Derap langkah terdengar ganjil menyerang lantai yang dipijaki. Di bangunan yang tidak pernah sepi dari pengunjung inilah sekarang Dinara berada. Gadis dengan gamis Palestina satu set dengan kerudungnya seperti tengah mencari sesuatu. Atensinya menatap ke seluruh penjuru ruangan. Hingga beberapa meter dari tempatnya berdiri, ia melihat sesosok wanita paruh baya yang tengah berhambur ke pelukan uminya. Dinara berlari dengan bening yang membasahi pipinya. Kali ini ia tidak mempedulikan orang sekitar yang menatapnya aneh. Hanya satu, ia ingin mengetahui kondisi sahabatnya.
"Umi, bagaimana keadaan Salsa?" Wanita itu melerai pelukannya. Sedetik kemudian Umi Nur yang merupakan ibunya Salsa beralih memeluk Dinara. Tangisnya pecah tak terkendali. Sungguh, ia sudah tidak sanggup menyembunyikan kesedihan itu. Bagaimana tidak, sedangkan di dalam ruangan yang penuh dengan alat medis itu putri semata wayangnya terbaring tidak berdaya. Dari balik kaca, Dinara melihat jelas keadaan Salsa yang tidak baik-baik saja.
"Bi idznillah, Salsa akan baik-baik saja, Umi. Percayalah." Dinara melerai pelukannya dan mengelas jejak bening di wajah wanita rapuh itu. Tatapan sendu serta layu membuat hatinya terenyuh. Sebenarnya apa yang terjadi pada sahabatnya setelah lama tiada kabar? Terakhir kali Dinara mendengar bahwa Salsa sedang mengandung.
"Maafkan Dinara, Umi. Jika Dinara tidak memutuskan untuk kuliah di luar negeri, semua ini tidak akan terjadi." Umi Nur menggeleng cepat. Kedua tangan itu memegang pipi Dinara. Manik matanya menatap lekat netranya. Ya, sekali lagi karena egonya, Salsa harus mengalami peristiwa nahas ini. Namun, sekeras apapun Dinara menyalahkan diri, tapi semua ini atas kehendak Ilahi. Tidak seharusnya ia saling menyalahkan diri, alangkah baiknya jika berserah pada Sang Khaliq bukan?
"Tidak, Nak. Semua ini bukan salahmu, tapi umi. Jika ada orang yang pantas disalahkan, itu adalah umi." Penglihatan Dinara buram akibat air mata yang menganak di pelupuknya. Hanya dengan sekali kedipan mata, bening itu akan luruh.
"Hamasah, Mbak. In syaa Allah, Nak Salsa dan bayinya akan baik-baik saja. Berdoalah, sebab tidak ada yang bisa menandingi kekuatan doa." Bukan Dinara yang mengatakannya. Melainkan Umi Ida--ibu Dinara. Jangan heran bagaimana wanita itu bisa berada di sini. Umi Nur dan uminya memang sahabat dekat sejak mereka menjadi mahasiswa baru. Tidak terbayang mereka sedekat apa bukan? Dan kini kedua gadis itu mewarisinya.
Isak pilu itu seketika mereda tatkala seorang wanita dengan jas putih bersama kedua suster di belakangnya keluar dari ruangan tempat Salsa dirawat. Semuanya bangkit, tak terkecuali pria yang sedari tadi memilih menghindar dari keramaian.
"Keluarga Ibu Salsa?" tanyanya.
"Saya suaminya, Dok. Bagaimana keadaan istri saya?" Pria itu refleks bertanya. Harap-harap ia akan mendapatkan kabar gembira. Dari binar matanya Dinara melihat jelas kecemasan yang membelenggu dirinya. Senyum yang selama ini ia rindukan telah temaram bersama luka yang menggores hatinya. Bagaimana ia bisa tersenyum jika rusuknya saja saat ini sedang berjuang.
"Kondisi keduanya baik-baik saja. Bayinya juga lahir dengan sehat dan selamat." Dinara bernapas lega mendengar pengakuan itu. Suasana yang awalnya menegang kini kembali mencair. Tangis pilu kini berubah menjadi haru.
"Apakah saya boleh melihat kondisi istri saya, Dok?" Wanita berjas itu menganggukkan kepala. Tidak ingin menunggu lama, pria itu segera menemui istrinya. Tidak 'kah kalian tahu betapa semenggung rasa rindu itu terhadap Salsa? Pria itu masih sama, hanya ada cinta di matanya. Namun, bukan untuknya. Melainkan hanya untuk Salsa, sahabatnya.
Astagfirullahalazim. Ada apa dengannya. Tidak seharusnya Dinara membiarkan memori itu memutar kilas balik masa lalu yang bahkan hampir dilupakan olehnya. Gadis itu memalingkan wajah seraya menyeka air mata. Sudah lama ia berusaha menghapus perasaan itu dari hatinya, tapi rasanya sulit sekali. Bahkan sampai saat ini Dinara tak pernah meraih kata damai dalam hidupnya. Ia ikhlas, tapi hatinya tak kunjung melepas.
"Mas Faiz." Suara itu terdengar lemah dan lirih. Tangan itu seolah tidak ingin melepaskan genggaman istrinya. Berulang kali kecupan itu mendarat di kening Salsa. Semakin Dinara melihatnya, sama saja seperti menabur garam di atas luka. Perih.
"Tidurlah, saya akan selalu berada di sini menjagamu." Pria itu mengucapkannya setelah mengelas jejak bening istrinya. Faiz berusaha terlihat baik-baik saja. Sebisa mungkin ia menahan agar bening itu tidak luruh. Namun, sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat untuk bekerja sama dengan perasaannya.
"Saya takut, Mas. Jika netra saya terpejam, Salsa tidak akan pernah bisa melihat kamu dan anak kita lagi." Faiz menggeleng secepat kilat. Tidak. Tolong jangan katakan itu. Apakah ia tak tahu seberapa takutnya ia jika hal tersebut benar-benar terjadi? Ia belum siap.
"Jangan takut, saya ada di sini. Saya tidak akan meninggalkan Salsa." Suaranya terdengar serak. Seperti ada pecahan beling yang tercekat di tenggorokannya. Faiz terisak. Puncaknya, pria itu berhambur ke pelukan istrinya. Dinara memalingkan wajah setelah mengelas kasar jejaknya. Tidak ingin terlalu lama berada di ruangan itu, Dinara memilih untuk pergi.
"Dinara, tunggu!" Telak. Bukan pria itu yang memanggilnya. Namun, sahabatnya Salsa. Aktivitas Dinara terhenti. Tangannya meremas kuat pinggir jahitan gamisnya. Dinara memejamkan mata seraya merapalkan istigfar. Ia berulang kali menghela napas dalam. Setelah dirasa suasana hatinya kembali normal, Dinara membalikkan badan seraya menyunggingkan senyum simpul. Tidak-tidak. Senyum itu palsu. Senyumnya yang kembali terbit berbanding terbalik dengan luka sayatan di hatinya.
"Kemarilah. Apakah kamu tidak merindukanku?" Langkah mungil itu membawa Dinara mendekat. Setelah jarak mereka hanya berbeda beberapa senti, Dinara tidak bisa menahan kerinduannya. Ia memeluk sahabatnya, menumpahkan segala rindu yang selama ini terpendam.
"Aku sangat merindukanmu, Salsa. Maaf karena aku meninggalkanmu tanpa memberitahu." Gadis itu melerai pelukannya. Wajah Dinara sebagian dipenuhi dengan air mata.
"Dinara, apakah kamu masih mencintai Mas Faiz" Tanpa aba-aba Salsa mengatakanbya. Setelah sekian lama keheningan menyelimuti mereka.
Dinara tersentak. Ia terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabatnya. Namun, perlahan ia dapat melihat wajahnya berubah pucat pasi dan gelagapan dalam pengucapan kata. Salsa menghembuskan napasnya pelan. Tanpa menjawab, Salsa tahu jika sahabatnya itu masih memiliki perasaan untuk suaminya. Sama, tidak pernah berubah.
"Tidak, Salsa. Kamu ini berkata apa. Maaf, aku harus pulang. Aku sudah ditunggu anak-anak yang ingin mengaji." Salsa tersenyum samar ketika Dinara mengalihkan pembicaraan. Sahabatnya itu tidak pandai berbohong.
"Kenapa kamu tiba-tiba memutuskan untuk kuliah di Mesir? Apakah kamu marah padaku?" tanyanya. Dinara dapat merasakan napas Salsa yang semakin berat.
