Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kita, Cinta, dan Kata Depan

8 Juli 2018   02:17 Diperbarui: 11 Oktober 2018   19:04 3437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mangga yang rindang itu kini pindah ke dalam bilik ingatan Remba, rimbun sebagai kenangan.

Tepat di belakang pondokan Remba, di ujung barat, pernah ada sebatang mangga. Ketika ulat-ulat yang menjengkelkan belum menyerang seisi pondok, ketika semut rangrang yang menyebalkan belum merambah kamar-kamar di pondok, mangga itu rimbun dan subur. Sekarang mangga itu ditebang. Pemilik pondok lebih mendengarkan penghuni pondok yang manja dan penggeli. Melihat ulat, takut. Melihat semut, gelisah. 

Ia pernah mengajak Tami duduk bersandar di batang mangga itu. Bunga-bunga di pojok timur sedang bermekaran. Di bagian tengah, rumput hijau memanjang dari pondok hingga pagar pembatas. Tami senang sekali duduk berangin-angin di bawah rindang mangga. Di situ, katanya, ia tidak perlu memberati pikirannya dengan beban kuliah dan ocehan orangtua.

Sore ini, Remba mengajak Tami duduk-duduk di tempat dulu pohon mangga itu berdiri kukuh. Berharap pujaan hatinya itu terhibur dan melupakan duka laranya. Berharap tambatan harapannya itu tersenyum dan ceria seperti sediakala.

Sayang, hati Tami sedang digelimuni nestapa. Ia diminta oleh ayah dan ibunya agar menjauhi Remba. Permintaan yang sulit ia penuhi. Menjauhi Remba berarti menyakiti diri sendiri. Dan, ia tidak mau seperti itu. Tidak ada satu kata pun meluncur dari bibirnya, apalagi satu kalimat. Hanya desau angin dan decit jendela yang sesekali menyapa telinga.

"Tulislah sesuatu di sini," kata Remba memecah sunyi sembari menyodorkan sebuah buku.

Tami mendongak, menatap Remba seakan tidak mengerti, dan menggeleng.

"Tulis apa saja yang kamu inginkan," bujuk Remba.

"Aku tidak ingin menulis apa pun!"

Remba mendesah. "Kepalamu harus berhenti memikirkan duka."

"Pengalihan sesaat!"

"Setidaknya bagus untuk mewaraskan pikiran."

Tami tertawa pelan. "Ada-ada saja!"

"Cobalah," bujuk Remba lagi, "tulis apa saja selain duka karena cinta!"

Tak ingin melihat lelaki yang disayanginya terus membujuk, Tami mengambil buku di tangan Remba, membuka lembar demi lembar, dan mulai menulis.

***

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Aku dan Di

Daripada menentukan apakah di digabung atau dipisah, orang-orang lebih mudah membedakan rindu dan cemburu.

Dulu aku selalu kesulitan setiap ingin menulis di. Aku sering bingung menentukan apakah di mesti dipisah atau digabung. Lebih dungu lagi, aku malas membaca. Jangan timpakan kesalahan hanya kepadaku. Siapa suruh buku-buku tentang bahasa Indonesia dikemas tidak menarik. Tampilannya begitu-begitu saja, bikin mata cepat redup. Apalagi diktat tentang bahasa Indonesia. Melihat sampulnya saja sudah membuatku menguap.

Setelah bertemu kamu, aku tidak bingung lagi. Aku tidak tahu ilmu apa yang kamu pakai sehingga semua ocehanmu tentang bahasa Indonesia dapat kucerna dengan mudah. Mungkin kamu punya mantra, mungkin. Apa pun itu, kamu laksana pesulap yang selalu membuatku penasaran. Mengapa kain bisa menjadi bunga? Kenapa bunga berubah jadi merpati? Bagaimana pesulap mengubah tongkat menjadi tali? Ya, kamu membuatku seperti bocah kecil yang diperangah tukang sulap.

