Isinya bisa macam-macam. Soal cinta boleh, soal negara juga boleh. Menurut Kang Engkos Kosasih, tukang mi ayam yang sering mangkal di depan pondokan saya, isinya cinta-cintaan melulu. Kata doi waktu dia ceritakan hobi terbaru istrinya, yakni menulis puisi di Fesbuk. Boleh-boleh saja. Tidak ada larangan.
Maka dari itu, tidak usah khawatir puisimu disebut puisi menyek-menyek. Cuaikan atau abaikan saja bila ada yang sirik dan menuduhmu Si Juru Galau. Ingatlah, sirik tanda tak mampu. Sirik beda dengan kritik, loh. Sirik bertolak dari iri, kritik bertumpu pada isi. Kalau ada yang mengkritik isi puisimu, senyum-senyum dan berterimakasihlah. Itu pertanda ada yang peduli pada puisimu.
Kedua, tentukan bingkai puisi. Apa itu bingkai puisi? Sederhananya begini. Ada orang yang ingin membangun rumah. Mula-mula ia pikirkan dulu bentuk rumahnya. Apakah rumah panggung yang unik atau rumah biasa yang pasaran. Apakah rumah kayu yang klasik atau rumah gedung yang megah. Apakah bercorak nusantara atau model meditarian. Pastikan bentuknya dulu, baru pikirkan perincian anggaran, lama pengerjaan, siapa tukangnya, dan sebagainya.
Bentuk puisi sangat beragam. Ada kuatrin, ada stanza, ada soneta, ada Rhoma Irama. Maaf, bercanda. Itu kalau kita ingin lebih serius mengintimi puisi. Sekarang yang penting menulis dulu. Bahkan ada yang tidak mengikuti pola puisi yang umum atau lazim. Bebas-bebas saja. Belakangan muncul tukang esai yang bikin puisi dan menamai bentuknya sebagai puisi esai.
Tatkala ingin menulis puisi liris tentang lelaki patah hati atau perempuan yang ditinggal mendua, misalnya, lihat-lihat siapa yang sudah menulis soal serupa. Sedapat mungkin hindari kesamaan atau keserupaan. Nanti kamu dikira plagiat. Mau bikin puisi tentang celana, baca-baca dulu celananya Joko Pinurbo. Maksud saya, puisi Jokpin yang mengulas celana.
Begitu kira-kira, ya, kira-kira begitu.
Ketiga, tentukan diksi. Apa itu diksi? Ibarat melihat rupa-rupa makanan berkuah tersaji di atas meja. Ada sup, ada opor, ada soto, ada coto. Kitalah yang menentukan mana yang cocok dengan selera, yang sesuai dengan hasrat, dan tidak membahayakan keselamatan lemak. Begitulah diksi. Kita harus memilih kata apa yang ingin kita masukkan ke dalam puisi.
Kata-kata seperti bisa, dapat, sanggup dan mampu sekilas tampak mirip atau semakna. Jikalau ditilik serius, masing-masing punya kekhasan arti. Tinggal pilih mana yang cocok atau pas dengan selera, niat makna, atau rasa bacamu. Denging dan dengung juga berbeda. Begitu pula dengan berdentam dan berdentum.Â
Usahakan tidak memakai kata yang itu-itu saja. Itu menunjukkan betapa miskinnya kamu. Miskin kosakata. Walaupun sah-sah saja kamu berkilah, kalau nanti ada yang mengkritik, "Saya konsisten memakai kata sama berulang-ulang dalam beberapa puisi."