Ini bukanlah cerita yang luar biasa. Kalian tidak akan menemui kisah heroik, atau mungkin cerita lucu yang mendatangkan gelak tawa, atau mungkin nilai moral yang menyentak hati. Cerita ini hanya cerita tentang seorang marbot yang sudah 10 tahun merawat masjid tua di kampung kami yang tak hanya mengisi hari-harinya dengan membersihkan masjid, tapi memiliki semangat membaca dan menulis yang membuatku kagum. Dia adalah Pak Kamin.
Pak Kamin bukanlah orang asli kampung kami. Ia datang 10 tahun yang lalu ke kampung kami dengan keadaan yang cukup kumuh. Saat itu ia datang ke rumah kami pada waktu hari hampir malam dengan langit berwarna mega menyinari kampung kami sore itu.
"Sore mas, nama saya Pak Kamin. Saya baru sampai sini setelah berpindah-pindah bus dan turun dari satu kota ke kota lainnya. Mau nanya mas, bolehkah saya disini?" tanyanya.
Mendengar hal itu aku mempersilakan Pak Kamin duduk terlebih dulu. Dari kondisinya ia terlihat menahan lelah yang amat sangat, maka aku buatkan teh untuk suguhannya. Beberapa menit kemudian ayah datang menemui Pak Kamin dan berbincang-bincang di ruang tamu. Dari ruang belakang aku mencoba mendengarkan perbincangan mereka berdua. Perbincangan terdengar santai diantara keduanya.
"Ya, Pak Kamin sekarang istirahat dulu disini, sebentar lagi kan maghrib, nanti kita salat berjamaah. Setelah salat saya akan coba tanya jamaah lain yang bersedia mempersilakan bapak untuk menginap, karena kebetulan kamar di rumah saya sudah penuh dan saya sedang kedatangan keluarga adik dari luar kota." Ucap ayah.
"Baik, terima kasih pak. Saya manut bapak saja."
Waktu salat pun tiba. Ayah, Aku, Om dan sepupuku, dan juga Pak Kamin pergi menuju masjid yang tak jauh dari rumah. Kami semua  salat berjamaah di sana. Setelah salat seperti yang dibicarakan ayah sebelumnya ia menemui beberapa jamaah dan meminta tolong untuk membantu menyediakan tempat menginap bagi Pak Kamin untuk sementara waktu. Setelah berbincang-bincang dengan beberapa orang akhirnya ada orang yang mau menampung Pak Kamin untuk sementara waktu, yakni Pak RT. Kebetulan kedua anak Pak RT sedang berada di luar kota karena sedang kuliah, sehingga banyak ruang kosong di rumahnya. Akhirnya Pak Kamin meminta izin untuk menginap di rumah Pak RT.
Setelah salat kami semua kembali ke rumah, termasuk Pak Kamin karena ingin mengambil tas yang dititipkannya dan ingin pamit kepada kami. Setelah sampai dan berbincang sejenak di ruang tamu, Pak Kamin mohon izin pamit untuk singgah ke tempat Pak RT. Ayah dan aku mengantarnya hingga depan rumah, Ayah juga menyelipkan amplop ke saku baju Pak Kamin pertanda sedikit uang saku dari Ayah untuk Pak Kamin. Pak Kamin hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada Ayahku dan segera pamit karena tak ingin merepotkan kami begitu lama.
Beberapa hari setelah hari pertama bertemu dengan Pak Kamin aku hanya terkadang bertemu dengan beliau lagi. Terkadang aku melihatnya sedang ada di kebun Pak RT membantu memetik belimbing yang ada di kebun tersebut. Di lain hari Pak Kamin terlihat sedang membersihkan masjid tempat aku biasa salat berjamaah. Memang sejak lama masjid itu tidak memiliki marbot, jadi Pak RT yang sebelumnya seminggu sekali membersihkan masjid kini tugas itu dilakukan oleh Pak Kamin. Pak Kamin biasanya membersihkan masjid seperti menyapu dan mengepelnya dua hari sekali.
Sejak Pak Kamin rajin menyapu dan membersihkan masjid jamaah banyak yang merasa nyaman untuk berjamaah di masjid. Karena sering membersihkan masjid juga Pak Kamin jadi lebih dikenal oleh para jamaah dan warga sekitar. Aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas XI turut senang melihatnya, karena Pak Kamin yang termasuk warga baru ini bisa berbaur dengan penduduk sekitar dalam waktu yang relatif sebentar. Tahun-tahun berikutnya Pak Kamin sudah bisa mengontrak rumah sendiri, meski tidak terlalu besar. Di sana ia tinggal seorang diri. Kegiatan kesehariannya masih seputar membantu mengurus kebun belimbing Pak RT dan membersihkan masjid.
