Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat.Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rasa dan Politik Apatis

10 Mei 2020   08:00 Diperbarui: 10 Mei 2020   21:30 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     'Rasa' terhadap karya seni tidak rumit.  Manusia perlu mencari akar yang menyebabkan tumbuhnya rasa. Setelah manusia menemukan akar dari 'rasa', manusia segera beraksi untuk mencipta karya tandingan atau karya murni sebagai pupuk agar akar 'rasa' tetap tumbuh. Dengan 'rasa' dalam diri, karya seni diminati.

     Dengan adanya 'rasa', beberapa karya seni masih langka dan mahal. Rasa memberikan perbedaan harga antara karya-karya seni. Salah satunya ialah karya seni dari para seniman besar dunia. Jika karya itu dirasa luar biasa, "rasa" manusia membawa keuntungan ekonomis.

     Dengan punya rasa, manusia terdorong untuk menjadi pencipta sekaligus pemakai. Hanya segelintir warga dunia memiliki 'rasa' dan mampu menikmati karya seni. Tanda dari adanya rasa terhadap seni ialah penikmat langsung membeli produk seni.

     Puluhan juta karya seni adalah karya rakyat yang hanya berbicara di tingkat daerah. Hal ini menimbulkan rasa bangga. Dengan kemajuan internet dan perkembangan seni yang semakin merakyat, banyak warga dunia yang dahulu mungkin kalah bersaing secara ekonomi dan sosial-politik, sekarang menjadi pencipta benda yang berguna sekaligus menikmati keindahan seni.

      Dengan bersikap apatis, karya seni berlalu tanpa perhatian karena tak ada 'rasa'. Seni mundur bahkan akan mati tanpa 'rasa'. Peradaban seni membutuhkan 'rasa'. 'Rasa' terhadap pertunjukan seni bukan saja karena nasib baik, tetapi karena tanggung jawab tradisi dan pendidikan. Sayang sekali, akibat nasib tidak baik, banyak manusia bersikap apatis. 

      Produk karya sendiri, kedermawan/penghormatan terhadap kemanusiaan, emosi yang memuaskan akan meningkatkan rasa. Rasa adalah milik sosial paling berharga. Di dalam rasa ada kemanusiaan sempurna. Kesempurnaan rasa adalah kejayaan. 

     Tapi ada pihak kuat yang mengeksploitasi rasa. Sehingga karya kreatif seni sering jatuh ke tangan para penguasa, para korporat dan pemilik modal yang korup demi kepentingan karier, ekonomi dan politik. Rasa manusia bisa hilang dalam tangan para penguasa korup. Korupsi, kolusi dan nepotisme mengeksploitasi rasa warga kecil, miskin dan tak berdaya. 

     Tentang cipta karya, norma lebih penting dari nilai. Banyak karya seni  beredar tanpa produk hukum. Hal ini mengancam kreatifitas. Melalui ajakan untuk mencipta, berliterasi, berkolaborasi dan berkemampuan komunikasi dalam Kurikulum 2013, saatnya manusia melindungi dan menghidupkan rasa atas seni sebagai bagian dari penegakkan hak-hak asasi manusia.

      Pencipta, penyimpan dan pengusaha seni adalah orang-orang sejahtera dan makmur yang memiliki rasa. 'Rasa' ketertarikan seseorang terhadap indahnya seni bahkan bila sampai ia memiliki benda seni yang indah adalah wujud kekayaan esensi dan eksistensi manusia berupa: kekayaan akal, budi dan emosi.

     Keindahan seni adalah segalanya bagi semua manusia. 'Indah' adalah pengalaman membahagiakan, mensejahterakan, menyejukkan kalbu dan mendamaikan. Sejak kolonialisme, seorang manusia barat bercita-cita untuk meraih kesejahteraan, keadilan dan kedamaian dengan berjuang dalam segala cara agar mendapatkan benda--benda seni demi mutu kehidupan. 

     Benda-benda seni yang memiliki keindahan dihargai. Kemahalan sebuah karya seni yang indah hanya terjadi apabila penikmatnya memiliki ketajaman rasa untuk menikmati indahnya rupa seni, sebagai tanda kemakmuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun