Maka muncullah larik penutup:
Rinduku kepadamu alangkah menyiksa. Bagai lapar yang menimpa rakyat negeri ini. Rakyat yang pemimpinnya sibuk kasak-kusuk bagi-bagi posisi, yang wakil rakyatnya sibuk cari aman sendiri, yang pejabatnya tertawa setelah menyunat uang negara. Rakyat yang lapar dan rindu pada harga-harga yang tak mencekik leher. Seperih itu rinduku kepadamu.
Diksi masih sederhana, metafora masih sama. Namun, sasaran perihnya berbeda. Sebut saja, perih kolektif yang mungkin dirasakan oleh sebagian besar rakyat di Indonesia. Begitulah pengalaman saya meramu metafora dalam sebuah puisi.
Mari kita baca ulang puisi di atas secara utuh.
Rinduku kepadamu alangkah menyiksa. Bagai geriak-geriuk atau riuh gaduh di perut karena lapar tak tertahan.
Bisa saja kucari kamu biar rinduku tunai. Tetapi, tidak semudah itu. Seperti ketika kamu lapar di kantor. Sakumu penuh uang, tetapi jam pulang kantor masih lama. Atau ketika kamu lapar di tengah malam buta dan di dapurmu tidak ada apa-apa. Dompetmu penuh uang, tetapi tidak ada warung makan yang buka.
Tidak, jangan kira aku lemah dalam memperjuangkan rindu. Aku tidak pernah setengah-setengah. Tahukah kamu seperih apa rindu di tengah malam buta? Laksana tahu ada warung buka sekilo dari rumah, tetapi di luar hujan deras dan bensin motor tandas. Bisa kuterjang hujan, namun aku takut demam dan selesma. Jika aku sakit, kamu pasti datang. Lalu ikut-ikutan pilek gara-gara rinduku. Â
Rindu bisa tunai tanpa harus bersua. Aku tahu itu. Persis seperti lapar yang bisa tuntas meski semua warung di dekat rumahku tutup. Aku bisa saja memesan makanan di gawai. Sekali pesan pasti ada saja pengendara yang terima. Tetapi, kuotaku sedang bangkrut. Pulsaku pun sekarat. Itu sebabnya aku lari dan sembunyi ke bilik doa.
Rinduku kepadamu alangkah menyiksa. Bagai lapar yang menimpa rakyat negeri ini. Rakyat yang pemimpinnya sibuk kasak-kusuk bagi-bagi posisi, yang wakil rakyatnya sibuk cari aman sendiri, yang pejabatnya tertawa setelah menyunat uang negara. Rakyat yang lapar dan rindu pada harga-harga yang tak mencekik leher. Seperih itu rinduku kepadamu.
Barangkali kalian tidak percaya kalau saya katakan bahwa puisi di atas lahir bersamaan dengan mengalirnya tulisan ini. Faktanya memang demikian. Saya memang berusaha membiasakan diri menulis puisi dalam waktu yang ringkas. Namun, pengendapannya yang justru sering lama.
Demikian rahasia receh saya dalam menulis puisi. Saya berharap kalian dapat dengan mudah mencerna tulisan ini. Saya juga berharap tulisan ini menggugah kalian untuk tetap berpuisi atau mulai menulis puisi. Setidaknya, mulai menikmati puisi.