Ketika aku SMA dan melanjutkan untuk kuliah aku bertambah jarang melihat Pak Kamin karena aku lebih sering di luar kota. Setidaknya tiga bulan sekali dan setiap liburan semester ketika aku pulang ke rumah barulah aku bisa melihat dan berbincang sejenak dengan Pak Kamin. Ketika beliau bertemu denganku beliau sering menanyakan kabarku di tanah rantau dan bagaimana pendidikanku di sana.
"Kamu kuliah jurusan apa ga?" suatu kali Pak Kamin menanyakan hal itu kepadaku.
"Sastra Indonesia pak." Jawabku dengan sedikit ragu-ragu.
"Lho, kok keliatannya kamu agak malu-malu jawabnya, kenapa?"
"Ya kebanyakan mahasiswa seperti kami yang kuliah di jurusan yang bisa dikatakan gak terlalu 'wah' bisa apa pak. Batin orang-orang ketika mendengar Sastra Indonesia mungkin ya sekedar cuma pengin tahu namanya. Selebihnya mungkin akan berpikir buat apa mempelajari bahasa yang sudah kita gunakan sehari-hari."
"Ega... Ega..., itu kan kata orang. Tapi menurutku gak begitu kok. Sekedar info ya, saya ini orangnya suka baca karya sastra juga kok. Di kontrakan ada sih beberapa novel sama kumpulan cerpen, meski beberapa diantaranya kondisi bukunya sudah agak lusuh. Kalau kamu sempat Pak Kamin pengin kamu mampir, saya mau tahu saja gimana pandangan mahasiswa sastra terhadap karya sastra itu sendiri"
Mendengar hal itu aku agak sedikit terkejut karena Pak Kamin ternyata juga suka membaca karya sastra juga. Di usianya yang cukup senja beliau masih menyempatkan waktu untuk membaca. Biasanya orang-orang yang sudah memasuki usia senja kebanyakan lebih fokus beribadah dan mengisi waktu luang dengan melakukan usaha kecil-kecilan. Tetapi Pak Kamin sedikit berbeda, selain meluangkan waktu untuk bekerja dan beribadah, semangat literasinya masih tersisa. Keesokan harinya kuputuskan untuk mampir ke kontrakkan Pak Kamin.
Pagi itu sekitar pukul sepuluh pagi aku sudah sampai di kediaman Pak Kamin. Aku dipersilahkan masuk oleh beliau ke dalam. Di dalam kediamannya tampak banyak buku tertata rapi di lemari sederhana yang ada di sudut ruang tamunya. Di sebelah lemari itu ada tumpukan koran lokal, mungkin itu bacaan yang sehari-hari dibaca Pak Kamin. Setelah beberapa menit aku dipersilakan duduk di ruang tamu, Pak Kamin keluar dari ruang belakang. Beliau membuat dua gelas teh hangat untuk kami berdua, dan juga mempersilakanku mengambil seriping yang tersedia di meja. Aku pun meminum teh yang beliau buat dan mengambil sedikit seriping yang beliau tawarkan.
"Maaf ya tempatnya agak sempit."
"Oh gapapa pak. Tapi tetep nyaman kok, suasananya sejuk dan nyaman juga. Gak terlalu berisik juga karena gak terlalu banyak motor lalu lalang di sekitar sini."
"Iya, kan ini agak ke dalam ya, jadi begitulah mas hehe. Oh ya itu buku-buku punya saya, mungkin sudah banyak yang kamu kenal kan."
"Oh belum tentu juga pak, saya juga masih belajar soal sastra, terkhusus kesusastraan di Indonesia. Wawasan saya soal sastra juga masih terbatas. Oh ya itu ada tumpukan koran, bapak masih sering membaca koran kah?" tanyaku.
"Iya, saya sampai sekarang masih berlangganan koran, buat temen bacaan. Maklum saya kan tinggal sendiri. Jadi yang menemani hari-hari saya ya buku-buku dan koran ini. Oh ya, coba kamu liat bagian opini di koran-koran itu." Pinta Pak Kamin.
Aku pun melihat tumpukan koran tersebut. Aku buka bagian opini dari koran-koran tersebut. Ternyata sebagian besar opini dari koran-koran tersebut ditulis oleh Pak Kamin sendiri. Mulai soal pendidikan, kuliner, tempat wisata, hingga politik dibahas oleh Pak Kamin. Kalau dihitung-hitung ada puluhan opini yang sudah dimuat di koran lokal regional Jateng ini.
