berkali-kali. Bahkan Amel juga turut memeriksa. Buku itu saya namai Pernak-pernik Bahasa Indonesia.

Nahasnya, naskah yang sudah rampung itu kehilangan jodoh. Pinangan yang telah diterima malah tidak ketahuan ujung pangkalnya. Pernikahan antara buku dan penerbit urung begitu saja. Selaku "orangtua ideologis", saya hampir putus asa. Bahkan pernah berniat menghapus dan membuang naskah tersebut andai kata tidak dicegah oleh si pepuja hati.

Sudahlah. Kita tinggalkan saja kisah naskah yang kehilangan jodoh itu. 

Saya ajak kalian bertamasya dulu ke tahun 2016. Kala itu, blog pribadi saya meninggal. Akibat terlalu serius menggarap buku, blog saya sekarat dan tewas. Nasib baik tiba. Seseorang mengajak saya bergabung ke Kompasiana. Persis seperti sebatang rokok penghabisan bertemu korek api. Klik dan klop.

Saya orangnya panasan. Lantaran saya menganggap naskah, kita kembali lagi ke naskah tadi, yang saya garap sepenuh cinta itu penting menemui pembacanya, akhirnya satu-dua bagian saya kerat dan tata ulang. Kemudian, saya tayangkan di Kompasiana. Benar saja. Tulisan-tulisan saya tentang bahasa Indonesia itu menemukan jodoh, dalam wujud pembaca, di blog keroyokan ini.

Dari sanalah lahir trik mencari jodoh yang pertama: jangan lekas menyerah.

Tiga kata itu saya dengar dari bibir mungil si pepuja hati. "Sayang kalau isi buku sebagus itu tidak sampai ke tangan pembaca," tutur Amel. 

Dokpri
Dokpri
Memang sayang, sih. Coba kalian bayangkan. Ada 2049 kata salah kaprah yang saya kupas tuntas. Belum lagi 40 kata pengimbuhan "ber-" dan "ter-". Juga 324 bentuk terikat dan 622 varian kata. Apalagi, seperti testimoni Mas Seno Gumira Ajidarma, menulis buku ini butuh upaya luar biasa. Alur cerita harus utuh, pernik bahasa mesti padu. Tidak mudah. 

Mendadak pikiran saya morat-marit. Pikiran saya tiba-tiba memajang sebuah novel dengan halaman-halaman yang dipenuhi deskripsi Remba dan Tami. Nah, kalau kalian pernah membaca tulisan saya di Kompasiana, kalian pasti sudah berkenalan dengan Remba dan Tami.

Menjelang Juli 2017, kami menghubungi sebuah penerbit. Harapan kami, setidaknya jika disetujui berarti ada peluang "naskah perih itu" bisa terbit pada Bulan Bahasa 2017. 

Ternyata harapan kami ambyar. Novel itu mengalami nasib perih: pinangan ditolak mentah-mentah. Alasannya sepele: Remba dan Tami berasal dari orangtua yang bukan berlatar pendidikan Bahasa Indonesia.

Lagi-lagi si pepuja hati yang menguatkan tekad saya, sungguhpun saya sudah patah arang. Dua penerbit berikutnya bahkan tidak memberikan jawaban. "Barangkali 'naskah perih itu' tidak cocok dengan visi buku yang mereka terbitkan," ujar Amel. Meneduhkan dan meneguhkan.

Maka, lahirlah trik mencari jodoh yang kedua: jangan rendahkan naskahmu hanya karena belum bersua jodoh. Mungkin penerbit punya visi berbeda. Mungkin naskah yang kita ajukan tidak sesuai visi penerbit. 

Dokpri
Dokpri
Tiada angin tiada awan mendadak turun hujan. Seorang sahabat di Negeri Twitter menyapa saya dan meminta naskah novel. Kontan saya tawarkan "naskah perih-pedih itu". Namun, saya butuh dua-tiga minggu untuk meramu ulang agar ada perbedaan dari naskah sebelumnya.

Perubahan yang paling mencolok adalah pada penamaan tokoh. Semula Remba dan Tami, menjadi Sabda dan Kana. Keduanya bermakna "kata". Bedanya hanya dari asal kata. Sabda dari bahasa Indonesia, Kana dari bahasa Makassar.

Selang dua hari setelah naskah saya ajukan ke penerbit, jawaban sudah tiba. Sabda dan Kana akhirnya bertemu jodoh. Persiapan kelahiran sudah matang. Kover pun sudah ada. Sederhana dan berbau milenial. Ini lagi-lagi usulan Amel yang menginginkan kover berwarna pastel. Saya sendiri memilih oranye. Jadi, kami bersatu dalam oranye pastel. Tukang bikin sampulnya juga keren karena dapat mewujudkan apa yang kami bayang-bayangkan.

Jadi, trik mencari jodoh yang ketiga adalah akan indah pada waktunya.

Kover depan. Dokpri
Kover depan. Dokpri
Barangkali ada di antara kalian yang berpikir bahwa saya benar-benar akan menyuguhkan siasat mencari jodoh. Maaf kalau ada yang merasa kecele. Meski begitu, kita hanya beda penafsiran saja. 

Saya bermaksud "mencari jodoh buat tulisan", kalian mungkin mengira jodoh berupa pasangan. Aduh, itu mah saya juga tidak tahu bagaimana triknya. Sungguhpun rencana kelahiran buku ini memang perlu saya kabarkan, seperti ungkap Andi Karman--akademisi Bahasa dan Sastra Indonesia, buku ini penting untuk menakar keindonesiaan kita. 

Pada dasarnya, saya hanya ingin berbagi pengalaman. Kadang apa yang kita hajatkan berlangsung tidak semulus dengan yang inginkan. Ada keberhasilan ada kegagalan, ada keuntungan ada kerugian. Yang pernah gagal atau rugi tidak boleh lekas menyerah. Selama kita yakin dan mau bangkit, jalan pasti terbentang lapang.

Akhirnya, izinkan saya berterima kasih apabila kalian sembuh dari rasa kecewa. Sekali lagi, saya tidak bermaksud mengibul atau melagak. Di luar sana banyak orang yang punya naskah bagus dan layak baca, tetapi kurang nyali untuk mengangsurkan naskahnya ke penerbit.

Ada juga yang punya naskah bagus dan patah arang hanya karena pernah ditolak satu kali. Jangan cemen, dong. Berpikir positif saja. Jangankan kita, kalian dan saya, J.K. Rowling saja pernah mengalami penolakan berkali-kali. Boleh jadi naskah kita tidak cocok, tidak sehaluan, atau tidak senapas dengan penerbit yang menampik itu. Sesederhana itu.

Saya juga ingin berterima kasih kepada pengelola Kompasiana yang telah memberikan ruang bagi saya untuk berbagi kabar tentang bahasa Indonesia. Tentu pula kepada teman-teman Kompasianer yang baik hati dan suka meluangkan waktu membaca tulisan saya.

Remba dan Tami, yang bersalin nama menjadi Sabda dan Kana, akhirnya pindah ke buku. Mungkin kalian akan bertemu tokoh baru, entah Jaro entah Aldo, selama kalian masih senang membaca tulisan-tulisan sederhana saya.

Bagaimana dengan Amel? Dia baik-baik saja. Dia tetap sebagai perempuan Sunda bermata sendu yang selalu meneduhkan dan meneguhkan batin saya.

Bagaimana dengan kalian yang masih jomlo? Jangan lekas menyerah! []

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun