Tuhan yang kamu cintai adalah yang secara rahasia mengajariku cara mencintai kamu.Â
~ Khrisna Pabichara, Bulan, Embun, dan KamuÂ
Menulis itu sebenarnya mudah. Apalagi cuma puisi. Buka dan ramban saja internet, tulis kata kunci di mesin pencari, rambah beberapa situs, maka beruntun puisi segera kita temukan.
Blog pribadi pun banyak yang menayangkan puisi. Ada yang memajang karya sendiri, ada yang memasang karya orang lain, ada pulayang menayangkan karya orang yang diakui sebagai karya sendiri. Pendek kata, rupa-rupa bentuknya.
Dari anak-anak hingga yang sudah renta bisa menulis puisi. Lelaki atau perempuan, suami atau istri, kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, aktivis atau pemalas, pekerja atau penganggur, guru atau murid, kiai atau santri, semua bisa menulis puisi. Pendek kata, rupa-rupa pengarangnya.
Ada yang isinya cuma sebaris, ada yang sampai dua-tiga halaman. Ada yang serius sehingga bikin kening berkerut, ada yang sangat lucu sampai-sampai bibir berkedut. Ada yang diksinya susah dimengerti, ada yang sangat mudah dimaknai. Ada yang mengulas aksi pejabat negara, ada yang mengupas nasib rakyat jelata. Pendek kata, rupa-rupa warnanya.
Lantas apa gunanya tulisan ini saya anggit? Bukankah semua orang mampu menulis puisi? Tenang, Â jangan teriak-teriak. Ini saya kasih tahu. Tulisan ini memang sengaja saya buat asal-asalan dan tanpa macam-macam teori. Buat gaya-gayaan saja. Biar ssaya disangka jago atau hebat atau mumpuni. Jadi kalau ada yang mencari cara menulis puisi di internet, mereka gampang menemukan rujukan. Tidak bingung, tidak pusing.Â
Kecuali tulisan ini yang, saya kira, malah menambah bingung dan pusing. Akan tetapi, bacalah dulu. Oke? Sip. Itu sebabnya tulisan ini saya juduli rahasia receh. Namanya juga receh, ya,  murah dan mudah.
Mari kita mulai memacari puisi!Â
Isinya bisa macam-macam. Soal cinta boleh, soal negara juga boleh. Menurut Kang Engkos Kosasih, tukang mi ayam yang sering mangkal di depan pondokan saya, isinya cinta-cintaan melulu. Kata doi waktu dia ceritakan hobi terbaru istrinya, yakni menulis puisi di Fesbuk. Boleh-boleh saja. Tidak ada larangan.
Maka dari itu, tidak usah khawatir puisimu disebut puisi menyek-menyek. Cuaikan atau abaikan saja bila ada yang sirik dan menuduhmu Si Juru Galau. Ingatlah, sirik tanda tak mampu. Sirik beda dengan kritik, loh. Sirik bertolak dari iri, kritik bertumpu pada isi. Kalau ada yang mengkritik isi puisimu, senyum-senyum dan berterimakasihlah. Itu pertanda ada yang peduli pada puisimu.
Kedua, tentukan bingkai puisi. Apa itu bingkai puisi? Sederhananya begini. Ada orang yang ingin membangun rumah. Mula-mula ia pikirkan dulu bentuk rumahnya. Apakah rumah panggung yang unik atau rumah biasa yang pasaran. Apakah rumah kayu yang klasik atau rumah gedung yang megah. Apakah bercorak nusantara atau model meditarian. Pastikan bentuknya dulu, baru pikirkan perincian anggaran, lama pengerjaan, siapa tukangnya, dan sebagainya.
Bentuk puisi sangat beragam. Ada kuatrin, ada stanza, ada soneta, ada Rhoma Irama. Maaf, bercanda. Itu kalau kita ingin lebih serius mengintimi puisi. Sekarang yang penting menulis dulu. Bahkan ada yang tidak mengikuti pola puisi yang umum atau lazim. Bebas-bebas saja. Belakangan muncul tukang esai yang bikin puisi dan menamai bentuknya sebagai puisi esai.
Tatkala ingin menulis puisi liris tentang lelaki patah hati atau perempuan yang ditinggal mendua, misalnya, lihat-lihat siapa yang sudah menulis soal serupa. Sedapat mungkin hindari kesamaan atau keserupaan. Nanti kamu dikira plagiat. Mau bikin puisi tentang celana, baca-baca dulu celananya Joko Pinurbo. Maksud saya, puisi Jokpin yang mengulas celana.
Begitu kira-kira, ya, kira-kira begitu.
Ketiga, tentukan diksi. Apa itu diksi? Ibarat melihat rupa-rupa makanan berkuah tersaji di atas meja. Ada sup, ada opor, ada soto, ada coto. Kitalah yang menentukan mana yang cocok dengan selera, yang sesuai dengan hasrat, dan tidak membahayakan keselamatan lemak. Begitulah diksi. Kita harus memilih kata apa yang ingin kita masukkan ke dalam puisi.
Kata-kata seperti bisa, dapat, sanggup dan mampu sekilas tampak mirip atau semakna. Jikalau ditilik serius, masing-masing punya kekhasan arti. Tinggal pilih mana yang cocok atau pas dengan selera, niat makna, atau rasa bacamu. Denging dan dengung juga berbeda. Begitu pula dengan berdentam dan berdentum.Â
Usahakan tidak memakai kata yang itu-itu saja. Itu menunjukkan betapa miskinnya kamu. Miskin kosakata. Walaupun sah-sah saja kamu berkilah, kalau nanti ada yang mengkritik, "Saya konsisten memakai kata sama berulang-ulang dalam beberapa puisi."
Saya pernah ditantang oleh teman sepermainan (bukan main hati, ya) untuk menulis puisi tentang laut dan cinta di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Tanpa konsep dan langsung dibacakan. Karena sudah terbiasa, saya langsung melakukannya. Puji Tuhan, orang-orang bertepuk tangan. Bahkan ada yang bersuit-suit.
Tanpa berniat sombong atau pamer (padahal saya sombong dan suka pamer), saya pernah ditantang teman berteater untuk membuat puisi tentang kehilangan. Diksi yang mesti ada ialah air mata, luka, doa. Tidak cukup seperempat jam sudah kelar. Meskipun sajak itu, Riwayat Luka, sempat puluhan kali saya ubah dalam rentang 10 tahun.
Ini tantangan sederhana saja. Itu juga kalau kamu mau dan mampu. [Khrisna]
Kota Gerah, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H