~ Pepatah MakassarÂ
Belajar lebih arif. Inilah watak kita  yang hilang akibat pilkada. Turbulensi sebelum pilkada terus menyesaki hati dan memenuhi kepala. Kita lupa bahwa pesta demokrasi sudah berlalu. Kita lupa pada hakikat dan esensi pesta itu. Kita lupa bahwa tujuan utama pilih-memilih adalah demi adanya pemimpin.
Pesta sudah selesai, pemimpin telah terpilih.
Nahasnya, bara permusuhan belum padam. Kebencian masih mengalir di dalam urat di bawah permukaan kulit. Urat-urat kebencian itu sewaktu-waktu meregang dan menegang. Tersulut sedikit saja sudah pecah. Padahal, dewasa ini kita sangat mudah menyulut kebencian.
Jangan sampai pesta demokrasi, yang bertujuan luhur itu, justru diakhiri badai tikai tak henti-henti. Kalaupun pilkada kemarin tidak terpilih, tunggu saja lima tahun. Persiapkan diri dengan matang. Kemudian ikut bertarung lagi. Kalah dan menang soal biasa.
Jangan sampai gara-gara pilkada yang sesaat membuat kita sesat. Adik-kakak terus berselisih. Suami-istri terus pisah ranjang. Tetangga terus tak saling menyapa. Orang lain yang terpilih, kita yang bermusuhan. Orang lain dapat kursi, kita terima benci. Orang lain untung, kita malah buntung.
Pepatah Makassar mengingatkan kita terkait pilkada. Tassipangngalleang pepek, tassipannyungkeang pakkekbuk. Tidak saling membagi api, tidak saling membuka pintu. Apalagi kalau sampai saling menggali lubang dan menjorongkan orang lain. Jangan sampai hal sedemikian menimpa kita.
Celakalah kita apabila gara-gara pilkada lantas hubungan keluarga terputus.Â
***
Ammempo sipitangarri, ammenteng sipakalakbirik.
~ Pepatah MakassarÂ