Mohon tunggu...
Della Anna
Della Anna Mohon Tunggu... Blogger,Photographer,Kolumnis -

Indonesia tanah air beta. Domisili Belanda. Blogger,Photographer, Kolumnis. Berbagi dalam bentuk tulisan dan foto.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel] Labirin Waktu (4)

4 Maret 2017   21:11 Diperbarui: 4 Maret 2017   21:19 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto dokpri. DellaAnna

Sebelumnya, teks terakhir pada bagian 3, ...

''Tak mengindahkan sepatunya, Elona meloncat keluar dari mobil tanpa sepatu. Berlari mereka bertiga menuju papan peta informasi di pinggir jalan.

Kepala seperti dihantam gada dan kena sambar halilintar. Elona merasa bumi tempat ia berpijak hanyut terhisap ke bawah,  amblas!’’

--

Kekuatannya hilang, kedua lutut kakinya tak sanggup lagi menopang berat badannya. Lunglai Elona terjatuh, tak sadarkan diri, pingsan.

Pria dan wanita menjadi panik. Pria berlari ke seberang jalan, kembali arah restoran untuk mencari pertolongan. Sementara wanita mengibas-ngibaskan secarik kertas ke wajah Elona. 

Tak lama kemudian berdatangan tiga orang dari arah restoran. Mereka mengangkut Elona dan membawanya masuk restoran diikuti oleh pria dan wanita.

Pada sebuah gudang ruang di belakang, tempat untuk menyimpan kursi serta meja mereka letakkan dua meja berdampingan, dan meletakkan Elona di atasnya. 

Wanita tak henti-hentinya mengipas-ngipas kertas ke wajah Elona. Sementara pria mengambil barang-barang Elona dari mobilnya dan membawanya masuk ke restoran.

Pemilik restoran berusaha menenangkan suasana sambil melemparkan pertanyaan berulang-ulang kepada wanita dan pria pengemudi.

Mereka menjelaskan kisah awal pertemuannya dengan penumpang yang bernama Elona, yang samasekali mereka tak mengenalnya.

‘’Dia sendiri yang melambaikan tangan ke kita di pinggir jalan,’’ ujar wanita.

‘’Sebenarnya, kita malas berhenti sebab waktu sudah malam, dan kita juga mesti melanjutkan perjalanan. Tapi yah, kita kasihan, gak sampai hati melihat seorang wanita digelap malam begitu, sudah mana sendirian lagi,’’ tambah pria melengkapi kisahnya.

Mereka juga cerita kalau mobil Elona mogok.

‘’Iya, accunya kosong, jadi dia lagi tunggu mobil unit yang akan menolongnya,’’ wanita menyambung.

‘’Kenapa dia jadi ikut dengan kalian?’’ tanya pemilik restoran.

‘’Kita yang tawarkan untuk simpan mobilnya di tempat parkir di pom bensin saja biar aman, terus kita tawarkan kalau mau nanti kita akan antarkan ke alamatnya,’’ kata pria.

Bergantian pandangan mata pemilik restoran melihat antara pria, wanita dan Elona yang masih terbaring tidak sadarkan diri.

Pemilik restoran memerintahkan dua pegawainya agar segera kembali ke tempat pekerjaannya. 

‘’Itu barang-barang dia ya?’’ tanya pemilik restoran pada kedua tamunya.

‘’Betul, saya bawa kemari, ‘’ ucap pria.

Terlihat pemilik restoran memindahkan barang-barang Elona yang terletak di atas meja dan memasukkannya pada sebuah laci lemari dan menguncinya.

Tak lama, terlihat Elona mulai siuman. Matanya mencari-cari menyapu atap plafon ruangan. Ketika matanya tertuju pada sebuah lampu ruangan yang masih menyala, terlihat ia memejamkan mata karena silau.

Ketika mata Elona melihat sosok tubuh pria dan wanita serta pemilik restoran, histeris dia berteriak.

‘’Tolong, ... tolong, ...!''

Bergegas pemilik restoran, pria dan wanita menghampirinya.

‘’Hei, tenang, ... tenang, ... ‘’ ujar pemilik restoran.

