Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Setelah Badai Pilkada Berlalu

2 Juli 2018   19:23 Diperbarui: 2 Juli 2018   20:02 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Belajar lebih dewasa. Andaikan pilkada merupakan ujian kedewasaan kita dalam berpolitik, maka kita belum bisa lulus. Nilai kita merah. Masih sangat rendah. Padahal sudah puluhan tahun kita merdeka, sudah pernah pula pilih-memilih, tetapi kita tak kunjung cerdas dalam berpolitik.

Yang memilih tidak lulus, yang dipilih juga begitu. Cobalah tengok media sosial. Garuk-menggaruk tak pernah berakhir. Caci-mencaci terus terjadi. Hujat-menghujat apalagi. Seolah-olah tidak ada aktivitas yang dapat kita lakukan selain sakit-menyakiti. Begitu setiap saat.

Yang terpilih memang ada yang tidak menepuk dada, tidak berbangga hati, tidak meremehkan yang kalah, namun tidak banyak yang bersedia merangkul lawan politik. Bahkan pendukung lawan politik digusur dari jabatan tertentu, tak peduli yang bersangkutan layak dan patut atas jabatan tersebut, demi menyediakan kursi bagi barisan pendukung.

Yang terpilih lupa satu perkara: tatkala terpilih, ia adalah pemimpin bagi semua, baik yang memilihnya ataupun bagi yang tidak memilihnya. Akibatnya, tahun pertama terpilih sibuk dengan agenda gusur-menggusur. Kemudian, lahirlah barisan sakit hati yang setiap saat siap menyalak.

Yang tidak terpilih juga biasanya memilih jalan repot: kasak-kusuk mencari celah, sibuk menggali-gali lubang, lalu berkoar-koar tentang kecurangan dan kekurangan. Tidak banyak yang bersikap dewasa dalam menerima kenyataan. Kalaupun ada, rasanya bisa dihitung jari.

Yang memilih tidak kalah cengeng. 

Kaum yang memilih pemenang dengan enteng meledek pemilih kandidat yang kalah. Seolah-olah pemenang akan ada jikalau tidak ada pihak yang kalah. Seakan-akan kandidat yang terpilih hanya akan memimpin mereka.

Kaum pemilih kandidat yang kalah tidak kalah beringas. Ada saja sisi yang dicaci, ada saja sudut yang dimaki. Seolah-olah kekalahan dukungannya adalah akhir bagi hidupnya. Seakan-akan tidak ada lagi harapan hidup baginya setelah jagoannya kalah.

Entah sampai kapan kita akan terus seperti itu. Tidak pernah dewasa dalam berpolitik. Terus kekanak-kanakan dalam perkara pilih-memilih. 

***

Tassipangngalleang pepek, tassipannyungkeang pakkekbuk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun