Cuaca di luar cukup dingin. Deru mobil saling bersahutan, lampu-lampu dari took yang ada di pinggir jalan menghiasi pandangan. Suasana ramai menghiasi malam yang cerah menghiasi Kartosuro malam itu. Sepanjang jalan Slamet Riyadi tidak ada suasana sepi, semua toko buka dan ramai.
Aku menyeruput teh hangat sambil memandangi jalanan. Di mejaku ada sebuah buku kecil, laptop, dan juga tasku. Yap, aku mengerjakana tugas kuliah di tempat makan. Jangan kira aku datang ke tempat makan yang modern seperti Coffeeshop, atau restoran seperti McD, KFC, dan restoran-restoran  ternama lainnya, tidak!
Aku cuma datang ke warung bakso, itupun yang gak terlalu ramai, kalau kata orang sih gak 'recommended'. Wajar saja, akhir bulan bagi anak perantauan sepertiku ini menjadi momok bagiku, dan juga teman-teman perantauan lainnya. Lalu, aku cuma makan di tempat biasa selain karena uang yang menipis, tapi juga karena aku terbiasa kemana-mana seorang diri.
Namun kali ini aku berbeda. Aku melakukan sesuatu yang berbeda dan ini tidak pernah kulakukan sebelumnya. Menunggu perempuan dan mengajaknya bicara berdua, sungguh aku tak pernah membayangkan akan sampai sejauh ini. Hal itu tentu wajar karena akhir-akhir ini aku memang lebih sering seorang sendiri. Â Aku hanya berkomunikasi ke beberapa teman saja di perantauan ini. Hal itu terjadi setelah kejadian hari itu, lebih tepatnya sepekan yang lalu.
"Kamu mungkin tidak lama lagi mas." Ucap dokter Eko dengan wajah dingin
"Maksudnya?!" jawabku dengan mata yang lebih terbuka
"Ya, karena benturan waktu tabrakan bulan lalu, secara fisik mas Faisal tidak apa-apa, tapi memori yang ada di otak memiliki masalah" Jelasnya
Aku yang mendengar hal itu membeku. Bayangan-bayangan masa lalu dari masa kecilku hingga saat ini mulai terbayang-bayang kembali. Aku yang selama ini mengira bahwa paling aku cuma benjol dan lecet sedikit akibat dari kecelakaan yang kualami pekan lalu, ternyata dampaknya akan lebih buruk lagi.
"Jadi apa yang bakal terjadi dengan saya dok?" Jawabku dengan pasrah.
"Mungkin mas akan mulai kehilangan memori mas sedikit demi sedikit. Karena itu untuk berjaga-jaga mas bisa memulai menulis catatan memori mas untuk mencatat memori yang masih tersimpan di kepala, sebelum semuanya hilang. Mulailah dengan yang penting-penting, kalau misal ingin mencurahkan perasaan, maka ceritalah dengan orang yang bisa mas percayai, atau menulis melalui buku harian"
Jawaban dokter itu menjadi jawaban yang membuatku berdebar beberapa saat. Kehilangan memori sedikit demi sedikit, sesuatu yang tak pernah kubayangkan kini telah kualami. Akupun berpamitan dengan dokter. Keluar dari ruang kontrol aku bertemu dengan kamal, teman sekamarku di kos.
"Gimana sal hasilnya?" jawab Kamal dengan wajah khawatir.
"Nanti aja ya mal, aku sampein waktu di kos aja" jawabku singkat.
Kamal tidak menjawab lagi. Kami langsung berjalan menuju parkiran menuju motor kami . Selama perjalanan aku hanya terdiam. Melihat berbagai gedung yang mulai diterangi oleh lampu warna-warni, karena saat iru sang surya sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Jarak kosku ke rumah sakit memang lumayan jauh, kira-kira 15 menit perjalanan jika menggunakan motor. Perjalanan akan tambah lama jika jalanan ramai oleh para pekerja yang baru selesai dan berbondong-bondong keluar dari pabrik.
Motor Kamal sampai di depan kos, aku turun dan melangkah terlebih dulu menuju kamar. Aku tak menunggu kamal selesai dengan motornya. Baru sebentar aku merebahkan tubuhku di kamar, si Kamal sudah sampai ke kamar. Ia mengambil air putih dan meminumnya disamping kasur, tak lupa ia menyalakan kipas angin.
"Jadi gimana sal, katanya kamu mau ngasih tau waktu udah sampai di kos?" tanyanya penuh dengan rasa penasaran.
Aku menghela napas panjang. Untuk kesekian kalinya aku berpikir, apakah aku harus memberitahukan hal ini pada orang lain. Aku khawatir membuat orang lain menjadi gelisah, apalagi orang tuaku. Tapi aku juga tidak bisa menyembunyikan hal ini dalam waktu yang lama.