Mereka bertiga berusaha menenangkan Elona, dan pemilik restoran menawarkan pada Elona, ‘’mau minum?’’

Elona menganggukan kepalanya dengan berat, ia merasa kepalanya sakit. Matanya berkunang-kunang dan lehernya kaku.

Pemilik restoran menuju ruangan lain, dan kembali dengan segelas air putih. Wanita membantu Elona untuk duduk dan pemilik restoran memberi segelas air putih kepadanya.

Elona mereguk air di gelas, terasa air sejuk mengalir mencari jalan dari mulutnya melewati tenggorokan, kemudian memenuhi ruang perutnya. Terasa air ini menenangkan urat syaraf yang menegang dan terasa sakit pada kepalanya perlahan mereda. Matanya tak lagi berkunang-kunang.

Dihabiskannya sisa air dalam gelas.

Diaturnya nafas dan mencoba secara diam-diam mengingat kembali kronologis kisah mengapa ia sampai di tempat asing ini. Apa nama tempat ini? dimana? dan mereka bertiga itu siapa?

Elona melirik arlojinya, ‘’shit!’’ Arlojinya mati.

‘’Jam berapa sekarang?’’ tanya Elona kepada mereka.

‘’Sebelas lebih seperempat pagi,’’ sahut pemilik restoran.

Tangis Elona meledak lagi, secepat kilat pikirannya terbang mengingat Sem dan Lizzy. Bertubi-tubi macam-macam pikiran kini memenuhi rongga otaknya. 

Sangat pilu memikirkan betapa ia tinggalkan anak-anaknya sendiri. Tiba-tiba Elona ingat ibunya, Vivi. Moga-moga oma datang menemani Sem dan Lizzy, moga-moga Sem telepon oma untuk datang menemani agar mereka tidak sendirian.

Moga, moga, … dan entah moga apalagi yang kini memenuhi harapan Elona.

Elona berdoa, moga Tuhan melindungi anak-anaknya dan mamanya. Elona sendiri tidak tahu  dimana ia kini.

Pemilik restoran, pria dan wanita berusaha menenangkan Elona.

Dengan ujung lengan bajunya Elona menyisik air dari hidungnya dan air mata di pipinya.

‘’Kenalkan, Eduard,’’ pemilik restoran mengulurkan tangan memperkenalkan diri pada Elona.

‘’Elona, Elona Visser,’’ lirih suara balasnya.

Tiba-tiba, pria dan wanita menyampaikan bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan mereka. Sekitar enam jam lagi perjalanan harus mereka tempuh.

‘’Kami harus tinggalkan kamu di sini,’’ sahut pria pengemudi.

‘’Lebih baik kamu kontak dengan polisi untuk membantu mencari alamat kamu,'' kata wanita yang juga di iyakan oleh pemilik restoran.

Elona  hanya terpaku, tak menjawab.

Terlihat pemilik restoran bercakap dengan pria dan wanita.

Kata pria, ‘’ini nama kami dan alamat serta nomor telepon.’’

Catatan kecil itu diterima oleh Eduard, pemilik restoran.

Sementara pria dan wanita berjabat tangan dengan Eduard, mereka berdua menghilang di balik ruangan dan pergi meninggalkan restoran.

Eduard kembali ke ruang dimana Elona masih juga terduduk di ajas meja.

‘’Begini, sambil beristirahat di ruang lain apakah kamu mau makan atau minum, nanti saya menyuruh karyawan menyiapkannya.’’ Eduard menawarkan.

Elona mengangguk, dan bertanya apakah dia  boleh ke kamar toilet.

Eduard menunjuk arah jalan ke ruang dimana ada toilet.

Elona mengenakan kembali sepatunya, dan sambil dipapah oleh Eduard. mereka berdua berjalan melewati sebuah gang menuju kamar toilet.  Eduard meninggalkan Elona dan berkata, setelah selesai silahkan ke ruang tengah dimana ada restoran, sambil ia menunjuk ke arah ruang pojok di sebelah kanan ruangan.

