Mohon tunggu...
Silla Agustin
Silla Agustin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Aku tidak sebaik kamu, pun dengan tulisanku. "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." _Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mengukir yang Hilang

19 Mei 2024   22:00 Diperbarui: 19 Mei 2024   23:02 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mengapa tidak? Orang yang buruk di masa lalu, bisa jadi lebih baik di masa depan. Begitu pula sebaliknya. Bukankah Allah adalah sebaik-baiknya Sang Perencana?" Beberapa detik kemudian, obsidian itu menghipnotis, membuatnya seolah berada di dimensi lain. Hatinya terketuk. Apa yang dikatakan pria itu benar. Setiap orang bisa berubah.

Satu minggu telah berlalu setelah peristiwa nahas itu dan kini kondisi Bayyinah berangsur-angsur membaik. Cuaca hari ini cukup terik. Ditambah lagi dengan lalu-lalang kendaraan yang telah tercemari oleh knalpotnya semakin membuat bumi kehilangan wajahnya saja. Bahkan beberapa kali mereka terhenti dengan ungkapan umpatan. Inilah ibu kota, yang memang terkenal dengan kemacetannya. Berbeda jauh dengan kampung halaman tempatnya tinggal yang masih asri, tenang, serta jauh dari hiruk pikuknya kerusuhan. Pohon besar di dekat danau merupakan tempat favoritnya. Terlebih lagi perahu tua yang sering kali ia naiki dengan mending abinya. Mengingat semua itu hanya membuat kerinduannya semakin menggunung, memintanya untuk kembali

Tak berselang lama mobil hitam itu terhenti, tetapi bukan di rumahnya melainkan di jalan raya. Bayyinah menyandarkan tubuh dengan atensinya yang menatap nanar ke luar jendela. Tak sengaja netranya menangkap sosok anak kecil yang tengah menggendong adik perempuannya seraya menawarkan tisu pada setiap deretan mobil yang terjebak kemacetan. Hatinya tersayat, sesaat ketika anak laki-laki itu berhenti tepat di samping mobil milik Abil. Menjajakan tisunya kepada mobil sebelah. Namun, hanya tolakan yang ia dapatkan. Wajahnya berubah sendu dan layu. Terlebih lagi ketika seorang pria paruh baya yang dengan kasar mendorong sosok laki-laki kecil itu hingga tersungkur ke aspalan membuat sebagian dari tisunya berserakan.

"Aku lapar, Mas. Sudah tidak tahan lagi, perutku lerih." Gadis kecil dengan kuncir kuda itu merengek. Tangannya meremas pelan perutnya yang mulai berbunyi.

"Nanti kalau mas sudah dapat uang, mas belikan nasi ya, Dek." Bayyinah bangkit dan mendekat ke arah jendela. Ketika ia akan membuka jendela mobil, pria di depannya lebih dahulu memanggil sosok kecil yang mau tidak mau harus menjadi tulang punggung itu.

"Sudah laku berapa biji tisunya, Nak?" Ia menoleh seraya mengucek irisnya yang berair. Anak laki-laki itu mendekat dengan sedikit keraguan. Tidak ada jawaban, hanya gelengan kepala seraya menatap barang dagangannya.

Abil tersenyum seraya mengelus puncak kepala anak laki itu. Ia kembali pada posisi semula, tangannya meraba saku celana dan mengambil benda berwarna hitam yang berisikan lembaran uang dan beberapa kartu penting miliknya.

"Apakah saya boleh membeli tisu itu?" Pria itu kembali bertanya. Anak laki-laki itu hanya bisa mengangguk lemah seraya menyodorkan tisu ke arah Abil. Sesaat kemudian, pria itu melakukan hal serupa. Menyodorkan tangan, memberikan sejumlah uang kertas berwarna biru kepada anak laki-laki itu. Di detik yang sama ia mendongak, menatap tak percaya ke arah Abil kemudian kembali menjatuhkan pandangan pada nominal uang tersebut.

"Ambil, Nak. Ini rezeki untuk kamu dan adikmu. Beli makanan yang enak ya buat Adek. Semangat mencari uangnya, semoga rezekinya lancar." Dengan tangan yang gemetar, sosok rapuh itu mengambil alih lembaran kertas dari tangan Abil. Segurat senyum simpul terbit dari bibir manisnya. Senyum tulus yang menenangkan. Bayyinah tersentuh, tanpa sadar ia mulai meneteskan air mata.

Bayyinah mengelas sebagian wajahnya yang dibasahi oleh air mata. Ia kembali seperti posisi semula, punggung yang tersadar dengan kelopak mata Bayyinah menutup sempurna. Beberapa menit kemudian, kesadarannya menghilang.

"Bayyinah." Suara bariton terdengar begitu sangat pelan, perlahan gadis itu membuka matanya. Namun, seketika sekujur badannya membeku ketika tatapan elang itu tengah menatapnya. Gadis lugu itu hanya bisa menahan napas sejenak. Bagaimana tidak terkejut, ini adalah kali pertama mereka saling beradu pandang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun