Sepak bola adalah cermin utuh bagi pencintanya dalam meneroka nestapa.Â
Segala kegairahan dan kepahitan dapat muncul bersamaan atau bergantian. Kegelisahan dan ketidakmampuan mengambil keputusan dapat membunuh daya tabah. Kecemasan dan ketakutan atas sisa waktu adalah bisa ular mematikan yang pelan-pelan bekerja.
Tak ayal, kegairahan baru menyentuh seluruh jiwa skuat Timnas Belgia ketika memulai babak kedua. Yang salah diperbaiki, yang kurang ditambah, yang bukan kebutuhan tidak dipaksakan. Celah sempit digunakan, peluang kecil dimanfaatkan. Asasnya cuma satu: dengan sebaik-baiknya dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Kacang Garuda tandas pada menit ke-47. Padahal, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda. Cocoran Mertens merobek jala Panama. Celah sempit bernama pecahnya konsentrasi Panama digunakan sebaik-baiknya. Pendukung bersorak, pelatih berteriak. Saya terlonjak, kaki teman saya terinjak. Stadion bergelora, pemain bersukaria.
De Bruyne, yang seolah mati gaya pada babak pertama, langsung unjuk gigi pada babak kedua. Umpan silangnya pada menit ke-69 disundul oleh Lukaku seraya menjatuhkan diri. Gol kedua tercipta. Eden Hazard tidak mau kalah. Ia kirim umpan terobosan mematikan dan segera disulap oleh Lukaku menjadi gol ketiga.
Gara-gara jeda antarbabak, Lukaku menggila. Sundulan dan sontekannya sontak menambah luka warga Panama. Mertens dan Lukaku, atas kerja sama dengan koleganya, telah melakukan sesuatu yang melampaui capaian mereka pada babak pertama.
Sebagian besar penikmat sepak bola hanya bersorak ketika gol tercipta. Sebagian besar di antara mereka abai pada proses. Si Anu hebat, ya, sekarang sudah punya ini-itu. Mereka lupa bahwa, sebelum punya ini-itu seseorang kadang merasakan luka yang parahnya sampai sebegini-sebegitu.Â
Dalam ujaran Climacus, tentu setelah diharmonikan dengan nada sepak bola, Lukaku telah mengejar sesuatu yang terbatas dengan ketidakterbatasan yang penuh hasrat. Dua golnya melengkapi sukacita Belgia dan menyempurnakan dukacita Panama. Tak heran jika Lukaku merapal doa sebagai perayaan gol.
Sepak bola adalah filsafat yang kita tonton berkali-kali, bahkan kadang hingga dinihari. Akan tetapi, sebagaimana filsafat yang sibuk ditafsirkan, sepak bola hanya ditakdirkan sebagai tontonan. Tuntunan yang tersirat serta-merta diabaikan pencintanya.Â
Penonton di stadion yang kecewa akibat tim dukungannya kalah sekonyong-konyong beringas dan merusak apa saja. Penonton di rumah yang setia begadang tiba-tiba lupa memanusiakan manusia. Keesokan harinya sudah sikut-menyikut di tempat kerja. Kemudian sikat-menyikat di media sosial lantaran pendapat yang tidak sehaluan atau serupa.
Kita lupa bahwa kita baru mampu maju apabila kita mau bekerja sama. Mertens dan Lukaku bukanlah siapa-siapa jika tidak ada Hazard, De Bruyne, atau pemain lain. Kita ada karena ada orang lain. [kp]