Saat sibuk men-shootting, awan berarak melingkar bukit. Si kupluk menepuk bahuku, bahu yang telah menyentuh bahunya di awal perkenalan kami.
"Sudah mulai sore, kita pulang saja kak."
Akupun menurut mengikuti langkah gadis menurut ke kaki gunung. Namun dengan pikiran yang masih  penuh tanda tanya, mau dibawah kemana sama mahluk halus yang bergigi indah ini.
"Nginap di mana kakak."
Mahluk halus berkupluk bertanya padaku tanpa menoleh ke belakang. Sambil berjalan menguntit dirinya, aku jelaskan bahwa tinggal sementara disebuah losmen kecil di ibukota kecamatan. Si kupluk pun jelaskan kalau dirinya adalah mahasiswa kehutanan di sebuah perguruan tinggi ternama di Kawasan Timur Indonesia. Ia sementara selesaikan tugas akhir dengan meneliti dan menginvetarisir anggrek yang ada di pegunungan Mamasa. Karena menurut si kupluk, Mamasa adalah salah satu tempat di dunia dengan ratusan ragam bunga angrek.
"Nama saya, Leo Conita."
"Nama saya Dudi."
Dasar kacau, kami baru saling berkenalan setelah berjam-jam dalam rimbunnya kayu-kayu hutan tropis. Alam dingin dan sunyi, kecuali napas-napas kami yang hangat dan menyala-nyala.
                                                                             ----000----
Keasyikan membaca catatan kumal tersebut, membuat Dudi tidak menyadari kalau jam dinding telah menunjukkan jam 2.45. Namun keinginannnya untuk  menghirup kopi dan menghisap rokok memaksanya untuk menutup agenda tua tersebut. Ia rapikan jaket dan kain sarung yang terselempang, karena dingin udara di kaki Gunung Mambuliling mulai menusuk hingga tulang.
Lelaki paruh baya ini, memang sedang tidak bisa memejamkan mata, ia ingin pagi segera tiba. Karena esok anak gadis satu-satunya akan datang dari kota ntuk memecah kesunyian di rumahnya.