"Jadi gini. Kata dokter secara fisik aku tidak mengalami cedera serius akibat dari benturan bulan lalu. Tapi....." Aku tidak melanjutkan ucapanku. Aku lebih memilih menunggu Kamal bertanya lagi.
"Tapi apa?! Cepet ngomong gak!" Paksa Kamal. Iya mengucapkannya dengan nada akhir sedikit tertawa karena mengira aku akan bercanda, seperti yang biasa kulakukan
"Tapi ada masalah di otakku. Dokter bilang terjadi masalah pada memoriku, dan itu mungkin akan lebih buruk lagi." Jawabku dengan suara yang berat
"Lebih buruk lagi, apa maksudmu?!?" Tanya Kamal dengan cemas.
"Memoriku akan hilang dari hari ke hari. Hanya masalah waktu hingga semua benar-benar hilang."
Kamal terkejut seperti yang aku duga. Suasana di kamar kami tiba-tiba hening. Hanya ada suara detik jam dari ruang depan. Tak ada suara lain, karena saat itu kebanyakan penghuni kos sedang keluar. Sesekali dering notifikasi dari masing-masing HP kami terdengar, tapi tak ada satupun dari kami yang menyahutnya.
"Terus apa orang tuamu sudah tahu soal ini?" Tanyanya
"Jelas belum. Kamu orang luar pertama yang mengetahui hal ini. Aku pun bingung bagaimana caranya aku memberitahu orang tuaku tentang hal ini." Jawabku. Aku terdiam lama. Dalam diam aku merasakan ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Samar-samar mulai terasa. Mataku mulai sembab dan kamal menyadari hal itu.
"Ada apa sal."
"Ada sesuatu yang hilang dari kepalaku. Ya, aku merasakannya. Mengenai masa SD ku, aku bisa mengingat namanya, tapi mengenai rute jalannya aku mulai samar dan semakin tidak jelas. Padahal aku yakin jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku." Jawabku dengan suara yang hampir hilang
"Oh, Ya Allah." Kamal hanya bisa nyebut melihat aku mulai kehilangan ingatan. Ya, baik aku dan Kamal hanya bisa terdiam setelah aku menyebutkan kalimat itu. Suasana kembali hening. Sesekali terdengar suara motor yang melintas di depan kos-kosan kami.
"Terus apa yang disarankan dokter ke kamu sal?"
"Dokter menyarankan aku untuk membuat buku catatan selagi memoriku belum seluruhnya hilang. Ini sebagai arsip ingatanku."
"Tidak ada obat yang diberikan oleh dokter?"
Aku menggelengkan kepala. Malam itu menjadi berbeda jika dibandingkan dengan malam sebelumnya. Keesokan harinya aku menceritakan hal ini kepada orang tuaku. Reaksi  mereka sama seperti reaksi Kamal semalam. Khawatir, kasihan intinya ekspresi-ekspresi bela sungkawa layaknya ketika seseorang mendengar temannyasakit atau terkena musibah.
Sejak hari itu aku mulai menulis kembali memori-memori yang tersisa di kepalaku, khususnya untuk yang sudah sangat lama terjadi. Seperti kenanganku waktu bermain ketika SD, siapa saja teman-temanku sewaktu SD, peristiwa penting apa saja yang kualami, pokoknya semua yang penting-penting aku curahkan disitu.
Aku terus menulis dan menulis sepanjang yang aku bisa selama sepekan terakhir, karena aku merasa semakin banyak memori di ingatanku yang semakin hilang. Apalagi setelah aku membaca catatanku sendiri pada bagian awal, aku mulai merasa asing. Apa benar masa kecilku seperti ini? Setelah bertanya seperti itu pada diriku sendiri bukan ketenangan atau jawaban yang kudapat, tetapi ketakutanlah yang kudapat. Bagaimana kalau aku sudah tidak mempunyai ingatan mengenai apa yang terjadi tahun lalu?, bulan lalu?, pekan lalu?, kemarin?, atau bagaimana kalau aku tak bisa mengingat apa yang baru saja aku lakukan?!
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benakku. Dan sampailah aku hingga saat ini, termenung menunggu seseorang di sebuah warung makan sederhana. Menunggu 'dia' yang selama ini kukagumi dalam diam, karena aku sadar bahwa aku tidak layak mendapatkan hati perempuan sebaik dia. Untuk sekedar berbicara saja kami sangat jarang melakukannya. Meski begitu ketika ia kuajak ke tempat ini, ia menyetujui.