"Aku tidak pernah bisa marah denganmu, Salsa. Istirahatlah. Aku yakin kamu bisa melewati semua ini. Maaf karena aku tidak bisa menemanimu. Aku harus segera pergi."
"Tidak, Dinara. Tunggu." Langkah itu terhenti tepat ketika Salsa mencekal lengan Dinara. Salsa menatap manik itu dalam diam. Sekali lagi, ia menghembuskan napas beratnya.
"Aku masih sahabatmu bukan? Jika aku boleh meminta ... tolong jadilah Aisyah untuk putri kecilku, Ra." Gadis itu membelalak tidak percaya. Pun dengan prianya. Permintaan apa ini? Apakah sahabatnya sudah gila.
Satu kalimat itu mampu membuat hati Dinara mencelos. Tubuhnya seperti dilempar pada jurang yang dalam dan juga curam. Dinara melepaskan genggaman tangan Salsa yang menggenggam tangannya. Sedetik kemudian ia menggeleng. Sejujurnya ia masih memiliki rasa itu, tapi tidak dengan cara seperti ini. Pria itu sudah sah menjadi suaminya, lantas maksud gadis itu? Akankah ia menjadi yang kedua?
"Apa maksudmu, Salsa? Tidak. Sampai kapanpun juga aku--tidak bisa melakukannya untukmu. Sekali pun kamu sudah kuanggap seperti saudara." Entah untuk yang keberapa kalinya Dinara menggeleng. Semua ini sungguh tidak benar. Apa yang Salsa katakan adalah sebuah kesalahan besar. Bagaimana bisa ia setega itu untuk melakukannya. Pernikahan bukanlah sebuah permainan.
"Mengapa harus tidak, Dinara? Bukankah Rasulullah juga menikahi Aisyah setelah Sayyidah Khadijah wafat?" Salsa berusaha menghirup oksigen dengan rakus. Meski terpasang masker oksigen untuk membantunya bernapas, gadis itu masih merasa kurang. Keputusannya sudah bulat. Ia sudah memikirkannya secara matang. Tidak ada pilihan lain. Semua ini demi kebaikan putrinya, Acha.
"Tidak, Salsa. Mengapa kamu berkata seperti itu? Yakinlah kamu pasti akan sembuh." Salsa tidak bisa menahannya lagi. Suara tangis itu pecah dari suaminya bersama dengan isakan yang keluar dari bibir Dinara. Air matanya benar-benar tumpah. Ilahi, mengapa harus Salsa yang mengalami semua ini?
Salsa tergugu. Hatinya seperti ditumbuhi ribuan duri. Sungguh rasanya menyakitkan. Seperti inikah rasanya saat ia berada di ambang antara hidup dan mati? Pintu kematian itu tampak nyata di pelupuknya. Sungguh, ia benar-benar takut.
"Mas Faiz. Apakah aku boleh meminta satu hal darimu untuk yang terakhir kalinya?" Tangan Salsa yang mulai mendingin memegang lengan pria yang sedari tadi hanya diam. Faiz memalingkan wajahnya. Bening itu sepertinya tidak ingin berhenti mengalir. Tangannya mengepal bersama dengan deru napas yang tidak beraturan.
"Mas Faiz--" Pria itu memejamkan matanya. Berperang dengan rasa yang bergejolak hebat di dadanya.
"Tidak, Salsa. Saya mohon, jangan buat saya berada di posisi ini. Sungguh, saya tidak bisa melakukannya." Faiz mengacak rambutnya frustasi. Netra keduanya saling bertemu. Di detik itu pula tetes demi tetes jatuh membasahi wajahnya.
"Salsa mohon, Mas. Menikahlah dengan Dinara. Sungguh, aku sangat ikhlas jika harus berbagi dengannya," lirihnya di antara tangis. Salsa kembali memegang tangan itu. Sungguh, yang paling ia takutkan adalah perpisahan ini.
"Jika tidak untukku, pikirkanlah Acha. Dia masih membutuhkan sosok ibu." Tangan itu terangkat dan membelai pelan wajah suaminya. Sudah, cukup. Faiz tidak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya. Semua ini terasa begitu berat, ia tak sanggup.
"Salsa, pernikahan bukanlah permainan! Sudah cukup. Jangan mengikat saya dalam hubungan yang rumit ini. Apakah kamu tidak memikirkan perasaan saya? Saya tidak bisa menerima--" Kalimatnya terhenti. Bibir itu mendadak bungkam saat melihat kelopak mata istrinya tertutup rapat. Bahkan monitor detak jantung terdengar nyaring memekakkan telinga.
