Puasa yang wajib kita lakukan selama Ramadan bukanlah lakon menyiksa diri dengan berlapar-lapar dan berhaus-haus. Puasa merupakan laku memperkuat diri menghadapi serangan hawa nafsu. Yang halal dilakukan siang hari pada bulan-bulan sebelumnya menjadi haram selama Ramadan. Makan dan minum, contohnya. Aktivitas biologis antara suami dan istri, misalnya.
Dengan demikian, puasa sejatinya merupakan tameng bagi sanubari kita. Mengapa demikian? Kita sadar bahwa nafsu merasuki pikiran dan memasuki perasaan. Kita tahu bahwa nafsu sanggup meracuni keyakinan. Bersama puasa kita menjadi kuat berhadap-hadapan dengan nafsu. Termasuk ketika kita sendirian di rumah dan dorongan nafsu menuntun kita ke dapur dan diam-diam menyudahi ibadah rahasia ini. Tidak ada yang lihat, begitu bujuk nafsu. Tidak ada yang tahu, begitu rayu nafsu. Jika kita lengah dan lemah, kita akan berdiri di hadapan nafsu sebagai pihak yang kalah.
Adalah sesuatu yang berat melawan hawa nafsu. Rasulullah saw. bahkan menyatakan bahwa perang mahadahsyat adalah perang melawan hawa nafsu. Yang terbiasa makan-minum sesuka hati harus belajar menahan diri. Yang terbiasa mencak-mencak marah harus melatih kesabaran. Yang terbiasa pelit bin kikir mesti belajar berbagi. Yang terbiasa didengarkan sekarang harus belajar menyimak. Dan seterusnya.
Begitu pula dengan mereka yang hidup di rantau atau yang masih menetap di kosan atau di pondokan, harus habis-habisan melatih kesadaran. Sahur seadanya, buka puasa juga begitu. Kalau warteg dekat pondokan tutup, mi instan cukup buat sahur. Kalau saudagar takjil belum menjamur, es teh manis saja sudah melegakan.Â
Jadilah kuat bersama penderitaan. Begitu pesan Friedrich Nietzsche. Biarkan nestapa mengokohkan batinmu. Begitu petuah Naguib Mahfouz. Maka, sahur tetap menyenangkan meski makanan yang tersaji cuma seadanya. Maka, buka puasa tetap mengenyangkan walau makanan yang tersaji tidak seberapa. Bukan apa dan seberapa lezat makanan yang kita lahap, melainkan seberapa bersyukur kita menerima apa yang ada. Itulah esensinya.
Ah, sepertinya saya melantur terlalu jauh dari tema. Oh, tidak juga. Saya tengah bercakap-cakap dengan hati sendiri. Orang-oramg sibuk membahas makanan lahir sehingga lupa pada makanan batin.Â
Baiklah. Abaikan pengantar di atas apabila tidak berfaedah. Sekarang saya akan langsung lesak ke tema ulasan kita. Berikut tiga menu sahur andalan anak kos. Kamu boleh setuju, boleh pula menampik pendapat saya. Yang pasti, santai sajalah.
Pertama, tadarus dan tafakur. Jelas-jelas ini bukan makanan lahiriah. Tidak apa. Saya selalu mengupayakan bangun pukul tiga dinihari. Denging alarm ponsel sangat gigih membangunkan saya. Setelah terjaga, akan saya teruskan cicilan tadarus sisa semalam.Biasanya tiga atau empat halaman.
Setelahnya, saya akan membaca novel atau buku atau tulisan teman-teman Kompasianer. Itu masih bagian dari tadarus, sekaligus tafakur. Bedanya pada mengaji dan mengkaji. Tafakur adalah makanan batin yang dapat menyehatkan tubuh lahir. Di dalam jiwa yang sehat besar kemungkinan terdapat tubuh yang sehat.
Sehat dari dengki, sirik, iri, benci, dan pelbagai penyakit hati akan menular pada kesehatan lahiriah kita. Saya percaya itu.
Kedua, menulis setidaknya dua-tiga halaman. Inilah menu sahur kedua saya. Masih menu sahur buat jiwa, belum beranjak ke menu sahur raga. Otak yang masih segar selalu memudahkan gagasan saya tumpah ruah ke dalam tulisan. Dampak tafakur masih berasa. Ketenangan batin bagai jalan bebas hambatan bagi ide-ide yang berkelindan di dalam benak.