Sambil mencicil catatanku dan sedikit mengerjakan tugas kuliahku aku memandangi jalan raya di depan warung, barangkali ia sudah datang. Dan benar saja, tidak lama kemudian ia datang dengan motor maticnya dan helm nya yang khas. Ia turun dari motornya dan menyadari keberadaanku dari luar. Aku yang melihatnya dari dalam merasa tegang, karena sungguh aku benar-benar belum pernah melakukan yang seperti ini. Wong berbicara dengan wanita saja aku segan, apalagi berduaan di tempat umum.
Belum selesai diriku dengan pergolakan batinku sendiri, ia sudah duduk di hadapanku. Sial, aku kurang persiapan.
"Udah makan sal" Tanyanya dengan suara yang lembut. Yah, dia adalah Nadhira, teman satu prodi yang sama denganku. Dia sering jajan di luar, jadi untuk urusan perjajanan dia sudah khatam.
"Udah, kamu kalo mau pesen, pesen aja gak papa. Aku bayarin"
"Eh gak usah repot-repot, aku tau kamu lagi susah. Aku denger ceritanya dari Kamal. Emang ada masalah apa sampai manggil aku kesini."
Aku diam, bingung dan membisu. Apa yang harus kujawab. Ingin kuceritakan hal ihwal terkait musibah yang sedang kualami, tapi bagaimana aku memulainya? Kamal yang menyarankan semua ini. Ia menyarankan aku untuk mengungkapkan perasaanku pada perempuan yang saat ini kusukai sebelum semuanya benar-benar hilang dan aku berubah menjadi orang lain.
"Gimana sal. Aku dateng dari kampus izin dari acara BEM buat ketemuan sama kamu lho. Masa sampai sini kamu cuma diem aja?" Tanyanya dengan wajah sedikit kesal.
Aku yang selama ini memang pendiam dan jarang berbicara dengan perempuan tertampar dengan perkataannya itu. Ya, aku tak bisa terus berdiam diri. Ini mungkin akan menjadi kesempatan yang pertama sekaligus yang terakhir, maka aku tak boleh menyia-nyiakannya. Aku pun mulai menjelaskan kepada Nadhira terkait kecelakaanku bulan lalu, dan vonis dokter Eko pecan lalu. Sama seperti yang lain, Nadhira pun merasa kasihan. Iya pun mendoakan agar keadaan diriku segera membaik.
"Ya, terimakasih doanya ra. Tapi ada satu lagi yang mau kusampein ke kamu, boleh kan?"
"Boleh, sampein aja."
"Sebenarnya ini ranah yang cukup privasi, dan aku gak yakin kamu mau dengerin apa gak?"
"Udah ngomong aja gak usah banyak cingcong "
Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak sabar. Bertolak belakang dengan diriku yang sampai sekarang masih bimbang apakah aku harus mengatakannya atau tidak. Tapi satu menit berlalu aku sudah membulatkan tekadku.
"Aku tau kamu masih punya gandengan, yaitu si Irfan. Dia pintar, aktivis, mahasiswa berprestasi, kaya, banyak perempuan menyukainya. Jelas tak bisa disamakan dengan aku yang biasa-biasa aja ini, prestasi dikit, bukan aktivis, pokoknya kebalikannya Irfan. Meski begitu, sebelum semua ingatanku benar-benar hilang, aku ingin memberi catatan manis pada buku ingatanku bahwa aku pernah mempunyai perempuan yang aku suka, dan aku sudah menyampaikan perasaanku padanya. Jadi aku cuma mau bilang kalau selama ini aku menyukaimu dalam diam" ucapku.
Aku langsung menundukkan pandangan takut kalau-kalau Nadhira marah mendengar kelancanganku berbicara seperti itu didepannya. Keadaan hening sejenak, hingga aku mendengar suara isak tangis dari Nadhira.
"Eh eh kenapa ini, kok malah nangis. Aku gak sopan ya?!" Jawabku dengan perasaan khawatir.
Nadhira masih terus menangis hingga beberapa menit berikutnya. Sepuluh menit berlalu, ia sudah agak mendingan.
"Coba tehnya diminum dulu ra, keburu dingin." Sambil kusodorkan the itu ke hadapannya. Harapannya ia mungkin akan meminumnya dan akan merasa baikan. Benar saja, ia sudah membersihkan air matanya dan meminum tehnya.
"Maaf ya membuatmu repot" ucapnya sambil sedikit tertawa.
