Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Rahasia Receh Menulis Puisi (3)

21 Juli 2018   15:02 Diperbarui: 21 Juli 2018   15:14 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: packtarusa.com

Sebelum menulis puisi, biasanya saya merengeng-rengeng. Semacam bersenandung. Semacam bernyanyi-nyanyi kecil dengan suara pelan, yang tidak jelas kata-katanya, dan sangat santai.

Setelah itu, saya bayang-bayangkan metafora yang ingin saya gunakan. Kadang dari peristiwa sederhana yang kerap saya alami, kadang dari sesuatu yang saya pampang dalam ingatan, kadang dari perkara yang saya lihat atau baca.

Itulah rahasia receh saya dalam menulis puisi. O ya, sebelumnya saya sudah menulis rahasia receh menulis puisi bagian pertama dan bagian kedua. Saya sarankan kalian membacanya juga. Bisa sekarang, bisa nanti. Bagaimana enaknya kalian saja.

Bagian pertama dapat kalian baca di sini, sedangkan bagian kedua di sini.

Pada bagian pertama, saya sudah beberkan rahasia membingkai gagasan, menentukan bentuk, dan memilih diksi. Pada bagian kedua saya paparkan soal membubuhkan rasa dan kalimat pemikat. Sekarang akan saya singkap rahasia keenam, yakni menyusupkan metafora.

Sebelum kita mulai menyingkap misteri metafora, saya ingin mengingatkan kalian bahwa tulisan ini ditaja dan ditata dalam bentuk ringan. Mungkin sesekali akan muncul teori, namun itu pasti teori receh dari endapan pengalaman saya. Jadi, santailah.

Baiklah. Kita mulai saja.

Nah, pada rahasia receh keenam ini akan saya sajikan pengalaman saya dalam menulis puisi. Bagi yang pernah membaca puisi-puisi saya pasti akan tahu bahwa bingkai besar puisi saya adalah rindu. Apa pun yang ingin saya tumpahkan ke dalam puisi pasti berpijak pada rindu. Selalu begitu.

Saya tentukan rindu sebagai bingkai puisi yang saya akan sajikan sebagai contoh kepada kalian. Adapun pesan sederhana yang ingin saya sampaikan adalah kehadiran rindu sering kali menyiksa. Jadi, langkah selanjutnya adalah memilih diksi, lalu membubuhkan rasa dan pemikat.

Soal bubuhan rasa, rindu jelas adalah bagian dari rasa yang sering dirasakan semua orang. Yang jomlo atau yang sudah punya pasangan pasti pernah merasa rindu. Soal bubuhan pemikat, rindu selalu punya daya pikat bagi semua pembaca. Yang muda bisa memaknainya sebagai rindu kepada seseorang yang jauh. Yang tua dapat memaknainya sebagai rindu pada kematian dan Tuhan. Eits!

Bagaimana dengan pilihan kata atau diksi? Tenang, kita akan sampai ke sana. Akan tetapi, kita akan ulas soal metafora dulu. Apakah metafora itu? Kita tarik arti sederhana saja. Jika kalian melihat sesuatu dan membandingkannya dengan sesuatu yang lain, itulah metafora.

Tatkala melihat dua sejoli yang tengah dimabuk asmara, kita bisa membandingkannya dengan dua sisi uang yang tidak terpisahkan. Manakala melihat seseorang mendambakan cinta dari orang yang derajat dan hartanya jauh di atasnya, kita bisa bandingkan dengan langit dan bumi atau minyak dan air atau pungguk dan bulan.

Kata penanda metafora biasanya memakai seperti, ibarat, laksana, bagai, atau bak. Bukan cuma itu. Kita juga dapat menggunakan sekelabu, setebal, setinggi, semenyebalkan, semenyedihkan, atau kata lain yang serumpun. Pendek kata, banyak jalan menuju Jakarta.

Tatkala ingin meramu puisi yang berpijak pada kata rindu, saya bayangkan perut yang tengah geriak-geriuk atau riuh gaduh karena berasa lapar. Maka saya mulailah dengan larik yang dibumbui metafora lapar:

Rinduku kepadamu alangkah menyiksa. Bagai geriak-geriuk atau riuh gaduh di perut karena lapar tak tertahan.

