Lelaki setengah baya, di mulutnya sebatang keretek berasap tebal, duduk santai di teras dilai-balai bambu. Ia sesekali melihat jauh ke depan saksikan mata hari yang mulai menurun, pancarkan rona merah menyala dari balik puncak Gunung Mambuliling.
"Bapaak,"
Ia tersentak mencari suara yang menyalami. Dicabutnya  kretek  berasap tebal dari mulut yang dihiasi kumis tebal keperak-perakan. Lalu menjawab pelan dan berat.
"Leo."
Ia pandangi lama-lama, sosok  yang telah berdiri di gerbang pagar rumahnya. Seorang  wanita muda dengan tas punggung yang besar melewati kepala. Ada juga sall  yang melingkar di lehernya yang kelihatan sawo matang  dibalik sela-sela rambut panjangnya.
Ia peluk anak gadis satu-satunya  yang telah tumbuh menjadi gadis. Sangat mirip almarhuma istrinya. Lincah dan cantik.
"Leo kau telah 25 tahun nak."
Guman bathin pria itu saksikan putrinya, berjalan santai masuk rumah dan terus menghilang dibalik pintu.
"25 tahun yang lalu." Â Â
------000-----
Dudi tak menyangka, usianya telah 55 tahun, karena kesibukannya menulis dan memotret. Memang ia adalah pencinta fotografi dan gemar menulis feature-feature perjalanan. Kesadaran itu terkuat, ketika tanpa sengaja ia menemukan buku catatan miliknya yang telah kumal dari tumpukan majalah yang dimakan rayap. Ia pun membaca tulisan tangan miliknya itu yang telah mulai memudar tintahnya.
22 Agustus 1993, aku berangkat  dari Makassar, menuju ke Kabupaten Polewali Mamasa atau biasa disebut Polmas menuju  Gunung Mabbuliling di Mamasa.  Aku luangkan  waktu dalam perjalanan yang cukup menantang ini untuk mengambil gambar dan menuliskan  cerita tentang Gunung Mambuliling, sebuah gunung yang cukup melegenda karena memiliki nilai hitoria dengan nenek moyang orang-orang di wilayah Pitu Ulunna Salu (PUS) dan Pitu Babanna Binanga (PBB).
Semalam di kaki Mambuliling, sebuah lembah yang luas, disebut Mamasa, hawanya dingin, malam hari suhu bisa dibawah nol derajat celcius penduduknya ramah dan memiliki budaya yang mirip orang Toraja, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki gunung yang terkenal hijau dan sangat  dingin itu. Kami harus kenakan jaket berlapis tiga bila tak ingin membeku.
Pada ketinggian, dimana awan mulai melingkar bukit, saya keluarkan kamera untuk mengambil keindahan alam tersebut. Saat membuka penutup lensa, wow, ternyata telah buram oleh uap air, silica gel yang tersimpan dalam tas, ternyata tak mampu menahan lembabnya udara dingin.
"Hemm,"
Aku berguman sambil mengambil ujung shall yang kukenakan dan mulai melap permukaan lensa, walaupun ini tidak direkomendasikan oleh ahli kamera. Karena pasir halus bisa saja melukai permukaan lensa.
"Kenapa kak, lensanya,"
Akupun menoleh. Oh, tersungging senyuman dengan barisan gigi putih. Itu dari seorang gadis yang mengenakan cupluk tebal. Ia juga melipat tangannya ke badan pada jaket tebal. Jari-jarinya bersarung bersarung tangan tebal pula.
"Waduh, cantik atau tidak ini gadis, hanya bibirnya kelihatan."
Aku mengguman dalam batin. Dasar buaya. Tapi itulah pria, semua adalah buaya. Tapi perasaan, aku ini buaya baik-baik. Tak akan menerkam mangsa lewat dukun. Tidak semua mangsa juga aku terkam. Karena aku bukanlah buaya buas. Tetapi  buaya  sopan.
"Lembab."
Jawabku singkat dengan suara ringan.
 Gadis berkupluk itu mendekat. Rayben penutup matanya di buka.
"Wow."
Aku membathin kaget dan menatapnya dalam-dalam. Mau marah rasanya, kenapa mata kadang disebut mata keranjang. Seingatku, tak satupun keranjang di dunia ini punya mata. Kalau itu ungkapan untuk pria yang suka menatap-natap wanita cantik. Apakah itu salah. Kenapa pula keranjang yang disebut-sebut. Ada juga yang bilang, mata keranjang itu berarti, setiap melihat wanita  cantik pikiran selalu keranjang. Ah, itu terlalu kejam dan porno. Akan lebih halus bila dikatakan, setiap melihat wanita cantik, pikiran selalu ke pelaminan.
"Kacau."
"Apanya kacau, kak."
