Benjamin Franklin pernah berpetuah. Jika ingin dikenang sejarah maka menulislah. Atau, lakukan sesuatu yang layak ditulis. Akan tetapi, bagaimana saya tahu apa itu sejarah dan bagaimana menyejarah jika saya tidak membaca?
Saya selalu terpesona setiap membaca cerita-cerita gubahan Kuntowijoyo, terutama mengenai filsafat yang dikaitkan dengan hal-hal remeh dalam hidup sehari-hari. Perkara-perkara ringan jadi tumpuan filsafat yang berat dan, tanpa terasa, saya terseret arus kata dan makna.
Saya selalu terkesima setiap membaca novel-novel Jostein Gaarder, terutama tentang filsafat yang dibaurkan dengan lika-liku cinta biasa. Hal-hal ringan bercampur aduk dengan hal-hal dalam dan, tanpa terasa, saya dihanyutkan gelombang imajinasi.
Saya selalu terpana setiap membaca tulisan-tulisan Karen Armstong soal teks-teks suci yang dipadukan dengan endapan pemikiran mendalam. Sisik-melik agama yang berat dan dalam ditaja dengan ringan dan mengalir hingga, tanpa terasa, saya ditelan ombak pencerahan.
Dari bacaan-bacaan itu, juga bacaan lain dengan sajian senada, otak saya dididihkan oleh gagasan-gagasan tentang menyajikan esai bahasa Indonesia secara menyenangkan. Bahasa Indonesia, dunia yang saya minati dan saya cintai, ternyata bisa disajikan dengan ringan tanpa kehilangan makna.
Soal kelak akan menyejarah atau tidak, biarlah waktu yang berbicara. Bagi saya, cukuplah menulis saja. Tentu saja saya tetap berharap setiap yang saya tulis meninggalkan kesan dan faedah bagi pembaca. Kalaupun belum, saya tidak risau lantaran saya memang masih dalam proses belajar.
Adalah Pramoedya Ananta Toer yang menggelitik benak saya. Menulis itu bekerja bagi keabadian. Namun, bagaimana saya tahu akan menulis bagi keabadian kalau saya tidak membaca?
Salah seorang guru yang saya kagumi dalam dunia tulis-menulis adalah Bambang Trim. Beliau yang pertama kali menyuntikkan semangat ke dalam tubuh saya agar tidak ragu membukukan ide-ide sepele di benak saya.
Mula-mula saya temui beliau lewat buku-buku tentang cara mudah menulis buku. Saya mamah buku-buku karangan beliau. Saya pendam dalam-dalam di dasar kalbu. Kemudian, bersama setumpuk tulisan, saya temui beliau di Bandung. Dari situ bermula kelahiran buku-buku saya.
Salah seorang guru yang saya takzimi dalam dunia karang-mengarang adalah Hernowo Hasyim. Beliau yang paling getol menggedor-gedor saya untuk tidak berhenti menulis. Beliau pula yang melihat potensi saya dalam mengudar dunia potensi otak dengan bahasa yang ringan.