"Sebenarnya apa yang kamu ucapkan itu juga sudah sejak lama ingin kuungkapkan, tapi aku bingung caranya. Aku tuh suka kamu sejak semester 2, saat itu aku emang punya masalah. Aku sangat mudah mengeluh, ada tugas mengeluh, acara organisasi mengeluh, disuruh ikut kepanitiaan ini mengeluh. Ya tentu mengeluhnya gak di depan orang-orang, tentu dikala aku sendiri. Hampir-hampir aku mau ambil cuti saat memasuki semester 3, tapi aku melihat kamu penuh semangat. Kamu mungkin bukan ketua HMP, BEM, LDF ataua yang lainnya tapi kamu selalu menjalankan tanggung jawab dengan sebaik mungkin. Kamu selalu mencairkan suasana ketika kita rapat, meski setelah kuliah kamu harus bekerja paruh waktu. Yang membuatku kagum lagi, kamu tidak pernah memaksakan kehendak ketika kamu mempunyai kewenangan untuk melakukannya, missal ketika menjadi ketua panitia atau selama menjadi ketua kelas. Kita mungkin gak sekelas, tapi aku bisa melihat bahwa kamu bisa membaur dengan semua teman-teman di kelas dan membuat kelas suasananya jadi teduh. Karena itulah aku juga menyukaimu, tapi aku bingung. Jadi aku putuskan untuk menunggu kamu mengungkapkannya. Tapi yang daaatang duluan adalah Irfan, ia yang mengungkapkan perasaannya terlebih dulu kepadaku. Aku tak enak bila menolaknya, jadi aku menerimanya. Selama menjalin hubungan dengannya memang tak buruk, tapi aku tak merasakan keteduhan seperti yang kamu berikan ke teman-teman."
Mendengar penjelasannya yang panjang lebar itu aku tercengang. Aku deg-degan sekaligus senang. Ya sangat senang karena orang yang selama ini aku senangi dalam diam juga menyukaiku dalam diam. Ternyata kita selama ini saling suka, dan ini akan menjadi catatan manis untuk buku catatanku. Yah, setidaknya ada satu kisah romants dalam buku catatanku ini.
"Heh, beneran?!" Tanyaku.
"Iya" ia menjawabnya dengan tersipu malu. Aku yang melihatnya pun tersipu meski dalam hati bersorak sorai kegirangan. Ya lelaki mana yang tak gembira ketika mengetahui dirinya diterima oleh perempuan yang  ia sukai. Semua pasti akan senang. Suasana setelah itu menjadi lebih cair, Nadhira mulai memakan baksonya, akupun mulai memakan baksoku.
"Jadi lanjutannya gimana, kamu nembak aku?" tanyanya tiba-tiba
"Gak, kita temenan aja, tapi anggap saja aku sahabatmu atau teman akrab. Aku memang pantang pacaran, kamu tahu kan?"
"Iya aku tahu kok. Jadi kamu mau aku tetep sama Irfan apa gimana neh?" Ledeknya.
Sial ia mempermainkanku
"Itu sih terserah hehe..." Jawabku seadanya.
Pembicaraan pun berlanjut kesana kemari, malam itu menjadi lebih cerah bagiku, dan juga bagi Nadhira karena ungkapan hati masing-masing dari kami. Â Hari-hari berikutnya kami jadi terlihat lebih akrab ketika ketemu teman-teman di kampus. Kamal pun menyadari hal itu, dan pada suatu saat ketika kita sedang nongkrong di suatu kafe ia berbisik kepadaku.
"Gimana sal, berhasil gak agenda malam itu." Tanyanya dengan penuh penasaran.
"Wah, sukses besar bro. Dia juga selama ini suka kepadaku. Makanya belakangan ini kami jadi sering akrab." Jawabku dengan wajah cerah. Kamal pun ikut senang mendengar hal itu.
"Oh ya aku juga punya kabar gembira lagi, beberapa hari ini aku tidak melanjutkan catatanku karena aku tidak merasa ada yang hilang dari ingatanku. Lalu aku mencoba menghubungi dokter Eko dan aku melakukan pemeriksaan kembali. Dan hasilnya Alhamdulillah sudah tidak ada masalah lagi dalam memoriku."
"Weh beneran sal, selamat ya! Traktiran nih berarti."
"Iya, Alhamdulillah. Tapi memori-memori yang kemarin sempat hilang sampai sekarang tidak kembali. Jadi mungkin aku memang harus mengikhlaskannya dan menggunakan catatanku yang telah kubuat selama ini."
"Oalah. Meski begitu syukurlah memorimu gak ada yang ilang lagi, dan kamu dapet gebetan batu."
"Ini juga karena kamu yang nyuruh mal" jawabku dengan tertawa.
Kamipun tertawa bersama saat itu. Meski sebagian memoriku hilang, tapi aku tidak kehilangan memori yang lain, Allah masih memberi Rahmat-Nya. Dari sini aku belajar bahwa dibalik kesusahan yang menimpa kita masih ada keberkahan yang mengiringi, rasa syukur dan harap kepada Allah SWT harus senantiasa ada dalam diri kita. Dan buku catatan itu, sebuah catatan kecil dikala aku sedang susah, catatan itu akan menjadi pelajaran bagiku dan sebuah kisah unik dalam diriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H