"Salsa!" Jantungnya berdetak kencang seakan petir benar-benar menyambarnya. Tubuh Faiz seperti terlempar jauh dalam tebing yang curam. Pria itu menepuk-nepuk wajah yang memucat itu. Tidak, semua ini tidak bisa terjadi. Mengapa secepat itu ia meninggalkan dirinya?
"Tidak, Salsa. Saya mohon jangan tinggalkan saya. Bangun, kamu tidak bisa tertidur seperti ini. Dokter!" Pria itu berteriak sembari mengguncang-guncangkan tubuh istrinya. Pikirannya kalut dan kacau. Dunianya kini telah hancur dan lebur. Rusuk yang telah Allah takdirkan untuknya kini telah patah.
Tidak berselang lama wanita berjas putih dan ketiga susternya datang. Setelah Salsa mendapatkan penanganan. Faiz dan Dinara menunggu di luar ruangan. Seluruh tubuhnya bergetar, sampai detik ini ia masih tak percaya akan apa yang terjadi pada sahabatnya. Bertepatan dengan itu, memori di otaknya memutar sepotong demi potong kenangan manis bersama Salsa. Wajah gadis itu? Dinara membungkam mulutnya dengan kedua tangan agar isak pilu tidak terdengar oleh Faiz. Sangat singkat bukan? Ia menyaksikan sendiri sahabatnya ditelan kegelapan tanpa bisa berbuat apa-apa.
Pria itu menautkan kedua tangannya dengan kuat. Jantungnya terus saja berdegup kencang. Tidak henti-hentinya Faiz melangitkan ribuan doa. Oh Allah, di dalam sana wanitanya sedang bertaruh antara hidup dan mati. Pintanya hanya satu, ia ingin agar istrinya selamat.Â
Beberapa menit berikutnya. Pintu ruangan itu terbuka. Dengan cepat pria itu mendekat ke arah wanita yang baru saja keluar dari dalam sana.
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?" Tidak ada jawaban. Pria itu masih menunggu dengan hati yang berdebar-debar.
Ia sangat yakin jika pendengarannya akan mendengar bahwa Salsanya akan baik-baik saja. Namun, wanita dengan snelli itu seolah kehilangan pita suaranya. Jutaan kamus yang sangat dihapal seakan terjahit rapat di bibirnya. Lidahnya seperti terhimpit oleh langit-langit mulutnya. Namun, di detik ketiga sebuah gelengan menjadi jawaban.
"Pasien dengan nama lengkah Aqila An-Najwa telah meninggal dunia pada pukul 19:50 WIB disebabkan oleh postpartum hemorrhage (PPH) atau pendarahan pasca melahirkan."
Tangsi Dinara pecah. Kalimat itu bagaikan tombak yang memohok tepat di relung hatinya. Bertepatan dengan itu, Faiz berlalu pergi menghiraukan dokter yang masih diam di tempat. Pria itu melihat semua alat medis yang melekat di tubuh istrinya satu persatu dilepas. Bahkan selimut putih yang menutupi sebagian tubuh gadis itu kini sepenuhnya menyelimuti badan Salsa.
Tubuhnya sempat terhuyung. Namun, pria itu berusaha tegar. Langkahnya yang mulai melemah berusaha agar sampai di dekat istrinya. Tangan yang gemetar membuka selimut yang menutupi Salsa. Segumpal sesak bersarang di dadanya. Faiz tak mampu membendung kesedihannya. Desisan itu terdengar keluar dari bibir manisnya. Tak henti ia menjambak kasar rambutnya. Di menit yang sama pula kening keduanya saling bersentuhan. Jarak mereka terlampau dekat hingga bening itu tak segan menghujani wajah Salsa. Gadis dengan wajah yang memutih itu tidak bergerak sedikitpun.
"Sudah, Faiz. Yang ikhlas ya, Nak." Umi Nur berusaha menenangkan menantunya. Walau pertahanannya sendiri juga tengah tidak baik-baik saja. Ikhlas adalah hal yang berusaha digapai olehnya.
"Bersedih adalah sesuatu yang wajar Mas, tapi alangkah baiknya jika Mas Faiz mengikhlaskan Salsa. Dia pasti sudah tenang di sana." Sekian lama membisu, gadis itu akhirnya bersuara. Entah mendapatkan keberanian dari mana, ia pun tidak tahu.
"Yang dikatakan Nak Dinara itu benar, Faiz. Doakan Salsa, jangan berlarut-larut dalam kesedihan yang akhirnya menuntun kita untuk bernihayah." Wanita itu mengelus puncak kepala Faiz.
Hening. Tidak ada jawaban yang pria itu berikan. Wejangan yang ibu mertuanya berikan ada benarnya. Tidak sepatutnya ia bernihayah seperti ini. Apa yang dilakukannya hanya menambah beban almarhumah saja.
Sekian lama membisu dan setelah Dinara mengurus administrasi, mobil innova putih saling beriringan dengan ambulans yang berada di depannya. Rencananya hari ini juga Salsa akan dimakamkan. Pria itu? Ia masih berkalut dalam kesedihan.
Beberapa menit setelahnya Dinara dengan gamis abaya hitam dan juga beberapa orang siap mengantarkan Salsa ke peristirahatan terakhirnya. Di bawah bentangan langit biru dengan gumpalan putih yang mengisi setiap kekosongan, gadis itu menghembuskan napas yang kian menyesakkan. Kenyataannya luka ini hanya miliknya seorang diri. Sebenarnya bumi juga tidak sedang hancur maupun runtuh. Semua masih sama. Tidak ikut hancur saat dunianya telah lebur.
"Hamasah, Nduk. Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Dan sebagian dari mereka yang beriman menunggu saat itu tiba agar bisa bertemu dengan Rabb-nya." Dinara menoleh pada sumber suara. Ia menatap wajah rahim kehidupannya yang telah mengandungnya selama sembilan bulan itu. Wajahnya masih sama, cantik meski terdapat beberapa garis halus yang menghiasi wajahnya. Namun, semua itu tidak melunturkan aura kecantikan yang natural.
Setelah beberapa menit kemudian, ia telah sampai di mana tempat semua orang akan berpulang. Namun, ketika Faiz hendak mengangkat tubuh istrinya, tiba-tiba saja tenaga Faiz hirap. Seperti ada magnet yang menyedot energinya. Ia tergugu, tapi secepatnya jemari itu menyeka air matanya.Â
"Tolong bantu aku mengangkat jenazah istriku." Dinara memalingkan wajah dan berhambur memeluk uminya.
Setelah semuanya selesai dan berjalan dengan lancar. Satu persatu semua orang meninggalkan tempat itu hingga menyisakan Faiz dan wanita yang dicintainya saja. Pria itu menatap kosong ke patokan kayu di atas gundukan tanah merah yang masih basah. Sampai saat ini ia masih tak percaya. Wanitanya telah menandatangani sertifikat sepetak dengan Ilahi dalam artian yang sesungguhnya. Menandakan bahwa ada batas yang tidak dapat tersentuh.
"Secepat ini kamu meninggalkan saya Salsa?" Hening. Hanya ada suara tiupan angin yang seolah menertawakan tingkahnya. Jika dipikir, apa yang Faiz lakukan ini sangat konyol bukan? Ah, biarkan. Lagipula orang lain tidak mengetahui seberapa terlukanya dia saat ini.
"Apa kamu lupa dengan tawaran saya tempo hari?" Faiz kembali tersenyum miring seraya mengelus nisan istrinya.
"Kita berjanji akan membangun istana di dunia dan akhirat bukan? Namun, belum sepenuhnya selesai kamu meninggalkanku dan malaikat kecil." Ia mengusap wajah gusar. Pikirannya kacau. Ketakutannya selama ini akhirnya terjadi. Namun, kenapa ia yang harus pergi menyisakan luka dalam hati?Â
"Salsa, apakah saya sanggup merawat Acha seorang diri?" Ia kembali bertanya.
"Sayang, mungkin kamu bosan mendengar kalimat yang selalu saya ulang. Sampai kapan pun saya mencintaimu Salsa, hari ini, esok, dan nanti. Kamu adalah mutiara dalam kerang yang hanya bisa dimiliki oleh orang beruntung saja. Kamu berharga. Demi Allah, bersamamu surga terasa lebih dekat." Setelah mencium nisan istrinya, Faiz berlalu pergi. Namun, entah mengapa seperti ada jangkar yang mengikat kakinya. Membuat langkah itu terasa begitu berat. Ia menoleh untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu Faiz tidak ragu untuk meneruskan langkahnya kembali.
