Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Pengeja Luka Itu Lukaku

19 Juni 2018   15:56 Diperbarui: 19 Juni 2018   16:39 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skuat Belgia merayakan gol (Foto: sport.ndtv.com)

Di Piala Dunia, kita harus bermain selama 90 menit. Dan, kita harus siap bekerja keras menunjukkan kematangan dan kekompakan. 

~ Roberto Martinez, Pelatih Belgia

Jerman tumbang. Peringkat 1 FIFA ini ditekuk Meksiko. Brasil, peringkat 2, harus rela berbagi angka dengan Swiss (peringkat 6) setelah bermain imbang 1-1. 

Portugal, peringkat 4, hampir dibekuk Spanyol (peringkat 10) hingga gol ketiga Ronaldo, pada menit ke-88, sehingga laga berakhir 3-3. Kegagalan penalti Messi membuat Argentina, peringkat 5, mesti berbagi angka dengan tim debutan Islandia. 

FIFA.com
FIFA.com

Itulah mengapa kita perlu sesekali membaca peristiwa.

Tidak ada yang mudah dalam hidup ini. Ilustrasi laga pembuka yang dialami lima dari enam peringkat teratas FIFA merupakan pertanda dan penanda. Pertanda soal kegagalan, penanda soal kegagalan. Kemungkinan terburuk dan terpuruk selalu mengintai. Belgia menuai pelajaran berharga sebelum menghadapi Panama. 

Kegigihan saja tidak cukup. Apakah Jerman kurang gigih mengejar defisit gol? Tidak juga. Der Panzer habis-habisan mengepung Meksiko pada babak kedua. Ada tembakan melenceng tipis, ada yang ditepis kiper, ada juga yang dimentalkan tiang gawang. Segigih apa pun kita berusaha, ada kuasa yang bekerja di luar diri kita.

Kesabaran saja tidak cukup. Apakah Argentina kurang sabar? Albiceleste sangat sabar. Mengurung Islandia selama babak kedua, serangan mengalir tiada henti bagai sungai menggempur samudra, tembakan ke arah gawang laksana hujan tumpah. Sesabar apa pun, daya terbaik manusia masihlah sebatas berencana dan berusaha.

Ketenangan saja tidak cukup. Apakah Portugal kurang tenang? Mereka sangat tenang saat diserang dan amat tenang ketika menyerang. Mereka terus bergerak mengejar ketertinggalan, terus beranjak mendekati kemungkinan, dan kemenangan tetap lepas dari genggaman. Setenang apa pun kita, hasil akhir belum tentu sesempurna harapan.

Kesungguhan saja tidak cukup. Apakah Tim Samba kurang bersungguh-sungguh? Mereka sangat bersungguh-sungguh. Segala daya diserahkan, seluruh kemampuan dikerahkan, semua taktik dicurahkan, tetapi kemenangan tidak kunjung terjangkau. Sesungguh-sungguh apa pun kita, nasib baik belum tentu berjodoh.

Pertanda dan penanda selalu ada di sekitar kita. Tahu kata-kata lebih mematikan daripada senjata, kita masih saja gemar saling menyakiti. Tahu sungai bisa melimpah, sampah masih saja kita tumpahkan ke sana. Tahu jalan milik bersama, masih saja ada yang buang sampah dari jendela mobil pribadi. 

Begitulah hikmah yang dipanen Belgia sebelum melawan Panama.

Semesta tekun mengirim isyarat, manusialah yang kurang cermat. Alam berkali-kali mengirim firasat, kitalah yang berulang-ulang menolak alamat.

Belgia memasuki babak pertama dengan skuat berlimpah. 

Di bawah mistar gawang berdiri Thibaut Courtuis andalan Chelsea. Di depannya berdiri tiga bek tangguh. Jan Vertonghen dari Tottenham Hotspur, Dedryck Boyata yang bermain di Celtic, dan Toby Alderweireld yang seklub dengan Vertonghen. Lini belakang yang sangat menjanjikan.

Thomas Meunier (PSG) dipasang Roberto Martinez, sang pelatih, di depan tiga bek. Gelandang serang kreatif yang bersinar di Manchester City, Kevin De Bruyne, bertugas sebagai pengalir serangan. Axel Witsel, yang kian matang di Tianjin Quanjian, bersatu padu dengan Yannick Carrasco (Dalian Yifang) sebagai pengalur serangan. Komposisi lapangan tengah yang menakjubkan.

Sang pengatur serangan, Eden Hazard (Chelsea), bergerak lincah dari tepi kanan lapangan. Dries Mertens (Napoli) menyisir dari sisi kiri. Romelu Lukaku (MU) menunggu kedatangan umpan manja di tengah pertahanan lawan. Simfoni penyerang yang siap menyengat dan membuat lawan melolong-lolong.

Sayang, laga berjalan tidak sesuai harapan. Panama bermain lugas sepanjang babak pertama. Lukaku tumpul, Lukaku meradang. Eden memang bergerak edan, tetapi gocekan dan sontekannya belum sanggup bikin Panama senewen. Mertens bagai singa mati kutu di depan landak. 

Tim debutan Panama membungkam fan Belgia pada babak pertama di Fisht Olympic Stadium, Sochi, Senin (18/6/2018).

Tidak ada laga yang mudah di Piala Dunia. Kami memulai laga dengan baik, sesuai harapan, tetapi kami frustrasi pada babak pertama.

Begitulah pembelaan sang pelatih, Roberto Martinez, dalam konferensi pers setelah laga usai. 

Setelah rihat, skuat Belgia tampil berbeda. Jeda babak pertama jadi pintu masuk untuk mengubah irama permainan. Jika ritme permainan masih sama, tempo serangan masih serupa, dan intensi tekanan persis seperti babak pertama, potensi terluka menganga di depan Lukaku dan kolega.

Harus berubah, harus. Kecuali ingin terluka seperti Jerman.

Sepak bola, seperti filsafat, pada akhirnya bisa menjadi pengetahuan tidak terbatas mengenai segala sesuatu yang dapat menjelaskan segala sesuatu.

Pada satu ketika, Soren Kierkegaard mempertanyakan keberadaan filsafat bagi pergulatan hidup. Yang dibutuhkan manusia, sitir Kierkegaard, bukan sekadar kumpulan pengetahuan sistemik mengenai kebenaran. Manusia butuh pengetahuan tentang bagaimana hidup, membuat pilihan, dan mengambil keputusan.

Kita bisa terluka berkali-kali gara-gara orang yang kita cintai. Itulah pengetahuan dan kebenarannya kita alami sendiri. Tetapi, pengetahuan tidak boleh berhenti di situ. Kita harus memilih apakah bertahan mencintai atau beralih ke lain hati. 

Bertahan berarti sudi terluka lagi atau, dengan sepenuh daya, berusaha agar tidak ada lagi hati yang terluka. Pergi berarti siap mengubur masa lalu dan siaga menghadapi serangan ingatan--yang punya banyak cara untuk menampilkan kenangan pahit.

Kegusaran Kierkegaard adalah kegelisahan Martinez. 

Maka, sepak bola menunjukkan keluhuran filosofinya. Itulah mengapa sehingga ada jeda setelah 45 pertama berlarian ke sana-sini. Bukan semata-mata rihat, minum air, dipijat atau diurut, dan mengatur napas agar segar tatkala memasuki babak kedua.

Tidak sesepele itu esensinya. Jeda antarbabak adalah waktu singkat untuk menentukan nasib. Pasrah atau mati-matian. Menyerah atau habis-habisan. Silakan memilih. Tidak banyak waktu yang tersedia. Luka sudah menunggu, air mata sudah siaga.

"Saya senang melihat reaksi tim," ujar Martinez, yang dilansir SkySports. "Seluruh pemain menunjukkan komitmen agar tidak kebobolan. Kami kembali bermain tenang pada babak kedua setelah gol Dries Mertens. Itu sangat penting bagi kami."

Sepak bola adalah cermin utuh bagi pencintanya dalam meneroka nestapa. 

Segala kegairahan dan kepahitan dapat muncul bersamaan atau bergantian. Kegelisahan dan ketidakmampuan mengambil keputusan dapat membunuh daya tabah. Kecemasan dan ketakutan atas sisa waktu adalah bisa ular mematikan yang pelan-pelan bekerja.

Tak ayal, kegairahan baru menyentuh seluruh jiwa skuat Timnas Belgia ketika memulai babak kedua. Yang salah diperbaiki, yang kurang ditambah, yang bukan kebutuhan tidak dipaksakan. Celah sempit digunakan, peluang kecil dimanfaatkan. Asasnya cuma satu: dengan sebaik-baiknya dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Kacang Garuda tandas pada menit ke-47. Padahal, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda. Cocoran Mertens merobek jala Panama. Celah sempit bernama pecahnya konsentrasi Panama digunakan sebaik-baiknya. Pendukung bersorak, pelatih berteriak. Saya terlonjak, kaki teman saya terinjak. Stadion bergelora, pemain bersukaria.

De Bruyne, yang seolah mati gaya pada babak pertama, langsung unjuk gigi pada babak kedua. Umpan silangnya pada menit ke-69 disundul oleh Lukaku seraya menjatuhkan diri. Gol kedua tercipta. Eden Hazard tidak mau kalah. Ia kirim umpan terobosan mematikan dan segera disulap oleh Lukaku menjadi gol ketiga.

Gara-gara jeda antarbabak, Lukaku menggila. Sundulan dan sontekannya sontak menambah luka warga Panama. Mertens dan Lukaku, atas kerja sama dengan koleganya, telah melakukan sesuatu yang melampaui capaian mereka pada babak pertama.

Sebagian besar penikmat sepak bola hanya bersorak ketika gol tercipta. Sebagian besar di antara mereka abai pada proses. Si Anu hebat, ya, sekarang sudah punya ini-itu. Mereka lupa bahwa, sebelum punya ini-itu seseorang kadang merasakan luka yang parahnya sampai sebegini-sebegitu. 

Dalam ujaran Climacus, tentu setelah diharmonikan dengan nada sepak bola, Lukaku telah mengejar sesuatu yang terbatas dengan ketidakterbatasan yang penuh hasrat. Dua golnya melengkapi sukacita Belgia dan menyempurnakan dukacita Panama. Tak heran jika Lukaku merapal doa sebagai perayaan gol.

Sepak bola adalah filsafat yang kita tonton berkali-kali, bahkan kadang hingga dinihari. Akan tetapi, sebagaimana filsafat yang sibuk ditafsirkan, sepak bola hanya ditakdirkan sebagai tontonan. Tuntunan yang tersirat serta-merta diabaikan pencintanya. 

Penonton di stadion yang kecewa akibat tim dukungannya kalah sekonyong-konyong beringas dan merusak apa saja. Penonton di rumah yang setia begadang tiba-tiba lupa memanusiakan manusia. Keesokan harinya sudah sikut-menyikut di tempat kerja. Kemudian sikat-menyikat di media sosial lantaran pendapat yang tidak sehaluan atau serupa.

Kita lupa bahwa kita baru mampu maju apabila kita mau bekerja sama. Mertens dan Lukaku bukanlah siapa-siapa jika tidak ada Hazard, De Bruyne, atau pemain lain. Kita ada karena ada orang lain. [kp]

Kota Hujan, 2018

Tabik. Jika Anda sempat dan sudi, sila singgah di runtun tulisan saya tentang Filosofi Sepak Bola:

1. La Beneamata dan Semangat Pantang Menyerah.

2. Sajak Hasan Aspahani dan Ronaldo Buka Puasa.

3. Tiga Alasan Kuat Zidane Meninggalkan Real Madrid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun