Ketupat dan opor ayam sudah ludes.
Tami tidak tahan menunggu hingga besok pagi untuk menikmati masakan ibunya. Malam ini lahap, besok pagi lahap lagi. Rekor baru tercipta. Dua piring. Belum pernah sebelumnya ia serakus ini. Tak ayal, ia kekenyangan.Â
Semua gara-gara Remba. Jatah ketupat dan opor lelaki yang dicintainya itu terpaksa ia embat. Entah apa kendala sehingga Remba tidak datang. Padahal tahun lalu Remba datang saat malam takbiran. Padahal Remba tidak mudik tahun ini. Padahal Remba masih di Depok, tidak jauh-jauh amat dari rumahnya.Â
Ia bersandar ke kursi seraya memejamkan mata dan mengusap-usap perutnya. Sesekali mendesah seakan-akan dadanya sesak menahan beban. Ia sendirian di meja makan. Ayahnya tengah dipukau televisi di ruang keluarga. Ada laga pembuka Piala Dunia 2018 di Rusia. Ibunya sedang di kamar mempersiapkan amplop-amplop mungil dan lucu buat barisan anak-anak yang besok bakal bertandang.
Getar gawai mengusik telinganya. Hatinya girang membaca potongan pesan Remba. Buru-buru ia sambar gawai dan membuka WA.Â
Yang menyenangkan tiap akhir Ramadan adalah relanya kita membuka pintu maaf, maka izinkan saya ketuk pintu maaf itu. Semoga Sanak-Kerabat sudi memaafkan kesalahan saya.
Selamat Hari Raya Idulfitri 1439 H.
Perasaan riangnya langsung menguap. Sudahlah tak datang, kiriman pesannya pun tidak istimewa. Itu pesan seragam. Semua orang pasti dikirimi pesan serupa. Ia sama saja dengan Reza atau Irfan atau Leo. Tiada beda. Hatinya kesal alang-kepalang.Â
Meskipun menggerunyam, Tami malas bertanya mengapa Remba tidak datang. Biarkan saja. Lelaki memang sering begitu. Terhadap orang lain demikian peduli, orang yang dicinta malah diabaikan.Â
Ia mendengus lagi, gawai bergetar lagi. Serangan kecewa lagi-lagi mengguncang hatinya. Bukan pesan dari Remba. Ternyata dari Echa, teman karibnya semasa remaja.
Selamat merayakan kemenangan, Tami. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H.
Mohon maaf lahir dan batin.
Seketika ia masam-mesem. Penulisan Idul Fitri  dalam bahasa Indonesia memang selalu jadi perdebatan setiap tahun. Tiada henti, terus begitu. Ia teringat soal salah kaprah yang sering ia obrolkan dengan Remba. Banyak orang mengira penulisan Idulfitri itu dipisah, bukan digabung, hingga orang-orang menyangka penulisan dipisahlah yang tepat. Padahal, bukan.Â
Tami manggut-manggut. Ia bersyukur karena sekarang tidak mesti repot-repot membuka kamus jika ada kata yang menggelitik pikirannya. Tinggal menyalakan gawai, KBBI Daring dalam genggaman. Kehadiran media sosial juga sangat membantu. Ia makmun setia dari akun @ivanlanin, @1bichara, dan @badanbahasa di Twitter.Â
Ketiga akun tersebut, ditambah kehadiran Remba selaku kamus berjalan baginya, jadi pengaya kosakata dan wawasan kata. Dari ketiga akun itu pula ia tahu mengapa Idulfitri ditulis serangkai.Â
Idulfitri diserap dari bahasa Arab. Dari dua kata, yakni id dan alfitri. Kata id bukanlah kata mandiri atau kata yang bisa berdiri sendiri. Barulah berarti apabila kata alfitri atau aladha mengikutinya. Karena ketidakmandirian itulah maka ditulis serangkai.
Kata id persis aku yang tidak mau dan tidak mampu hidup sendiri. Tanpa kamu, aku bukan siapa-siapa. Kehadiranmu, bagiku, laksana kehadiran kata alfitri dan aladha bagi kata id.
Supaya kata id berarti atau bermakna maka penulisannya digabung dengan alfitri atau aladha. Hasilnya, Idulfitri atau Iduladha. Supaya hidupku berarti maka aku harus meleburkan egoku ke dalam egomu. Aku dan kamu menghasilkan kita, dua yang satu.
Tami masih menyimpan rapi pesan Remba tentang penulisan Idulfitri. Ia suka pesan itu. Ringkas dan padat. Bukan sekadar mengurai asal usul dan makna kata, melainkan sekaligus mendedah makna penyatuan aku dan kau--menjadi kita. Uraian yang ringan, tetapi sarat makna. Dan, rindunya kepada Remba seketika membuncah.