Metafora sederhana. Saya temukan dari pengalaman menahan rasa lapar. Tentu kita semua pernah merasa lapar. Kadang kita punya uang di saku, tetapi jam pulang kantor masih lama. Sebenarnya ada uang di dompet, tetapi tidak ada warung makan yang buka di tengah malam buta. 

Maka saya tambahkan larik berikutnya:

Bisa saja kucari kamu biar rinduku tunai. Tetapi, tidak semudah itu. Seperti ketika kamu lapar di kantor. Sakumu penuh uang, tetapi jam pulang kantor masih lama. Atau ketika kamu lapar di tengah malam buta dan di dapurmu tidak ada apa-apa. Dompetmu penuh uang, tetapi tidak ada warung makan yang buka.

Rindu seperti itu sangat menyiksa. Metaforanya pun mestinya sangat menyiksa. Sederhana saja, hanya mengambil ibarat dari rasa lapar. Namun, kesederhanaan itu yang justru mendekatkan dan melekatkan imajinasi pembaca pada pengalaman sehari-harinya. Bahkan mungkin ada pembaca yang sempat membayangkan rasa lapar di tengah malam buta dan tidak ada kedai yang buka.

Maka mengalunlah larik ketiga:

Tidak, jangan kira aku lemah dalam memperjuangkan rindu. Aku tidak pernah setengah-setengah. Tahukah kamu seperih apa rindu di tengah malam buta? Laksana tahu ada warung buka sekilo dari rumah, tetapi di luar hujan deras dan bensin motor tandas. Bisa kuterjang hujan, namun aku takut demam dan selesma. Jika aku sakit, kamu pasti datang. Lalu ikut-ikutan pilek gara-gara rinduku.  

Langkah berikutnya, saya akan kembalikan ke dunia kekinian. Baiklah, barangkali di dekat rumah tidak ada warung makan yang buka. Namun teknologi memudahkan kita. Ada aplikasi pemesanan makanan di gawai.

Maka mengalirlah larik keempat:

Rindu bisa tunai tanpa harus bersua. Aku tahu itu. Persis seperti lapar yang bisa tuntas meski semua warung di dekat rumahku tutup. Aku bisa saja memesan makanan di gawai. Sekali pesan pasti ada saja pengendara yang terima. Tetapi, kuotaku sedang bangkrut. Pulsaku pun sekarat. Itu sebabnya aku lari dan sembunyi ke bilik doa.

Bayangkan kejadian serupa menimpa kalian. Bayangkan suasana hati kalian ketika tiada yang dapat dilakukan selain menyurukkan kepala ke bilik doa. Bayangkan alangkah tersiksanya seseorang yang menanggung rindu semenyedihkan itu.

Sebelum kita masuki larik penutup, mari kita tilik dulu pilihan kata pada tiap larik. Pada lari pertama ada kata ulang geriak-geriuk. Artinya, suara perut yang keroncongan. Ada pula ungkapan riuh gaduh, masih suara perut yang keroncongan. Kedua diksi itu tepat untuk menggambarkan kondisi lapar yang akut.

Pada larik kedua, perhatikan pilihan kata yang didominasi asonansi atau bunyi vokal "a". Bunyi asonansi ini berasa ngilu, seperti gusi terkena es krim atau air dari kulkas. Adapun larik ketiga dibumbui dengan citraan suasana pada di luar hujan deras, bensin motor tandas, takut demam dan selesma, yang ditutup dengan ikut pilek gara-gara rinduku.

Untuk menambah perbendaharaan kata, silakan baca tulisan ini.

Larik keempat diwarnai permainan bunyi pada kata tunai dan gawai. Sedangkan penguatan situasi terwakili oleh kata bangkrut dan sekarat. Tatkala seseorang tiba pada situasi paling mengenaskan, tidak ada tempat yang lebih menyenangkan dan menenangkan selain bilik doa.