Tanpa terasa langit biru telah berganti jingga. Segurat warna merah menghiasi cakrawala. Suasana kali ini berbeda, tenang dan hanya ada tangisan suara bayi. Berulang kali wanita itu berusaha membuat Salsa kecil terdiam. Namun, sepertinya anak itu sedang merindukan uminya. Faiz yang mendengar tangis putrinya bergegas keluar dari kamar. Ya, setelah kepulangannya dari makam pria itu jadi sering mengunci diri dalam kamar.
Faiz mengambil alih putrinya. Dari kejauhan Dinara dapat melihat kasih sayang seorang ayah yang benar-benar nyata. Faiz menimang putrinya sembari menepuk-nepuk pelan. Jangan lupakan sholawat yang dilantunkan sehingga tangsi pecah bayi itu menghilang. Setelah malaikat kecil itu tertidur, ia meletakkan Acha di atas ranjang, selanjutnya Faiz keluar. Namun, kali ini pria itu menghampiri Dinara. Entah apa yang ingin dibicarakan, tapi sepertinya penting. Pria itu tidak akan berbicara kepadanya jika tidak karena urusan yang penting saja.
"Bisakah kita bicara sebentar?" Dinara mendongak. Bertepatan dengan itu, Dinara mengangguk. Ia mengikuti ke mana pria itu akan membawanya dari belakang. Hingga pada akhirnya pria itu membawa Dinara duduk di taman belakang rumahnya.
"Terima kasih karena mau merawat Acha." Dinara mengangguk. Hanya itu yang bisa Dinara lakukan. Setiap kali ia berada di dekat Faiz, bibirnya seperti diberi lem.
"Dinara. Soal permintaan terakhir Salsa--"
"Tidak, Mas. Dinara tidak bisa." Seperti tidak ingin memberikan pria itu kesempatan berbicara, Dinara memangkas kalimat Faiz dengan sempurna. Seperkian detik kemudian gadis itu menundukkan kepala setelah menatap wajah pria di sampingnya tanpa keraguan.
"Baiklah. Saya juga belum siap untuk membagi cinta." Telak. Pengakuan pria itu menciptakan desir perih di dadanya. Berharap kembali? Tidak. Namun, Dinara juga tidak bisa berbohong jika sampai detik ini perasaan itu masih bersemi. Bahkan ia sulit untuk membuka hati.
"Tapi jika saya boleh meminta. Apakah kamu mau menjadi Halimatus Sa'diyah untuk putri saya?" Dinara membelalak. Hatinya mencelos mendengar kalimat itu. Bagaimana ini, haruskah Dinara mengiyakan permintaan Faiz?
"Dengan senang hati, Mas." Gadis itu mengucapkannya setelah menganggukkan kepala. Ia melakukan ini bukan supaya bisa dekat dengan Faiz. Namun, ia melakukannya untuk Acha dan mendiang sahabatnya.
Seperti inilah hidup. Kata orang hidup adalah pilihan dan pilihan itu telah Dinara putuskan. Keputusan yang selama dua hari ini menjadi perbincangannya dengan Allah. Selama itu pula, Dinara tidak pernah mengaitkan perasaannya dengan siapapun. Meski sulit, ia yakin bahwa akan ada kemudahan. Bukankah Allah telah menjelaskan dalam firmanya, bersama kesulitan ada kemudahan. Pepatah mengatakan, akan ada pelangi setelah hujan.Â
Pelangi mengajarkan setelah kesedihan akan ada kebahagiaan. Dari sini kita dapat memetik pelajaran bahwa setelah adanya kesedihan dan kemuraman, kebahagiaan akan segera mengganti semua kesedihan tersebut sebagai obatnya.
Lagipula mencintai tak harus memiliki bukan? Seperti kisah cinta Salman Al Farisi RA yang menunjukkan bahwa perilaku ikhlas itu tidak terbatas oleh apa pun. Keikhlasan itu dibuktikan dengan kerelaan dirinya melihat pujaan hatinya menikah dengan orang lain. Bahkan, ia ikhlas memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi wanita itu. Ini hanya perihal bagaimana kita bisa ikhlas dan tabah dalam menerima takdir dari Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui mana yang terbaik bagi hamba-Nya.
"Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri." (HR. Bukhari).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H