Mohon tunggu...
Silla Agustin
Silla Agustin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Penulis/Juara lomba cerpen/SMA Negeri 1 Pandaan

Aku tidak sebaik kamu, pun dengan tulisanku. "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." _Ali bin Abi Thalib

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Mutiara dalam Kerang

1 Januari 2024   20:25 Diperbarui: 1 Januari 2024   20:40 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Derap langkah terdengar ganjil menyerang lantai yang dipijaki. Di bangunan yang tidak pernah sepi dari pengunjung inilah sekarang Dinara berada. Gadis dengan gamis Palestina satu set dengan kerudungnya seperti tengah mencari sesuatu. Atensinya menatap ke seluruh penjuru ruangan. Hingga beberapa meter dari tempatnya berdiri, ia melihat sesosok wanita paruh baya yang tengah berhambur ke pelukan uminya. Dinara berlari dengan bening yang membasahi pipinya. Kali ini ia tidak mempedulikan orang sekitar yang menatapnya aneh. Hanya satu, ia ingin mengetahui kondisi sahabatnya.

"Umi, bagaimana keadaan Salsa?" Wanita itu melerai pelukannya. Sedetik kemudian Umi Nur yang merupakan ibunya Salsa beralih memeluk Dinara. Tangisnya pecah tak terkendali. Sungguh, ia sudah tidak sanggup menyembunyikan kesedihan itu. Bagaimana tidak, sedangkan di dalam ruangan yang penuh dengan alat medis itu putri semata wayangnya terbaring tidak berdaya. Dari balik kaca, Dinara melihat jelas keadaan Salsa yang tidak baik-baik saja.

"Bi idznillah, Salsa akan baik-baik saja, Umi. Percayalah." Dinara melerai pelukannya dan mengelas jejak bening di wajah wanita rapuh itu. Tatapan sendu serta layu membuat hatinya terenyuh. Sebenarnya apa yang terjadi pada sahabatnya setelah lama tiada kabar? Terakhir kali Dinara mendengar bahwa Salsa sedang mengandung.

"Maafkan Dinara, Umi. Jika Dinara tidak memutuskan untuk kuliah di luar negeri, semua ini tidak akan terjadi." Umi Nur menggeleng cepat. Kedua tangan itu memegang pipi Dinara. Manik matanya menatap lekat netranya. Ya, sekali lagi karena egonya, Salsa harus mengalami peristiwa nahas ini. Namun, sekeras apapun Dinara menyalahkan diri, tapi semua ini atas kehendak Ilahi. Tidak seharusnya ia saling menyalahkan diri, alangkah baiknya jika berserah pada Sang Khaliq bukan?

"Tidak, Nak. Semua ini bukan salahmu, tapi umi. Jika ada orang yang pantas disalahkan, itu adalah umi." Penglihatan Dinara buram akibat air mata yang menganak di pelupuknya. Hanya dengan sekali kedipan mata, bening itu akan luruh.

"Hamasah, Mbak. In syaa Allah, Nak Salsa dan bayinya akan baik-baik saja. Berdoalah, sebab tidak ada yang bisa menandingi kekuatan doa." Bukan Dinara yang mengatakannya. Melainkan Umi Ida--ibu Dinara. Jangan heran bagaimana wanita itu bisa berada di sini. Umi Nur dan uminya memang sahabat dekat sejak mereka menjadi mahasiswa baru. Tidak terbayang mereka sedekat apa bukan? Dan kini kedua gadis itu mewarisinya.

Isak pilu itu seketika mereda tatkala seorang wanita dengan jas putih bersama kedua suster di belakangnya keluar dari ruangan tempat Salsa dirawat. Semuanya bangkit, tak terkecuali pria yang sedari tadi memilih menghindar dari keramaian.

"Keluarga Ibu Salsa?" tanyanya.

"Saya suaminya, Dok. Bagaimana keadaan istri saya?" Pria itu refleks bertanya. Harap-harap ia akan mendapatkan kabar gembira. Dari binar matanya Dinara melihat jelas kecemasan yang membelenggu dirinya. Senyum yang selama ini ia rindukan telah temaram bersama luka yang menggores hatinya. Bagaimana ia bisa tersenyum jika rusuknya saja saat ini sedang berjuang.

"Kondisi keduanya baik-baik saja. Bayinya juga lahir dengan sehat dan selamat." Dinara bernapas lega mendengar pengakuan itu. Suasana yang awalnya menegang kini kembali mencair. Tangis pilu kini berubah menjadi haru.

"Apakah saya boleh melihat kondisi istri saya, Dok?" Wanita berjas itu menganggukkan kepala. Tidak ingin menunggu lama, pria itu segera menemui istrinya. Tidak 'kah kalian tahu betapa semenggung rasa rindu itu terhadap Salsa? Pria itu masih sama, hanya ada cinta di matanya. Namun, bukan untuknya. Melainkan hanya untuk Salsa, sahabatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun