Elona melirik arlojinya, ‘’shit!’’ Arlojinya mati.
‘’Jam berapa sekarang?’’ tanya Elona kepada mereka.
‘’Sebelas lebih seperempat pagi,’’ sahut pemilik restoran.
Tangis Elona meledak lagi, secepat kilat pikirannya terbang mengingat Sem dan Lizzy. Bertubi-tubi macam-macam pikiran kini memenuhi rongga otaknya.Â
Sangat pilu memikirkan betapa ia tinggalkan anak-anaknya sendiri. Tiba-tiba Elona ingat ibunya, Vivi. Moga-moga oma datang menemani Sem dan Lizzy, moga-moga Sem telepon oma untuk datang menemani agar mereka tidak sendirian.
Moga, moga, … dan entah moga apalagi yang kini memenuhi harapan Elona.
Elona berdoa, moga Tuhan melindungi anak-anaknya dan mamanya. Elona sendiri tidak tahu  dimana ia kini.
Pemilik restoran, pria dan wanita berusaha menenangkan Elona.
Dengan ujung lengan bajunya Elona menyisik air dari hidungnya dan air mata di pipinya.
‘’Kenalkan, Eduard,’’ pemilik restoran mengulurkan tangan memperkenalkan diri pada Elona.
‘’Elona, Elona Visser,’’ lirih suara balasnya.