"Oh belum tentu juga pak, saya juga masih belajar soal sastra, terkhusus kesusastraan di Indonesia. Wawasan saya soal sastra juga masih terbatas. Oh ya itu ada tumpukan koran, bapak masih sering membaca koran kah?" tanyaku.
"Iya, saya sampai sekarang masih berlangganan koran, buat temen bacaan. Maklum saya kan tinggal sendiri. Jadi yang menemani hari-hari saya ya buku-buku dan koran ini. Oh ya, coba kamu liat bagian opini di koran-koran itu." Pinta Pak Kamin.
Aku pun melihat tumpukan koran tersebut. Aku buka bagian opini dari koran-koran tersebut. Ternyata sebagian besar opini dari koran-koran tersebut ditulis oleh Pak Kamin sendiri. Mulai soal pendidikan, kuliner, tempat wisata, hingga politik dibahas oleh Pak Kamin. Kalau dihitung-hitung ada puluhan opini yang sudah dimuat di koran lokal regional Jateng ini.
"Ini bapak nulis tiap hari kah pak?"
Pak Kamin tersenyum sejenak
"Iya, tiap malam saya menulis apa yang terpikir oleh saya. Karena tiap hari saya membaca berita dan buku-buku milik saya itu saya mencoba menuangkannya menjadi opini. Eh gak nyangka ternyata sering dimuat di koran, jadinya saya ketagihan untuk mengirim opini ke koran. Apalagi ada honorariumnya setiap kali opini saya dimuat."
"Tapi setiap kali saya mencoba mengirimkan cerpen atau cerbung rasanya kok sulit sekali untuk bisa dimuat ya, makanya saya mau tanya-tanya ke mas Ega, kan kebetulan kamu kuliah di Sastra Indonesia."
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Pak Kamin. Aku sendiri saja merasa masih sangat kurang ilmunya dalam dunia kesusastraan di Indonesia, ya karena memang sangat luas pembahasannya.
"Ah bapak bisa saja, saya juga masih belajar pak." Jawabku seadanya.
"Tapi kalau mau diskusi, saya mah ikut saja." tambahku.
Setelah itu kami berbincang-bincang mengenai penulis favorit kami masing-masing, buku yang terakhir kami baca, jenis buku apa yang suka dibaca, dan apapun yang berhubungan dunia kesusastraan. Kalau aku sendiri lebih menyukai karya sastra yang bertemakan peristiwa G30S PKI dan peristiwa 'pembersihan' setelahnya seperti cerpen-cerpen karya Umar Kayam. Sedangkan Pak Kamin menyukai karya-karya terbitan balai pustaka, khususnya karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana. Selain itu beliau juga menyukai karya-karya Ahmad Tohari, hal itu bisa dilihat dari koleksinya yang terpampang di lemarinya.