‘’Kamu duduk saja istirahat di situ ya. Saya akan buatkan sup untuk kamu,’’ kata Eduard.

Namun tawaran sup Eduard ditolak oleh Elona, malah Elona balik bertanya, ‘’boleh pesan sandwich dan satu kopi pahit?’’

‘’Tentu.’’ Eduard segera memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan.

Di ruang toilet Elona terpaku memandang dirinya di depan cermin. Rambutnya acak tak karuan. Makeupnya sudah luntur karena air matanya. Lipstik di bibirnya sudah mencoreng sebagian ujung mulutnya dan warnanya sudah pudar tidak karuan. 

Diputarnya kran air. Dibasuhnya wajah, segar. Karena tak terlihat dispenser untuk kertas toilet, Elona mengeringkan wajah dengan ujung roknya. 

Komplit sudah penampilannya kini, semua sudah tidak karuan. Pakaian, rambut dan makeupnya, semua kusut. 

Dengan jarinya Elona mengatur tata rambutnya dan membasahi sedikit poni rambutnya, juga rambut sekitar kedua telinganya. Pikirnya, begini terlihat sedikit segar.

Keluar dari ruang toilet, dengan berjalan perlahan Elona menuju arah ruang tengah restoran. Cepat dia mengambil tempat di meja yang sudah Eduard sediakan untuknya.

Pandangan beberapa pengunjung restoran hanya sekilas saja kepada Elona, setelah itu mereka kembali dengan kesibukan mereka.

Terlihat hanya beberapa pengunjung saja. Mata Elona menyapu melihat pengunjung restoran.

Pada sebuah meja untuk dua orang terlihat seorang wanita duduk sendiri. Rambutnya keriting warna tembaga gelap sepanjang bahu. Wanita duduk sambil melipat kedua tangannya di atas meja.Pandangannya kosong ke arah luar. Setengah gelas air berwarna seperti teh masih tersisa di atas mejanya. Ada payung kecil dengan pinggir berenda di pinggir kursinya. Sementara di dekat kakinya duduk seekor anjing pudel kecil berwarna tiga, coklat, putih dan oranye. 

Pada pojok sebelah kiri terlihat bar minum. Disana terletak empat kursi bar dengan kaki yang tinggi. Terlihat dua pria duduk sambil bercakap serius sambil menikmati minuman berwarna coklat gelap, seperti cocacola atau bir hitam.

Sesekali pria yang satu mengetuk-ngetuk jari tengah dan telunjuknya pada meja bar, seakan-akan sedang memainkan piano. Sesekali dia melirik melihat Elona di pojok yang lain. 

Eduard datang menghampiri Elona yang lagi menunggu sandwich dan kopi hitamnya, dan memberitahu bahwa sebentar akan datang dua orang polisi yang akan membantu Elona.

Elona menganggukan kepalanya.

‘’Apa nama tempat ini, mm … maksud saya jalan di depan sana?’’ tanya Elona pada Eduard.

''Restoran ini namanya Pectopah dan jalanan di depan sana namanya Cranes,'' ujar Eduard.

Elona mencoba mengingat-ngingat sendiri dimana kira-kiranya jalanan bernama Cranes.

Aroma sandwich hangat dan kopi hitam menyentak lamunannya.

Secuil demi secuil makanan itu masuk ke mulutnya. Elona terperanjat, rasa sandwich demikian enaknya. Belum pernah Elona makan sandwich seenak seperti ini. Malah dia kini membandingkan dengan sandwich dari Mc Donald yang sering dia pesan bersama kolega kantornya. Rasanya malah sangat berbeda.

Dengan hati-hati diangkatnya cangkir kopi  hitam yang masih mengepulkan asap panasnya. 

Wow, … air kopi begitu nikmatnya. Belum pernah Elona minum kopi hitam seenak seperti ini. Rasanya sangat lain.

Elona masih terbengong-bengong membandingkan apa saja yang ia lihat dan rasa. Pertama-tama air putih segar, kemudian rasa sandwich enak, dan kini kopi yang nikmat.

Tiba-tiba pintu restoran terbuka.

Bersambung, ...

(da040317nl)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun