Mohon tunggu...
Alifah Najla Azzahrah
Alifah Najla Azzahrah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang perempuan yang hobi rebahan sambil menuangkan ide-ide kreatif melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung di Langit Senja

6 September 2024   16:39 Diperbarui: 6 September 2024   16:45 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BURUNG di LANGIT SENJA

Di sebuah hutan yang rindang, hiduplah seekor burung kecil bernama Koci. Setiap pagi, ia terbang di sekitar pohon-pohon, mencari serangga untuk dimakan, dan di sore hari, ia bertengger di dahan tertinggi untuk memandang langit senja. Langit senja adalah hal yang paling indah bagi Koci. Perpaduan warna jingga, merah, dan ungu yang tersebar di cakrawala selalu membuatnya bermimpi. Mimpi untuk terbang jauh, lebih tinggi dan lebih luas, menjelajahi dunia di balik hutan yang selama ini menjadi rumahnya.

"Suatu hari, aku akan terbang hingga ke ujung langit itu," kata Koci kepada dirinya sendiri. "Aku akan melihat lautan, gunung-gunung tinggi, dan padang luas yang hanya aku dengar dari cerita burung-burung yang pernah melintas di sini."

Koci bukan satu-satunya burung di hutan itu. Ada banyak burung lain, dari berbagai jenis. Beberapa burung gagak besar sering terbang jauh, mengunjungi tempat-tempat yang Koci belum pernah lihat. Mereka selalu kembali dengan cerita-cerita hebat tentang dunia di luar hutan.

"Aku pernah terbang hingga ke tepi laut," ujar seekor burung gagak pada suatu hari. "Di sana, angin bertiup kencang, ombak besar menghantam tebing-tebing, dan matahari tenggelam di balik cakrawala, memberikan pemandangan yang luar biasa."

Koci mendengarkan cerita itu dengan mata berbinar-binar. "Aku juga ingin pergi ke sana!" serunya, namun burung gagak hanya tertawa kecil.

"Kamu terlalu kecil, Koci," kata gagak itu. "Burung sepertimu takkan bisa terbang sejauh itu. Angin laut terlalu kuat. Kamu harus tahu batasmu."

Perkataan gagak membuat Koci sedikit kecewa, tetapi tidak membuatnya menyerah. Setiap hari ia tetap terbang di sekitar hutan, memperkuat sayapnya, berharap suatu hari nanti bisa mewujudkan mimpinya. Ia terbang dari satu pohon ke pohon lain, naik semakin tinggi, dan melatih dirinya untuk menghadapi angin yang lebih kencang.

Namun, kenyataan tidak selalu berpihak pada impian. Suatu sore, ketika Koci sedang bertengger di dahan tertinggi seperti biasa, angin kencang datang tanpa peringatan. Koci yang ringan langsung terhempas dari tempatnya. Ia mencoba mengepakkan sayap sekuat tenaga, namun angin terlalu kuat. Tubuh kecilnya terbawa oleh arus angin yang semakin liar.

Setelah beberapa saat terombang-ambing di udara, Koci akhirnya jatuh terjerembab di semak-semak. Kepalanya pusing, sayapnya terasa sakit, dan hatinya diliputi ketakutan. Saat itulah, ia menyadari bahwa apa yang dikatakan burung gagak mungkin benar. Ia kecil, terlalu lemah untuk menghadapi angin sekuat itu. Apakah ia memang tidak ditakdirkan untuk terbang jauh? Apakah mimpinya hanya angan-angan kosong?

Hari-hari berlalu, dan Koci mulai merasa putus asa. Ia berhenti mencoba terbang lebih tinggi atau lebih jauh dari biasanya. Ia tetap tinggal di dalam hutan, hanya terbang di antara dahan-dahan rendah. Bahkan, ia mulai merasa takut akan ketinggian.

"Sudah cukup," katanya pada dirinya sendiri. "Aku memang seharusnya berada di sini. Aku tidak perlu melihat dunia luar."

Tetapi, setiap kali senja datang, hatinya kembali bergetar. Langit jingga dan ungu itu terus memanggilnya. Di sanalah tempat impiannya terbentang luas. Meski ia sudah berusaha menekan perasaannya, Koci tidak bisa menahan kerinduan untuk terbang jauh, melihat hal-hal yang belum pernah ia lihat. Namun, setiap kali ia melihat ke langit, bayangan angin kencang yang menjatuhkannya selalu menghantui.

