Semakin Bayyinah mendengarkannya, hatinya semakin bergemuruh. Dulu, ketika semuanya masih baik-baik saja ia juga sangat hapal dengan surat yang dibaca oleh gadis itu. Bahkan tidak hanya ayatnya saja, melainkan arti dari surat tersebut. Namun, berbeda dengan sekarang. Semuanya seolah hirap bersama dengan segudang kebencian yang menguap.
"Alhamdulillah, kamu sudah sadar." Abil yang menyadari bahwa Bayyinah telah sadarkan diri itu menutup mushafnya.
"Apakah perlu saya panggilkan dokter supaya bisa memeriksa keadaan kamu?" Bayyinah menggeleng secepat kilat.
"Apa kamu sering membacanya?" tanyanya terdengar sedikit ambigu. Bayyinah menatap ke arah gadis itu, pun sebaliknya. Sepertinya gadis itu paham ke mana arah pembicaraan ini.
"Biidznillah. Saya selalu membacanya selepas salat." Pria itu menjawab sekenanya.
"Mengapa?" Abil menatap sekilas wajah lugu itu. Seperti ada yang ingin gadis itu tanyakan dari raut wajahnya.
"Bukan tentang mengapa, tapi bagaimana. Bagaimana caranya supaya saya selalu istiqomah, menjadikannya sebagai teman bukan hanya sekedar kewajiban." Entah mengapa Abil bisa melontarkan kalimat sepanjang itu. Seperti ada teman yang pas untuk berbagi cerita.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" Benar dugaan Abil. Ada sesuatu yang ingin gadis itu ketahui.
"Saya hanya tidak ingin membuatnya menunggu. Al-Quran itu tidak menuntut, ia hanya menunggu. Menunggu seorang teman yang akan membacanya dengan keikhlasan bukan paksaan." Bayyinah tersenyum tipis mendengar kalimat yang diucapkan oleh pria itu. Entah mengapa hatinya selalu merasa tenang jika berada di dekat Abil. Kalimat pertama yang berhasil memohok relung hati Bayyinah.
"Kamu beruntung sekali mempunyai Abi." Tanpa sadar bibir itu mengucapkannya.
"Kamu juga pasti memiliki ayah yang sangat sayang padamu." Kalimat itu seperti tombak yang siap momohok relung hatinya. Senyumnya mulai mengendur ketika mendengar penuturan Abil.