Mula-mula kamu mengingatkanku tentang kaidah penulisan partikel pun. Kemudian, kamu menegurku secara lembut soal penggunaan dan lain-lain. 

Sekarang, bagiku, penulisan di sudah sangat remeh. Seremeh membedakan rindu dan cemburu. Mula-mula kulihat kata yang mengikuti di. Jikalau diikuti kata kerja, pasti kugabung. Dipeluk, misalnya. Atau, dimakan. Karena peluk dan makan adalah kata kerja, jadilah kugabungkan penulisannya. Tentu akan berbeda dengan batu atau meja, sebab keduanya merupakan kata benda. Maka di batu dan di meja yang tepat, bukan dibatu atau dimeja.

Dari kamu juga aku tahu bahwa kata depan di berfungsi untuk menandai tempat berada dan digunakan di depan kata benda. Maka, akan kupisahkan apabila kutemukan di yang diikuti oleh kata benda. Selain itu, kukenali pemisahan itu dari kata rujukan tempat. 

Di hatimu, bukan di hatinya, sebab hatimu satu-satunya alamat yang dituju oleh cintaku.

Dengan gayamu yang lembut, kauterangkan pula bahwa kata depan di dapat diikuti oleh kata yang menunjukkan bagian dari tempat yang dimaksud, seperti di antara, di atas, di belakang, di dalam, di dekat, di kanan, di kamar, di luar, di muka, di samping, di sekitar, di tepi, atau di tengah.

Sudah dulu, ya. Duka sudah letih bermain-main di benakku.

***

Remba membaca tulisan Tami secara khidmat. Kadang mengangguk-angguk, kadang tersenyum-senyum. Tami bersandar di lengannya dengan mata separuh memejam.

"Sekarang giliranku," kata Remba sembari bersiap-siap menulis.

"Tunggu," ujar Tami.

"Kenapa?"

Tami mengedipkan mata seraya tersenyum. "Apa tanggapanmu?"

"Setelah menulis," ujar Remba seraya tersenyum, "kamu tampak makin cantik."

"Gombal!"

"Serius!"

Tami mendelik. "Maksudku, tanggapanmu terhadap tulisanku!"

"Apik!"

"Persis tanggapanmu kepada teman-temanmu di Istagram atau Twitter."

Remba terkekeh-kekeh. Lalu, ia menunduk dan segera menulis.

***

Kita dan Pada

Kutunggu kamu pada hari ketika tiada apa-apa yang ingin kulakukan selain mengobati rinduku kepadamu. Kamu tahu hari itu. Hari yang didahului kata setiap.

Dulu, pada masa-masa awal kedekatan kita, aku sering takut menegurmu setiap kamu keliru menggunakan bahasa Indonesia. Aku takut kamu tersinggung, lalu marah, lalu menjauhiku. Aku memang mencintai bahasa Indonesia, tetapi aku lebih mencintai kamu. Lebih tepatnya, aku takut kehilangan kamu gara-gara bahasa Indonesia. Menemukan gadis yang tulus mencintai pemuda dengan masa depan tidak jelas, sepertiku, lebih sulit dibanding menegakkan benang basah.  

Hanya saja, aku tidak ingin melihat kamu terus-terusan salah, sebagaimana kamu juga tidak mau melihatku terus-terusan malas. Pelan-pelan kunyatakan apa yang ingin kukatakan. Kuceritakan kepadamu tentang tetanggaku yang boros memakai kata, padahal aku tengah memintamu agar irit dalam memakai kata. Kuceritakan kesalahan orang yang menukar mengubah dengan merubah, padahal aku sedang menegurmu secara tidak langsung.