Gadis itu semakin mendekat dan membuka kupluknya, kelihatan rambutnya yang indah, hitam pekat, panjang pula. Ya, wanita memang sering disebut, mahluk berambut panjang.
"Kacau apanya."
Semakin mendekat, hingga udara beku pegunungan  hantarkan bau harum dari  sosok gadis berkupluk ini, Entah bau rambutnya yang baru di-shampo. Atau bau parfun yang dipakenya. Aku tidak mau tahu. Jelasnya harum di udara beku pegunungan, saat matahari mulai mendekati puncak. Adalah kejutan bagi diriku yang sudah sepekan di kaki gunung yang konon katanya angker  dan penuh mahluk halus yang cantik-cantik.
"Kacau."
Lagi-lagi aku membathin. Berhari-hari di kaki Gunung Mambuliling, baru kali ini ketemu mahluk halus yang cantik.
"Apanya kacau,"
"Pikiranku."
"Hi hi hi. Lucunya, lensa buram, pikirannya kacau, hi hi hi."
Waduh, gadis berkupluk tertawa kecil perlihatkan gigi-giginya yang putih bersih. Tetapi, ketawanya kenapa, hi hi hi. Kayak di filem-filem horor. Jangan-jangan ini mahluk halus benaran. Aku tidak peduli. Bukankan diskusi para pria hidung belang kerkanton  tebal, baik ia pejabat, pengusaha atau politisi di lobby-lobby hotel berbintang, kebanyakan soal  yang halus-halus doang.
"Pake lensa ini, biar pikiranya tidak kacau."
Si cantik berkupluk, tiba-tiba saja mengambil kamera dari genggamanku. Tanpa basa-basi dengan cekatan lensanya diganti dengan miliknya. Lalu diserahkannya kembali kepadaku.
"Ini, ayo, silahkan memotret."
Akun beranjak dari jongkok sambil bernapas lega. Tanpa sengaja lengan kami bersenggolan. Rupanya si kupluk berdiri terlalu dekat dari jongkokanku.
"Oh, maaf."
Kataku gugup. Karena inilah permintaan maaf pertamaku pada mahluk halus. Andai memang si kupluk ini adalah mahluk halus penunggu Gunung Mambuliling.
"Tidak apa kak."
Iapun menatapku dengan mata yang jernih penuh persahabatan. Akupun semakin yakin, kalau mahluk halus berkupluk ini adalah baik dan tidak usil. Lalu berdua kami berjalan sambil mencari tempat-tempat yang cantik dan memotret. Hingga ratusan frame aku abadikan keindahan gunung legendaris ini. Matahari mulai menurun memancarkan sinar  jingga bercampur putih awan pengunungan.
Saat sibuk men-shootting, awan berarak melingkar bukit. Si kupluk menepuk bahuku, bahu yang telah menyentuh bahunya di awal perkenalan kami.
"Sudah mulai sore, kita pulang saja kak."
Akupun menurut mengikuti langkah gadis menurut ke kaki gunung. Namun dengan pikiran yang masih  penuh tanda tanya, mau dibawah kemana sama mahluk halus yang bergigi indah ini.
"Nginap di mana kakak."
Mahluk halus berkupluk bertanya padaku tanpa menoleh ke belakang. Sambil berjalan menguntit dirinya, aku jelaskan bahwa tinggal sementara disebuah losmen kecil di ibukota kecamatan. Si kupluk pun jelaskan kalau dirinya adalah mahasiswa kehutanan di sebuah perguruan tinggi ternama di Kawasan Timur Indonesia. Ia sementara selesaikan tugas akhir dengan meneliti dan menginvetarisir anggrek yang ada di pegunungan Mamasa. Karena menurut si kupluk, Mamasa adalah salah satu tempat di dunia dengan ratusan ragam bunga angrek.
"Nama saya, Leo Conita."
"Nama saya Dudi."
Dasar kacau, kami baru saling berkenalan setelah berjam-jam dalam rimbunnya kayu-kayu hutan tropis. Alam dingin dan sunyi, kecuali napas-napas kami yang hangat dan menyala-nyala.
                                                                             ----000----
Keasyikan membaca catatan kumal tersebut, membuat Dudi tidak menyadari kalau jam dinding telah menunjukkan jam 2.45. Namun keinginannnya untuk  menghirup kopi dan menghisap rokok memaksanya untuk menutup agenda tua tersebut. Ia rapikan jaket dan kain sarung yang terselempang, karena dingin udara di kaki Gunung Mambuliling mulai menusuk hingga tulang.
Lelaki paruh baya ini, memang sedang tidak bisa memejamkan mata, ia ingin pagi segera tiba. Karena esok anak gadis satu-satunya akan datang dari kota ntuk memecah kesunyian di rumahnya.
Note: Kesamaan nama dan tempat  hanya kebetulan belaka,semuanya rekaan penulis semata
 Amping Lau, 30 November  2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H