"Ini bapak nulis tiap hari kah pak?"
Pak Kamin tersenyum sejenak
"Iya, tiap malam saya menulis apa yang terpikir oleh saya. Karena tiap hari saya membaca berita dan buku-buku milik saya itu saya mencoba menuangkannya menjadi opini. Eh gak nyangka ternyata sering dimuat di koran, jadinya saya ketagihan untuk mengirim opini ke koran. Apalagi ada honorariumnya setiap kali opini saya dimuat."
"Tapi setiap kali saya mencoba mengirimkan cerpen atau cerbung rasanya kok sulit sekali untuk bisa dimuat ya, makanya saya mau tanya-tanya ke mas Ega, kan kebetulan kamu kuliah di Sastra Indonesia."
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Pak Kamin. Aku sendiri saja merasa masih sangat kurang ilmunya dalam dunia kesusastraan di Indonesia, ya karena memang sangat luas pembahasannya.
"Ah bapak bisa saja, saya juga masih belajar pak." Jawabku seadanya.
"Tapi kalau mau diskusi, saya mah ikut saja." tambahku.
Setelah itu kami berbincang-bincang mengenai penulis favorit kami masing-masing, buku yang terakhir kami baca, jenis buku apa yang suka dibaca, dan apapun yang berhubungan dunia kesusastraan. Kalau aku sendiri lebih menyukai karya sastra yang bertemakan peristiwa G30S PKI dan peristiwa 'pembersihan' setelahnya seperti cerpen-cerpen karya Umar Kayam. Sedangkan Pak Kamin menyukai karya-karya terbitan balai pustaka, khususnya karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana. Selain itu beliau juga menyukai karya-karya Ahmad Tohari, hal itu bisa dilihat dari koleksinya yang terpampang di lemarinya.
Pembicaraan kami melebar kemana-mana hingga membahas perkembangan minat baca anak muda saat ini. Pak Kamin sempat mengungkapkan kekhawatirannya kepada pemuda zaman sekarang yang semangat membaca dan menulisnya minim.
"Nah Ega bapak kepingin sekali melihat pemuda zaman sekarang gemar membaca dan menulis. Karena dengan membaca tentu akan membuka wawasan kita dan dengan menulis akan mengasah kemampuan kita dalam menuangkan pikiran dan membagikannya kepada khalayak. Kalau semangat membaca dan menulis tidak ditumbuhkan, takutnya generasi mendatang tidak bisa lagi menyalurkan pikiran kritisnya dan beku pemikirannya karena kurang membaca. Bapak berharap kamu bisa jadi penggerak pemuda untuk menumbuhkan semangat membaca dan menulis."
"Siap pak. Akan saya usahakan sebaik dan semampu saya. Doakan saja saya bisa melakukan apa yang bapak harapkan. Saya juga bersyukur bisa bertemu dengan orang seperti bapak yang meski sudah tidak muda lagi dan hidup dengan penuh kesederhanaan tetap peduli dengan nasib generasi berikutnya. Pembicaraan hari ini akan saya sampaikan ke teman-teman saya dan harapan bapak akan kita usahakan agar bisa terwujud."
Sore itu menunjukkan pukul empat sore, ternyata aku sudah enam jam berkunjung di rumah Pak Kamin. Aku segera izin mohon undur diri untuk kembali pulang. Kunjunganku yang pertama ke kediaman Pak Kamin itu memberi banyak ilmu. Bagi Pak Kamin, kedekatannya dengan buku baginya sudah seperti mencintai seorang wanita. Karena hal itulah ia mungkin tak menikah lagi setelah ditinggal wafat istrinya. Baginya bagus tidaknya sebuah karya sastra dari seberapa besar manfaatnya bagi kehidupan, entah pembacanya atau mungkin masyarakat dimana karya sastra itu terbit.
Dari situlah aku berpikir, mungkin apa yang ada dibenak Pak Kamin bahwa kita menyukai buku bagai menyukai wanita bisa membuat kita lebih dekat dengan buku. Apalagi kita semua terlepas mau laki-laki atau perempuan ketika membicarakan tentang lawan jenis, apalagi yang disukainya pasti akan bersemangat. Akhirnya ketika aku sudah kembali masuk berkuliah aku berdiskusi bersama teman-temanku dan mengajak mereka membuat gebrakan. Kami menyebutnya 'Bucin ke Buku', layaknya kita rela melakukan apapun kepada orang yang kita sukai, aku dan teman-temanku berusaha membuat orang-orang lebih dekat dengan buku, bahkan sampai bucin (budak cinta). Dari situlah kita adakan diskusi santai di berbagai tempat seperti taman fakultas, aula, gazebo, hingga bincang santai mengenai buku favorit kita masing-masing dan menjelaskan kenapa kita menjadikannya favorit. Dengan begitu kita bisa mengenal berbagai buku secara lebih mendalam dan mempunyai referensi bacaan yang luas.
