Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat. Roasters Giveaway 2024.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rasa dan Politik Apatis

10 Mei 2020   08:00 Diperbarui: 10 Mei 2020   21:30 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     

     Pada abad 15, filsuf Desiderius Erasmus (1459-1536) mengguncang dunia ilmu pengetahuan di Eropa setelah ia menulis buku satire termasyur berjudul: Mariae Encomium yang artinya pujian terhadap kebodohan. Buku itu menjadi terkenal di seluruh Eropa. Berkat bukunya itu Desiderius Erasmus dipandang sebagai seorang humanis terpelajar di zaman renaissance. Nama Desiderius Erasmus dimasukkan sebagai salah seorang ahli pelopor zaman baru sejajar dengan tokoh-tokoh Protestanisme seperti Calvin dan Martin Luther yang hidup sezaman dengannya.

Kekuatan Apatis

     Di mata Desidertius Erasmus, kebodohan memang tampak luar biasa. Beberapa jejaknya tercermin dari zaman kini, hampir semua para pekerja Indonesia yang produktif ialah warga dengan pendidikan SD dan SMP. Warga tidak sekolah lebih banyak bekerja dari warga yang memiliki Ijazah SMA ke atas. Kelemahan orang pintar ialah ia banyak bersifat masa bodoh. Pendidikan adalah pilihan dari keinginan. Tidak semua pilihan karena keinginan menuntut pemenuhan. Setiap orang memang harus selektif. Sikap ini digunakan untuk mencegah nafsu yang sia-sia. Bangsa Romawi kuno sangat ahli menggunakan sifat apatis untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain agar berada di bawah kekuasaan Romawi kuno.

     Walau sesuatu hal menawan, tapi apabila orang-orang pada apatis, maka ia terlewatkan. Orang apatis memanfaatkan situasi demi mencegah nafsu sia-sia demi menguntungkan dirinya. Dalam hal ini 'rasa'  penting dalam menikmati sesuatu yang berguna dan menghibur. 

     Rasa tertarik adalah ideal. Tapi soal kepentingan, melayani siapa? Jadi rasa apatis dapat saja bernilai positif. Sebagai masyarakat kritis, orang harus berusaha agar tidak perlu ada penikmat semata-mata.  'Rasa' yang dimiliki semua manusia adalah usaha pribadi/kelompok dan anugerah Tuhan. Sehingga rasa harus dikembangkan dan disyukuri agar tetap berguna. Jika talenta 'rasa' tidak dikembangkan, manusia mengalami mati rasa.

     'Rasa' adalah harga mahal yang dibayar individu. Produk benda yang berguna dan pertunjukkan seni yang menghibur dapat dinikmati oleh banyak orang yang memiliki 'rasa', keduanya sama-sama bersifat esklusif.

     Semua makhluk di dunia punya 'rasa' dengan bentuknya berbeda-beda. 'Rasa' yang dimiliki para pemirsa dan pembuat seni telah menghasilkan makna karena 'rasa'-lah membuat karya seni menyentuh lubuk hati manusia.

     Dengan punya 'rasa', minat orang terhadap indahnya karya seni tidak pernah kendor. Jika orang apatis, maka minat seni akan surut dan hilang. Dalam komunitas masyarakat kritis dan maju, indra perasa seseorang tidak sembarang mati secara fisik, kecuali manusia meninggal dunia.

     Secara rohani, indra perasa manusia untuk keindahan seni bisa saja mati jika ia tidak didukung oleh pribadi itu sebagai pencipta yang aktif. Pencipta dan penikmat seni dibentuk dalam proses pengolahan hidup di lembaga pendidikan dan latihan selama hidup. Setelah pencipta tiada, karya seni tetap dinikmati. Karya-karya para komponis musik klasik dunia seperti: Beethoven, John Sebastian Bach, dll masih tetap disukai.

     Sekarang seni musik telah merakyat. Kegiatan seni memiliki fungsi-fungsi, yakni: ibadah, kekuatan rohani, warisan leluhur, pendidikan, hiburan dan nafkah. Jika berada di tangan para politikus, seni memiliki kekuatan sosial-politis dan ekonomi yang besar. Sehingga seni adalah pertaruhan harga diri demi meraih kekayaan dan kuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun