‘’Untuk apa?’’ tanya Vera rileks.
‘’Kalau kau bercerita tentangmu, apakah kau berani tinggalkan mereka untukku?’’ suara Vera seakan palu hakim.Â
Mata pirus Frank terhenyak, terdiam. Lurus dipandangnya tepian pantai laut Malta. Warna biru laut dan busa ombak yang bergulung, berlomba memukul tepian pantai ikut serta menghakiminya. Digelengkan kepalanya perlahan, seraya pirus pupil matanya jauh menerawang luasnya laut.Â
‘’Mm … sudah kuduga,’’ sahut Vera pendek tak berbeban.
‘’Aku tak tega menyakiti mereka Vera. Tapi, aku juga tak mau kehilangan dirimu,’’ bisik Frank.
‘’Tapi, kau sanggup menyakiti aku,’’ jawaban Vera tajam menusuk kalbu Frank.
Vera tersenyum, dipandangnya horizon antara laut dan langit. Kilauan mentari pada permukaannya bagai berlian. Vera terbiasa tak memburu. Hidup tak usah dikejar dengan janji, pesan ibunya selalu mengiang di telinganya.
‘’Aku ingin kau membenciku Ver. Menampar atau memukulku, atau mengusirku. Supaya kita tak bertemu lagi.’’ Frank menekan suaranya seakan takut Vera segara meninggalkannya.
Dipeluknya Vera, seakan tak mau melepaskan. Namun, kehidupan nyata Frank tak memungkinkan ia memiliki Vera, terlarang!
Frank, tetap egois ingin memiliki Vera. Sementara Vera merasa ia bukanlah seseorang dengan harga mati. Biarlah kehidupan ini mengalir kemana arah muara, bagai burung terbang dari utara ke selatan ketika musim berganti.
----