Kata-kata yang dipilih amat sederhana. Setiap hari sering kita dengar. Tidak ada makna lugas yang mengerutkan kening. Sementara metafora yang dipakai pun bukan metafora rumit atau pelik. Walaupun bukan juga metafora basi atau metafora yang sudah sering digunakan.

Kalian juga bisa mengulik tulisan iniuntuk menumpuk harta berupa kata.

Sekarang kita masuki bait atau larik penutup. Kita kembali pada pijakan rindu dengan metafora lapar. Pada larik akhir kita bisa bubuhkan tema tersembunyi yang sebenarnya sedang kita sasar. Sebuah tema yang lebih besar. Tema yang hanya kita sebut di ujung puisi. Tema itu adalah kondisi negara kita.

Maka muncullah larik penutup:

Rinduku kepadamu alangkah menyiksa. Bagai lapar yang menimpa rakyat negeri ini. Rakyat yang pemimpinnya sibuk kasak-kusuk bagi-bagi posisi, yang wakil rakyatnya sibuk cari aman sendiri, yang pejabatnya tertawa setelah menyunat uang negara. Rakyat yang lapar dan rindu pada harga-harga yang tak mencekik leher. Seperih itu rinduku kepadamu.

Diksi masih sederhana, metafora masih sama. Namun, sasaran perihnya berbeda. Sebut saja, perih kolektif yang mungkin dirasakan oleh sebagian besar rakyat di Indonesia. Begitulah pengalaman saya meramu metafora dalam sebuah puisi.

Mari kita baca ulang puisi di atas secara utuh.

Rinduku kepadamu alangkah menyiksa. Bagai geriak-geriuk atau riuh gaduh di perut karena lapar tak tertahan.

Bisa saja kucari kamu biar rinduku tunai. Tetapi, tidak semudah itu. Seperti ketika kamu lapar di kantor. Sakumu penuh uang, tetapi jam pulang kantor masih lama. Atau ketika kamu lapar di tengah malam buta dan di dapurmu tidak ada apa-apa. Dompetmu penuh uang, tetapi tidak ada warung makan yang buka.

Tidak, jangan kira aku lemah dalam memperjuangkan rindu. Aku tidak pernah setengah-setengah. Tahukah kamu seperih apa rindu di tengah malam buta? Laksana tahu ada warung buka sekilo dari rumah, tetapi di luar hujan deras dan bensin motor tandas. Bisa kuterjang hujan, namun aku takut demam dan selesma. Jika aku sakit, kamu pasti datang. Lalu ikut-ikutan pilek gara-gara rinduku.  

Rindu bisa tunai tanpa harus bersua. Aku tahu itu. Persis seperti lapar yang bisa tuntas meski semua warung di dekat rumahku tutup. Aku bisa saja memesan makanan di gawai. Sekali pesan pasti ada saja pengendara yang terima. Tetapi, kuotaku sedang bangkrut. Pulsaku pun sekarat. Itu sebabnya aku lari dan sembunyi ke bilik doa.

Rinduku kepadamu alangkah menyiksa. Bagai lapar yang menimpa rakyat negeri ini. Rakyat yang pemimpinnya sibuk kasak-kusuk bagi-bagi posisi, yang wakil rakyatnya sibuk cari aman sendiri, yang pejabatnya tertawa setelah menyunat uang negara. Rakyat yang lapar dan rindu pada harga-harga yang tak mencekik leher. Seperih itu rinduku kepadamu.

Barangkali kalian tidak percaya kalau saya katakan bahwa puisi di atas lahir bersamaan dengan mengalirnya tulisan ini. Faktanya memang demikian. Saya memang berusaha membiasakan diri menulis puisi dalam waktu yang ringkas. Namun, pengendapannya yang justru sering lama.

Demikian rahasia receh saya dalam menulis puisi. Saya berharap kalian dapat dengan mudah mencerna tulisan ini. Saya juga berharap tulisan ini menggugah kalian untuk tetap berpuisi atau mulai menulis puisi. Setidaknya, mulai menikmati puisi.

Salam takzim. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun