Selain suku melus, orang Malaka sebenarnya berasal dari "Sina Mutin Malaka"yang datang dari Negara Cina atau Thailand yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka dan mendiami daerah Belu umumnya. Namun berjalannya waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus dengan Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu yang sekarang mendiami wilayah Malaka. Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu umumnya, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing - masing daerah berlainan.
   Dari makoan Faturuin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Nain.
   Para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana kekuasaan Tanah Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh "Liurai Nain" di Malaka. Bahkan menurut para peneliti asing "Liurai Nain" kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Malaka, Liurai Nain memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Liu Rai sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
   Pada masa penjajahan Belanda muncullah siaran dari pemerintah raja - raja dengan apa yang disebutnya "Zaman Keemasan Kerajaan". Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu, khususnya wilayah Malaka adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Malaka). Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Liurai Nain mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro dan Liurai.
   Tercatat nama - nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
   Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, terkenal nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau di bagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal - usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.
Susunan Strafikasi Sosial Masyarakat Malaka
   Menurut H.J. Grijzen seperti dikutip dalam tulisan Rm. Florens Maxi Un Bria dalam " The Way To Happiness Of Belu People" , masyarakat Malaka mengenal klasifikasi masyarakatnya atas 3 (tiga) golongan, yang secara hirarkis terdiri dari :
1. Dasi atau golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat dan dari kelompok inilah terpilih Loro / Liurai / Na'I yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun temurun.
2. Renu yang tidak lain adalah rakyat jelata yang merdeka
3. Ata atau klason yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan renu atau golongan dasi. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu - Atapupu) sampai pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkann "Pax Nederlandica" sehingga perdagangan budak dihapus.