Bagaimana dengan pilihan kata atau diksi? Tenang, kita akan sampai ke sana. Akan tetapi, kita akan ulas soal metafora dulu. Apakah metafora itu? Kita tarik arti sederhana saja. Jika kalian melihat sesuatu dan membandingkannya dengan sesuatu yang lain, itulah metafora.
Tatkala melihat dua sejoli yang tengah dimabuk asmara, kita bisa membandingkannya dengan dua sisi uang yang tidak terpisahkan. Manakala melihat seseorang mendambakan cinta dari orang yang derajat dan hartanya jauh di atasnya, kita bisa bandingkan dengan langit dan bumi atau minyak dan air atau pungguk dan bulan.
Kata penanda metafora biasanya memakai seperti, ibarat, laksana, bagai, atau bak. Bukan cuma itu. Kita juga dapat menggunakan sekelabu, setebal, setinggi, semenyebalkan, semenyedihkan, atau kata lain yang serumpun. Pendek kata, banyak jalan menuju Jakarta.
Tatkala ingin meramu puisi yang berpijak pada kata rindu, saya bayangkan perut yang tengah geriak-geriuk atau riuh gaduh karena berasa lapar. Maka saya mulailah dengan larik yang dibumbui metafora lapar:
Rinduku kepadamu alangkah menyiksa. Bagai geriak-geriuk atau riuh gaduh di perut karena lapar tak tertahan.
Metafora sederhana. Saya temukan dari pengalaman menahan rasa lapar. Tentu kita semua pernah merasa lapar. Kadang kita punya uang di saku, tetapi jam pulang kantor masih lama. Sebenarnya ada uang di dompet, tetapi tidak ada warung makan yang buka di tengah malam buta.Â
Maka saya tambahkan larik berikutnya:
Bisa saja kucari kamu biar rinduku tunai. Tetapi, tidak semudah itu. Seperti ketika kamu lapar di kantor. Sakumu penuh uang, tetapi jam pulang kantor masih lama. Atau ketika kamu lapar di tengah malam buta dan di dapurmu tidak ada apa-apa. Dompetmu penuh uang, tetapi tidak ada warung makan yang buka.
Rindu seperti itu sangat menyiksa. Metaforanya pun mestinya sangat menyiksa. Sederhana saja, hanya mengambil ibarat dari rasa lapar. Namun, kesederhanaan itu yang justru mendekatkan dan melekatkan imajinasi pembaca pada pengalaman sehari-harinya. Bahkan mungkin ada pembaca yang sempat membayangkan rasa lapar di tengah malam buta dan tidak ada kedai yang buka.
Maka mengalunlah larik ketiga:
Tidak, jangan kira aku lemah dalam memperjuangkan rindu. Aku tidak pernah setengah-setengah. Tahukah kamu seperih apa rindu di tengah malam buta? Laksana tahu ada warung buka sekilo dari rumah, tetapi di luar hujan deras dan bensin motor tandas. Bisa kuterjang hujan, namun aku takut demam dan selesma. Jika aku sakit, kamu pasti datang. Lalu ikut-ikutan pilek gara-gara rinduku. Â