Suatu hari, saat Koci sedang termenung di dahan rendah, seekor burung elang terbang melintas. Elang itu terbang rendah, memperhatikan Koci yang tampak lesu.

"Hai, burung kecil," sapa elang itu dengan suara tegas. "Kenapa kamu tampak sedih?"

Koci mengangkat kepalanya, terkejut dengan kedatangan elang. "Aku hanya... aku hanya merasa mimpiku terlalu tinggi untuk kucapai," jawab Koci lirih. "Aku ingin terbang jauh dan melihat dunia, tapi aku terlalu kecil. Aku tidak sekuat burung-burung lain."

Elang mengamati Koci sejenak, kemudian tersenyum. "Ukuran tubuhmu bukanlah halangan untuk terbang jauh," kata elang dengan bijak. "Yang kamu butuhkan bukan hanya kekuatan sayap, tetapi juga keberanian hati. Angin yang keras memang bisa menjatuhkanmu, tetapi ia juga bisa membawamu ke tempat yang lebih tinggi jika kamu tahu cara menghadapinya."

Koci menatap elang itu dengan penuh harap. "Bagaimana caranya? Aku sudah mencoba, tetapi aku selalu terjatuh."

"Terjatuh bukan berarti gagal," jawab elang. "Itu adalah bagian dari perjalananmu. Jangan takut untuk mencoba lagi, tetapi kali ini, cobalah untuk merasakan angin, bukan melawannya. Pelajari cara angin bergerak, dan biarkan ia membimbingmu."

Kata-kata elang itu memberikan Koci semangat baru. Ia menyadari bahwa mungkin selama ini ia terlalu memaksa, mencoba melawan angin alih-alih bersatu dengannya. Dengan tekad yang baru, Koci memutuskan untuk mencoba sekali lagi. Ia menunggu senja tiba, ketika angin mulai berhembus lembut di antara pepohonan.

Dengan hati-hati, Koci terbang menuju dahan tertinggi. Kali ini, ia tidak terburu-buru. Ia merasakan angin di bulu-bulunya, memperhatikan bagaimana ia bergerak. Saat angin mulai berhembus lebih kencang, Koci tidak melawan. Ia membiarkan sayapnya mengikuti arus angin, memandu tubuhnya naik lebih tinggi.

Perlahan, Koci terbang semakin jauh dari pohon-pohon di hutan. Angin yang dulu membuatnya takut kini terasa seperti sahabat yang membantunya terbang lebih tinggi. Semakin tinggi ia terbang, semakin luas dunia yang ia lihat di bawahnya. Hutan tempat tinggalnya terlihat kecil, seperti sebuah titik di hamparan alam yang luas.

Di kejauhan, Koci melihat pegunungan menjulang tinggi, dengan puncak-puncak yang diselimuti salju. Ia juga melihat sungai berliku-liku mengalir menuju lautan yang luas, dengan ombak yang berkilauan diterpa sinar matahari senja. Dunia yang selama ini ia impikan ternyata jauh lebih indah dari yang ia bayangkan.

Koci terbang melintasi senja, merasakan kebebasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyadari bahwa mimpinya tidak pernah terlalu tinggi. Selama ia memiliki keberanian dan kesabaran, ia bisa mencapai apa yang ia inginkan.

Dan di atas langit senja itu, Koci menemukan jati dirinya yang sesungguhnya. Seekor burung kecil dengan mimpi besar yang akhirnya berhasil terbang lebih jauh dari yang pernah ia impikan.

---

Malam itu, Koci kembali ke hutan dengan perasaan bahagia. Ia tidak lagi merasa kecil atau lemah. Ia telah mengatasi ketakutannya dan belajar untuk mempercayai angin. Meskipun perjalanannya baru dimulai, Koci tahu bahwa ia kini memiliki kekuatan untuk terbang sejauh yang ia inginkan.

Langit senja tetap menjadi pemandangan yang indah baginya, tetapi kali ini, bukan lagi sebagai lambang mimpi yang tak terjangkau, melainkan sebagai tempat di mana ia telah mencapai kebebasan yang selama ini ia cari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun