Sebagai penulis, tugas saya adalah menulis. Dinihari sebelum makan sahur kerap merupakan waktu paling menyenangkan untuk menulis. Pengalaman yang baru atau sudah lama kualami segera pindah dari kepala ke kertas. Peristiwa menyedihkan segera migrasi dari ingatan ke dalam tulisan.
Adalah kelegaan tak terperi sewaktu satu tulisan kelar. Semacam katarsis, semacam ekstase. Kepuasan batin. Bukankah batin yang puas dan bahagia memengaruhi kesehatan lahir kita?Â
Lewat menulis, saya merasa merdeka. Kemerdekaan itu menuntun saya meninggalkan bebas dari menuju bebas untuk.
Ketiga, teri kacang dan telur dadar. Inilah menu sahur andalan saya. Sejak remaja hingga berumah tangga, sahur berasa kurang lengkap tanpa kehadiran teri kacang dan telur dadar. Meskipun ada opor ayam atau semur jengkol, teri kacang dan telur dadar lebih menggoda selera saya.
Bagi orang lain barangkali akan jemu menyantap menu sama selama beberapa hari. Saya tidak. Teri kacang dan telur dadar seperti cinta dan rindu: tak pernah menjemukan, tak akan membosankan. Meskipun saya terbiasa meneguk ludah tatkala yang diinginkan tidak tercapai, tetap saja ada rindu selama sahur pada teri kacang dan telur dadar.
Itulah tiga menu sahur andalan saya. Dua di antaranya merupakan santapan rohani, satu sisanya adalah makanan ragawi. Setelah menyantap ketiganya, biasanya saya tidak segera tidur. Sehebat apa pun bujukan kantuk agar tidur setelah makan sahur, akan saya lawan.Â
Saya menunggu Subuh. Saya menunggu waktu yang indah untuk meresapi hening. Subuh adalah hening yang bening. Selepas Subuh, keputusan saya limpahkan kepada tubuh. Jika tubuh meminta tidur, saya akan tidur. Mumpung minggu, jam tidur lebih panjang.Â
Apalagi nanti malam akan begadang menikmati pertarungan hidup mati antara Real Madrid dan Liverpool. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H