Ia merasa ada sesuatu yang berderak di dadanya. Ia merasa rindu bergerak di pembuluh darahnya. Ia merasa harus menjelaskan sesuatu kepada sahabatnya. Tebersit niat usil di benaknya. Segera ia balas pesan Echa.
Menurut KBBI disatukan. Jadi Idulfitri, bukan Idul Fitri.
Seperti cinta, kalau sudah menyatu jangan sering-sering berpisah. Nanti benar-benar terpisah. Ingat, kembali bersatu itu peliknya bukan main.
Sepertinya Echa menahan kesal, pikirnya. Sepuluh menit berlalu, tak ada komentar apa-apa dari Echa. Yang muncul justru pesan Dani, teman gengnya sewaktu mahasiswa. Teman yang pernah menyimpan rasa kagum dan bara cinta kepadanya. Tetapi, ia tampik karena hatinya sudah dipenuhi oleh Remba. Dan, ia tak berniat mencari lelaki selain kutu buku bermata empat itu.Â
Lagi-lagi ia menyeringai. Korban baru. Serunya dalam hati.Â
Selamat Hari Raya Idulfitri 1439 H.
Maafkan kesalahan hatiku
karena jatuh hati kepadamu.
Adapun kesalahanmu memilih
dia sudah lama kumaafkan.Jadi, mari saling maaf-memaafkan.
Begitu bunyi pesan Dani. Andai Remba ada, gumam Tami, lelaki penggila buku itu pasti terbahak-bahak.Â
Dani sudah benar dalam hal penulisan Idulfitri. Sayang, Dani keliru menggunakan kata saling maaf-memaafkan. Maaf-memaafkan sudah merupakan bentuk kebersalingan atau tindakan yang berbalas. Kata "memaafkan" berarti satu pihak "memaafkan", satu pihak lagi "dimaafkan". "Maaf-memaafkan" berarti kedua pihak saling memaafkan atau berbalas memaafkan.Â
Tami mengerutkan kening ketika mengetik jawaban untuk Dani.
Menggunakan saling maaf-memaafkan berarti boros memakai diksi. Mubazir. Cukup gunakan (1) Mari saling memaafkan, (2) Mari maaf-memaafkan, dan (3) Mari bermaaf-maafan.
Coba simak poster berikut.
Seperti Echa, Dani tidak membalas kritiknya. Entah mengapa makin banyak orang yang berkuping tipis. Kritik dibutuhkan demi menjaga kewarasan dan kejernihan pikiran. Bagi yang berkuping tipis, kritik kerap salah diterima sehingga dikira celaan.Â
Tami menggeleng-geleng. Dua sahabatnya ternyata tidak kebal kritik.
Hati-hati besok memakan biskuit kalengan. Beredar kabar beberapa di antara biskuit kalengan ditengarai mengandung minyak babi.
Ini bukan hoax. Sebarkan pesan ini supaya kamu mendapat pahala.
Pesan tersebut muncul di Grup WA teman-teman sekelas semasa SD. Tami membaca lagi pesan tersebut. Ada tiga pertanyaan yang mengganjal pikirannya.Â
Pertama, dari mana kabar miring itu bermula? Kabar yang belum tentu benar itu gampang sekali menyulut sentimen keyakinan. Kedua, bukankah sesuatu yang tidak pasti kebenarannya dapat menjadi fitnah? Pendapatan pemilik perusahaan makanan kalengan terancam menurun. Imbasnya, bisa-bisa terjadi perampingan atau pemutusan hubungan kerja. Ketiga, benarkah akan berpahala bila kita menyebarkan kabar angin? Receh banget iman kita apabila orientasi ibadah sebatas memburu pahala.Â
Dan, yang paling menjengkelkan adalah kata hoax. Warga Indonesia memang banyak yang doyan sok Inggris. Keinggris-inggrisan. Padahal jika berbahasa Inggris masih ada yang abal-abal, kalau berbahasa Indonesia juga ada yang masih asal-asalan. Serbatanggung. Ke sini kurang, ke sana apa lagi.
Kata itu sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penulisannya hoaks. Kenapa tidak diserap secara utuh? Karena bahasa kebanggaan bangsa kita punya kaidah penyerapan. Kata yang mengandung konsonan /x/ yang dieja atau dilafalkan /ks/ diserap menjadi /ks/. Sesederhana itu.
Jemari Tami akhirnya gatal. Ia kirim sebuah poster ke grup WA.Â
Tami cengar-cengir saja. Walaupun itu hanya sesaat. Pesan gambar Remba membuatnya terdiam.
Gawai hadir untuk mempermudah komunikasi. Bukan untuk mengambil alih semua model berkomunikasi!
Kota Hujan, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H