Seperti Echa, Dani tidak membalas kritiknya. Entah mengapa makin banyak orang yang berkuping tipis. Kritik dibutuhkan demi menjaga kewarasan dan kejernihan pikiran. Bagi yang berkuping tipis, kritik kerap salah diterima sehingga dikira celaan.Â
Tami menggeleng-geleng. Dua sahabatnya ternyata tidak kebal kritik.
Hati-hati besok memakan biskuit kalengan. Beredar kabar beberapa di antara biskuit kalengan ditengarai mengandung minyak babi.
Ini bukan hoax. Sebarkan pesan ini supaya kamu mendapat pahala.
Pesan tersebut muncul di Grup WA teman-teman sekelas semasa SD. Tami membaca lagi pesan tersebut. Ada tiga pertanyaan yang mengganjal pikirannya.Â
Pertama, dari mana kabar miring itu bermula? Kabar yang belum tentu benar itu gampang sekali menyulut sentimen keyakinan. Kedua, bukankah sesuatu yang tidak pasti kebenarannya dapat menjadi fitnah? Pendapatan pemilik perusahaan makanan kalengan terancam menurun. Imbasnya, bisa-bisa terjadi perampingan atau pemutusan hubungan kerja. Ketiga, benarkah akan berpahala bila kita menyebarkan kabar angin? Receh banget iman kita apabila orientasi ibadah sebatas memburu pahala.Â
Dan, yang paling menjengkelkan adalah kata hoax. Warga Indonesia memang banyak yang doyan sok Inggris. Keinggris-inggrisan. Padahal jika berbahasa Inggris masih ada yang abal-abal, kalau berbahasa Indonesia juga ada yang masih asal-asalan. Serbatanggung. Ke sini kurang, ke sana apa lagi.
Kata itu sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Penulisannya hoaks. Kenapa tidak diserap secara utuh? Karena bahasa kebanggaan bangsa kita punya kaidah penyerapan. Kata yang mengandung konsonan /x/ yang dieja atau dilafalkan /ks/ diserap menjadi /ks/. Sesederhana itu.
Jemari Tami akhirnya gatal. Ia kirim sebuah poster ke grup WA.Â