"Pikiranku."
"Hi hi hi. Lucunya, lensa buram, pikirannya kacau, hi hi hi."
Waduh, gadis berkupluk tertawa kecil perlihatkan gigi-giginya yang putih bersih. Tetapi, ketawanya kenapa, hi hi hi. Kayak di filem-filem horor. Jangan-jangan ini mahluk halus benaran. Aku tidak peduli. Bukankan diskusi para pria hidung belang kerkanton  tebal, baik ia pejabat, pengusaha atau politisi di lobby-lobby hotel berbintang, kebanyakan soal  yang halus-halus doang.
"Pake lensa ini, biar pikiranya tidak kacau."
Si cantik berkupluk, tiba-tiba saja mengambil kamera dari genggamanku. Tanpa basa-basi dengan cekatan lensanya diganti dengan miliknya. Lalu diserahkannya kembali kepadaku.
"Ini, ayo, silahkan memotret."
Akun beranjak dari jongkok sambil bernapas lega. Tanpa sengaja lengan kami bersenggolan. Rupanya si kupluk berdiri terlalu dekat dari jongkokanku.
"Oh, maaf."
Kataku gugup. Karena inilah permintaan maaf pertamaku pada mahluk halus. Andai memang si kupluk ini adalah mahluk halus penunggu Gunung Mambuliling.
"Tidak apa kak."
Iapun menatapku dengan mata yang jernih penuh persahabatan. Akupun semakin yakin, kalau mahluk halus berkupluk ini adalah baik dan tidak usil. Lalu berdua kami berjalan sambil mencari tempat-tempat yang cantik dan memotret. Hingga ratusan frame aku abadikan keindahan gunung legendaris ini. Matahari mulai menurun memancarkan sinar  jingga bercampur putih awan pengunungan.