Puji Tuhan, kamu ternyata memang cantik lahir dan batin. Lambat laun kaucintai bahasa Indonesia. Malah kukira, sekarang, derajat cinta kita pada bahasa Indonesia sudah setara. Kini kamu rajin mengampanyekan bahasa Indonesia. Kamu sudah tamat dalam perkara kata yang keliru alias salah kaprah. Sungguh, aku sangat bangga dan bahagia.

Aku ingat sesuatu. Pada suatu ketika, kautukar posisi pada gara-gara kehadiran di. Sebenarnya tidak apa-apa, asal kamu tidak menukar posisi dia di masa lalumu dengan posisiku di masa kinimu. Namun, saat itu, kurasa kita harus membincangkan perkara pada dan di ini.

Telah kita ketahui bahwa di sebaiknya tidak digunakan di depan kata ganti aku, kamu, atau dia. Anehnya, kita gemar mengulang kesalahan yang sama. Ponselmu ada di dia, misalnya. Kita tahu itu keliru, tetapi masih mengatakannya. Padahal yang tepat: Ponselmu ada pada dia. Atau, Ponselmu ada padanya.

Ada yang lebih menyebalkan. Kita tahu teori tentang peletakan kata depan di agar tidak diletakkan di depan kata nama waktu. Sejak kecil kita dengar potongan lagu pada hari Minggu. Namun, kita tetap lebih sering mengatakan di hari Minggu. Itu contoh sederhananya. 

Ah, kita memang suka mengulang kesalahan yang sama. Saling menyakiti, misalnya!

Bukumu ada padanya. Itu yang tepat. Bukan: Bukumu ada di dia. Kadang-kadang kau pun keliru memakai di depan kata waktu. Pada abad ke-XI. Itu yang benar. Bukan: Di abad ke-XI. Ketika kaupinjam novelku dan kutanyakan kapan kamu kembalikan, kamu jawab secara keliru. Novelmu kutitipkan di Irfan. Kata Irfan merujuk pada nama diri, jadi sebaiknya menggunakan pada. Novelmu kutitipkan pada Ryan.

Kita mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tetapi perlakuan kita asal-asalan. Tidak menunjukkan cinta. Meski demikian, kuakui bahwa kamu hebat. Aku belum pernah menemukan orang segesit kamu dalam mempelajari bahasa Indonesia. Mungkin karena kamu menyayangiku sehingga kamu lebih gigih, mungkin.

Hari ini, kusadari dengan sesadar-sadarnya bahwa aku makin mencintaimu.

***

Tari merebut buku di pangkuan Remba dan lekas-lekas membacanya. Sekali-sekali ia tersenyum, sekali-sekali mengernyit. Silir angin meriapkan poninya. Pakaian di jemuran mengelepik, berkibar-kibar ditiup angin. Ranting begonia mengelepit, terkulai diterpa angin. Keriang-keriut batang-batang bambu dilanda angin.

Dada Remba berdentam-dentam menunggu reaksi Tami.

"Terima kasih," tutur Tami sambil menatap Remba dengan mata berkaca-kaca.

"Untuk apa?"

"Untuk semua yang tak terwakili oleh kata-kata."

Remba tersenyum. "Semua perasaan bisa diwakili oleh kata."

"Tidak!"

"Benar!"

"Tapi...."

"Tidak ada tetapi!"

Selama beberapa jenak Tami tercenung. "Aku paham."

"Paham apa?"

"Orang yang mengatakan 'yang tak terwakili oleh kata-kata' sebenarnya karena kurang perbendaharaan kata."

Remba mengangguk. "Lalu menimpakan kesalahan pada kata!"

"Terima kasih atas cintamu kepadaku." Mata Tami berbinar-binar. 

Mata Remba berkaca-kaca. "Akulah yang seharusnya berterima kasih."

"Untuk apa?"

"Karena kamu mau mencintai lelaki seperti aku."

"Dimaklumi saja...."

"Maksudmu?" tanya Remba dengan tatapan menyelidik.

"Aku sedang khilaf."

Remba terkekeh, Tami tersenyum. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun