Saya ajak kalian bertamasya dulu ke tahun 2016. Kala itu, blog pribadi saya meninggal. Akibat terlalu serius menggarap buku, blog saya sekarat dan tewas. Nasib baik tiba. Seseorang mengajak saya bergabung ke Kompasiana. Persis seperti sebatang rokok penghabisan bertemu korek api. Klik dan klop.
Saya orangnya panasan. Lantaran saya menganggap naskah, kita kembali lagi ke naskah tadi, yang saya garap sepenuh cinta itu penting menemui pembacanya, akhirnya satu-dua bagian saya kerat dan tata ulang. Kemudian, saya tayangkan di Kompasiana. Benar saja. Tulisan-tulisan saya tentang bahasa Indonesia itu menemukan jodoh, dalam wujud pembaca, di blog keroyokan ini.
Dari sanalah lahir trik mencari jodoh yang pertama: jangan lekas menyerah.
Tiga kata itu saya dengar dari bibir mungil si pepuja hati. "Sayang kalau isi buku sebagus itu tidak sampai ke tangan pembaca," tutur Amel.Â
Mendadak pikiran saya morat-marit. Pikiran saya tiba-tiba memajang sebuah novel dengan halaman-halaman yang dipenuhi deskripsi Remba dan Tami. Nah, kalau kalian pernah membaca tulisan saya di Kompasiana, kalian pasti sudah berkenalan dengan Remba dan Tami.
Menjelang Juli 2017, kami menghubungi sebuah penerbit. Harapan kami, setidaknya jika disetujui berarti ada peluang "naskah perih itu" bisa terbit pada Bulan Bahasa 2017.Â
Ternyata harapan kami ambyar. Novel itu mengalami nasib perih: pinangan ditolak mentah-mentah. Alasannya sepele: Remba dan Tami berasal dari orangtua yang bukan berlatar pendidikan Bahasa Indonesia.
Lagi-lagi si pepuja hati yang menguatkan tekad saya, sungguhpun saya sudah patah arang. Dua penerbit berikutnya bahkan tidak memberikan jawaban. "Barangkali 'naskah perih itu' tidak cocok dengan visi buku yang mereka terbitkan," ujar Amel. Meneduhkan dan meneguhkan.
Maka, lahirlah trik mencari jodoh yang kedua: jangan rendahkan naskahmu hanya karena belum bersua jodoh. Mungkin penerbit punya visi berbeda. Mungkin naskah yang kita ajukan tidak sesuai visi penerbit.Â