Pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun masa depan bangsa. Dalam
era digital seperti sekarang, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan sehari-hari. Untuk memenuhi tantangan ini, Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengembangkan program
inovatif yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Salah satu program
yang menarik perhatian adalah "Marketplace Guru", sebuah platform yang memfasilitasi
kolaborasi antara guru, siswa, dan masyarakat pendidikan.
Dalam era digital yang terus berkembang, teknologi telah membawa dampak
signifikan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, termasuk pendidikan. Salah satu
perkembangan terkini adalah munculnya marketplace guru, platform daring yang
menghubungkan pengajar dengan para siswa. Meskipun ide ini telah mempermudah
akses pendidikan bagi banyak orang, tidak sedikit pula yang mengungkapkan
ketidaksukaan mereka terhadap konsep ini. Artikel ini akan menjelaskan beberapa alasan
mengapa sebagian orang kurang setuju dengan adanya marketplace guru.
1. Kehilangan Nilai Personal dan Kualitas Interaksi:
Salah satu kekhawatiran yang diungkapkan oleh kritikus marketplace guru
adalah hilangnya nilai personal dalam pendidikan. Mereka berpendapat bahwa
interaksi tatap muka antara guru dan siswa memiliki peran penting dalam proses
pembelajaran yang efektif. Dalam platform daring, interaksi tersebut dapat
berkurang atau bahkan hilang sepenuhnya. Siswa mungkin tidak dapat mengalami
kehadiran guru yang berdedikasi secara fisik, sehingga mengurangi kualitas pengajaran.
2. Keaslian dan Kualitas Materi Pembelajaran:
Kualitas materi pembelajaran juga menjadi perhatian bagi mereka yang
tidak setuju dengan marketplace guru. Dalam platform tersebut, siapa pun dapat
menjadi guru dan mengunggah materi pembelajaran tanpa proses seleksi yang
ketat. Hal ini berpotensi menghadirkan kurangnya kualitas, validitas, dan akurasi dari materi yang disajikan. Banyak yang meragukan kemampuan guru yang tidakÂ
terverifikasi atau kurang memiliki pengalaman pendidikan yang memadai.
3. Kesenjangan Akses dan Kesempatan:
Meskipun marketplace guru bertujuan untuk meningkatkan aksesibilitasÂ
pendidikan, kritikus berpendapat bahwa konsep ini sebenarnya memperkuatÂ
kesenjangan sosial. Ada banyak orang yang tidak memiliki akses yang samaÂ
terhadap teknologi dan tidak mampu memanfaatkannya dengan optimal. SelainÂ
itu, platform tersebut mungkin membutuhkan biaya tertentu untuk menggunakanÂ
layanannya, yang mungkin tidak terjangkau bagi semua kalangan masyarakat.
4. Masalah Bahasa dan Konteks Budaya:
Dalam konteks bahasa Indonesia, marketplace guru juga menimbulkanÂ
beberapa masalah. Terjemahan yang buruk atau tidak akurat dari materi asingÂ
menjadi salah satu keluhan yang sering disampaikan. Dalam beberapa kasus,Â
konsep atau prinsip yang terkandung dalam materi pembelajaran tidak dapatÂ
sepenuhnya dipahami oleh siswa karena kurangnya pemahaman yang tepat dalamÂ
bahasa Indonesia atau konteks budaya setempat.
Meskipun marketplace guru telah membawa perubahan positif dalam aksesÂ
pendidikan, tidak dapat dipungkiri bahwa konsep ini juga menimbulkan sejumlahÂ
kontroversi. Kritikus menyoroti hilangnya nilai personal dan interaksi tatap muka,Â
kualitas materi pembelajaran, kesenjangan akses dan kesempatan, serta masalah bahasaÂ
dan konteks budaya dalam konteks bahasa Indonesia. Meskipun marketplace guru dapatÂ
memberikan manfaat dalam hal aksesibilitas dan fleksibilitas, kekhawatiran yang adaÂ
menunjukkan bahwa perlu ada penyesuaian dan perbaikan dalam konsep ini. DenganÂ
perhatian yang tepat terhadap nilai personal, kualitas materi, aksesibilitas, dan bahasa,Â
dapat diharapkan agar marketplace guru dapat menjadi platform pendidikan yang lebihÂ
inklusif dan efektif.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H