Seiring dengan waktu gerakan yang aku mulai dengan beberapa teman-temanku mulai dikenal secara luas, hingga berbagai sponsor datang menawarkan bantuan. Setelah aku lulus kuliah, banyak orang yang menawarkan diri menjadi relawan gerakan kami di berbagai daerah, hingga acara kami bisa mengadakan kegiatan festival kecil-kecilan di berbagai kota. Tahun 2027, ketika aku mulai sibuk dengan festival 'Bucin ke Buku' yang semakin besar dan dikenal luas, aku baru ingat kalau aku sudah lama tak bertemu Pak Kamin, orang yang kedekatannya dengan buku menginspirasi aku dan teman-temanku menjalankan gerakan ini.
Juli 2027 aku pulang ke kampung. Sesampainya di rumah aku berbincang sejenak dengan kedua orang tuaku dan adikku yang memasuki tahun pertama kuliahnya. Sorenya ketika maghrib aku menuju masjid untuk salat berjamaah. Masjid itu kini sudah banyak berubah, dari luasnya hingga berbagai ornamen serta fasilitas di dalamnya. Termasuk Pak Kamin yang biasanya berjamaah di situ, sore itu aku tidak melihatnya. Setelah salat aku mencoba bertanya ke Pak RT di manakah Pak Kamin.
"Dia sudah meninggal bulan lalu." Ucap Pak RT
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun. Saya baru tahu kabarnya lho pak. Dimakamkan di mana beliau pak?"
"Di pemakaman di atas bukit, tidak jauh dari kontrakannya. Oh ya saat sakit parah sebelum meninggal, beliau sempat berpesan kepada saya agar buku-bukunya di rawat oleh Mas Ega saja. Intinya beliau tak ingin buku-bukunya menjadi usang apalagi rusak dimakan rayap. Beliau juga meminta agar buku-bukunya dan koran-koran nya diarsipan dan dirawat seperti merawat orang yang kamu cintai"
"Oh baik pak, dengan senang hati saya rawat." Jawabku dengan antusias.
Esok harinya aku dan Pak RT menuju kontrakkan Pak Kamin, di sana kami membersihkan ruangan di dalamnya dan akupun mengambil buku-buku milik Pak Kamin untuk dirawat di rumahku, termasuk koran-koran yang memuat opini beliau. Setelah selesai beres-beres aku pulang membawa buku-buku dan koran yang cukup banyak. Di rumah aku sudah menyiapkan lemari khusus untuk menyimpan koleksi literatur milik Pak Kamin. Saat aku merapikannya aku menemukan satu amplop yang terselip di salah satu buku dan tak sengaja terjatuh. Amplop itu isinya cukup tebal. Tanpa berlama-lama aku buka isinya, ternyata ada sejumlah uang dan secarik kertas berisi pesan tulisan tangan Pak Kamin
Pesan ini saya tujukan ke Mas Ega, putra dari Bapak Edi Sukamto. Nak, ini ada sedikit uang buat festival yang kamu gerakkan sama teman-temanmu. Bapak sudah lihat beritanya di koran. Bapak juga pengin bantu, tapi bapak gak bisa bantu banyak dan lagi sakit juga jadi bapak cuma bisa bantu sedikit. Kita juga berjauhan jadi saya simpan saja di salah satu buku sambil berharap Mas Ega menemukannya. Mungkin itu saja yang bisa bapak sampaikan, semoga Mas Ega sukses selalu kedepannya.
Salam Hangat
Pak Kamin
Melihat secarik surat tersebut saya jadi terharu dan kagum kepada beliau, sampai wafat saja masih peduli dengan nasib semangat literasi generasi berikutnya. Aku hanya bisa berharap agar beliau dan semangat, usahanya, serta niat baiknya untuk menanamkan semangat membaca dan menulis dihitung sebagai kebaikan di akhirat kelak, karena dari prinsip dan pemikirannya lah aku dan teman-temanku bisa menyebarkan manfaat dan semangat berliterasi bagi orang-orang lain disekitarku.
Pak Kamin yang rela hidup sederhana sebagai marbot di masjid kami selama belasan tahun telah berhasil menjalankan perannya untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Mungkin secara keseharian beliau tampak sederhana, tapi secara pemikiran bagiku beliau orang yang istimewa.
Semoga engkau tenang di sana ya pak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H