"Bagunlah, Dewi. Apakah kamu tega melihat umi sedari tadi terisak mengkhawatirkan kondisimu, Nak?" Abi Hamka yang berdiri di sebelah kiri Dewi membelai puncak kepala putrinya, wajah gadis itu tak sepucat semula. Terlihat cairan yang berada pada sebuah kantung tergantung hanya tinggal setengah. Abi Hamka tak henti melangitkan doa, memohon pada Sang Khaliq agar malaikat kecil yang kini telah beranjak dewasa segera pulih seperti semula. Canda tawa yang mengalun di telinganya sangat ia rindukan. Siapapun, beritahu Dewi untuk segera siuman, Abi Hamka dan Umi Maryam di sini sangat merindukan serta mengkhawatirkannya.
Pria paruh baya itu menundukkan kepala. Tidak, lebih tepatnya ia ingin menyembunyikan isak pilu itu dari Umi Maryam. Di detik kedua, jemari telunjuk Dewi perlahan mulai bergerak, pun dengan kelopak matanya yang mulai mengerjap Menyesuaikan dengan cahaya di sekitarnya. Ruangan putih dengan bau khas obat-obatan, gorden biru serta kedua orang tuanya yang duduk tak jauh dari posisinya saat ini membuat Dewi semakin bingung. Segudang pertanyaan bersarang di benaknya. Terlebih lagi pusing yang membuat Dewi tak berdaya hanya bisa memejamkan mata. Syukurlah, setidaknya rasa sakit itu mulai berkurang. Akan tetapi saat ia mengangkat tangan kanannya dan mengambang di udara, ia mendapati selang infus yang menempel lengkap dengan selang oksigen di hidungnya.
"Dewi. Alhamdulillah, syukurlah kamu sudah sadar, Nak." Umi Maryam merapalkan hamdalah ketika sadar jika putrinya telah siuman. Suara Umi Maryam membuat Abi Hamka mendongak cepat. Terpancar raut wajah bahagia dari pria paruh baya itu tatkala mendapati putrinya yang perlahan siuman.
"Dewi, apakah masih pusing, Nak?" Mengangguk lemah. Hanya itu yang bisa Dewi lakukan.
"Biar abi panggilkan Dokter ya, Sayang. Abi takut--" Dewi mengamit cepat lengan abinya saat pria itu akan melangkah meninggalkannya. Semenit kemudian, ia menggeleng dengan kelopak mata yang terpejam sejenak.
"Jangan tinggalkan Dewi Abi, saya mohon." Telak. Hati Abi Hamka terenyuh. Suara itu begitu lirih, cairan bening yang jatuh dari pelupuk Dewi bak berlian itu sangat berharga. Walau hanya setetes yang menetes dari pelupuknya dapat membuat hati pria itu tersayat. Seperti terhipnotis, Abi Hamka menuruti permintaan putrinya dan kembali duduk seperti posisi semula, tak berubah.
"Dewi kenapa tidak bilang jika tidak enak badan? Kenapa memaksakan diri untuk kuliah, Nak? Apakah kamu tidak tahu betapa khawatirnya kami saat kamu tak sadarkan diri?" Wanita paruh baya itu mencurahkan semua keluh yang beberapa jam lalu ia simpan rapat. Bukan cerewet tanpa alasan, tetapi bagi mereka Dewi adalah harta yang paling berharga.
"Kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu ... abi tidak akan memaafkan--"
"Dewi baik-baik saja Abi ... Umi." Dewi memotong kalimat yang tak rampung milik Abi Hamka secepat kilat walau suara itu tak selantang biasanya.
Terbata-bata, Iemas, pusing itulah yang saat sekarang Dewi rasakan.
"Kata Dokter, kalau hari ini Dewi membaik diperbolehkan pulang." Senyum simpul terbit dari bibir merah mudanya. Dewi mengangguk dan sesaat kemudian kembali terpejam, gadis itu memutuskan untuk kembali beristirahat. Rasa kantuk itu tak lagi bisa terelakkan.