Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu tokoh yang mencuat di tiap gelaran Pemilu. Narasi lantang dari warganet untuknya adalah "arogan."
Terbaru, warganet terpantik dengan ancaman putri Proklamator itu untuk menyeret siapa saja yang menjadikannya meme. Belum lagi soal berbagai pernyataan Megawati yang semakin memperkuat narasi bahwa dirinya sosok yang angkuh.
Tidak heran, Megawati kerap dipisahkan dengan para kadernya. "Pilih Ganjar tapi tidak PDI-P" atau "Mending pilih capres lain daripada pilih Ganjar yang cuman tunduk sama Megawati, bukan rakyat."
Terbaru, komika Pandji Pragiwaksono secara terbuka tidak mau memilih Ganjar karena ada sosok Megawati. "Gua enggak mau 03 menang, karena gua capek lihat presiden yang diperlakukan sembarangan oleh bu Mega, emang lu enggak capek lihat presiden duduk di depan pimpinan partainya," ujarnya dikutip dari video TikTok.
Konteks pendapat Pandji adalah, Megawati dianggap merendahkan Jokowi di beberapa kesempatan acara partai PDI-P. Misalnya, Jokowi dibilang petugas partai; Jokowi bukan siapa-siapa kalau tidak ada PDI-P; Atau soal kursi Jokowi yang lebih sederhana dibanding Megawati. Pandji menilai, bagaimanapun Jokowi adalah presiden dan dia adalah pilihan rakyat. Jokowi bukanlah pilihan Megawati ataupun PDI-P.
Narasi negatif yang dialamatkan pada Megawati itu makin mengkristal jika melihat cara bicaranya. Bagaimana dia memberi banyak tekanan khusus pada tiap kata yang disampaikan. Maka, makin jauhlah sosoknya dengan banyak kalangan.
Fenomena ini menarik untuk saya. Apa iya Megawati segitu arogannya? Apa benar yang banyak dikatakan warganet, terutama yang diwakili oleh Pandji?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuka sebuah asumsi dalam diri saya. Konflik yang terjadi antara Megawati dan warganet sudah seharusnya terjadi! Asumsi saya, ada kesenjangan generasi antara Megawati dengan warganet yang didominasi oleh generasi muda, yakni Milenial dan GenZ.
Megawati yang bernama lengkap Prof. Dr. Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri itu tepat 77 tahun pada 23 Januari lalu. Umur yang sangat layak disebut nenek-nenek oleh Milenial dan GenZ. Generasi milenial adalah sebutan untuk orang yang lahir pada 1980 hingga 1994, atau yang sekarang paling tua berumur 44 tahun. Dan GenZ merujuk generasi yang lahir mulai 1995 hingga 2000-an, atau berumur 17 -- 29 tahun yang boleh "nyoblos."
Megawati harus bercermin diri jika ingin "menyatakan perang" dengan generasi ini. Karena merekalah pemilik suara mayoritas di Pemilu 2024. Berdasarkan hasil Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi DPTÂ di kantor KPU, total pemilih dari kelompok generasi milenial dan generasi Z berjumlah lebih dari 113 juta pemilih. Secara presentasi jumlahnya mencapai 56,45% dari total keseluruhan pemilih.
Konflik Dua Generasi Berbeda
Konflik Megawati dengan generasi muda ini bisa dijelaskan secara ilmiah. Berikut ciri GenZ yang dikutip Liputan6.com dari oxford-royale.com.
Sejak GenZ lahir, sebagian dari mereka sudah langsung bergaul dengan internet dan ponsel pintar. Mereka haus informasi dan segala sesuatu yang kekinian. Sekalipun arus informasi cepat, mereka punya kemampuan untuk beradaptasi sekaligus membangun jejaring di media sosial. Walau lebih tua sedikit dari GenZ, tapi Milenial juga punya kecenderungan mirip soal internet. Mereka juga masih bisa beradaptasi.
Namun, ekosistem Milenial dan GenZ ini dihadapkan dengan "narasi dulu" yang terus diulang Megawati. Dalam banyak kesempatan Megawati membanggakan bahwa dirinya dulu hidup sulit, membawa PDI-P berdarah-darah, menjadi aktor utama reformasi, dan segala kisah perjuangan di masa lalu. Sehebat apapun Megawati dan PDI-P, itu semua dianggap tidak relevan dengan dunianya Milenial dan GenZ.
Bukti konkretnya, sebagian besar dari mereka tidak masalah dengan latar belakang Prabowo. Karena mereka tidak mengalami bagaimana Republik ini berdarah-darah membangun demokrasi. Apa yang generasi dulu perjuangkan, sudah diterima jadi oleh GenZ. Kehadiran teknologi makin membuat mereka masuk dalam zona nyaman penuh kemudahan.
Milineal khususnya GenZ punya karakter khas dalam berkomunikasi. Mereka cenderung melakukan komunikasi secara maya atau melalui media sosial. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan mereka dapat berkomunikasi dan berekspresi secara spontan. Terkadang, apa yang mereka sampaikan melalui media sosial dinilai tidak etis, jauh dari norma kesantunan.Â
Apa yang dianggap biasa oleh generasi muda, ternyata dipandang sebagai sikap kurang ajar oleh Megawati. Ingat, Megawati ini nenek-nenek. Bayangkan seorang nenek marahin cucunya yang membuat karakter nenek dengan tanduk dan taring di ponselnya. Cucu melakukan itu, karena habis dimarahi nenek.
Lagi-lagi, generasi yang berbeda membuat gaya komunikasi generasi muda dan Megawati juga berbeda. Meme adalah salah satu bentuk komunikasi generasi muda. Tidak heran, mereka langsung teriak saat diancam Megawati. Maka, salah satu harus mengalah dan mendengarkan. Dalam hal ini, yang paling realistis adalah Megawati harus rendah hati mendengarkan generasi muda.
Tentu tidak mudah bagi keduanya, khususnya Megawati. Karena baik Megawati maupun generasi muda sama-sama ingin didengar. Geriatri, media khusus edukasi tentang lansia, menulis, "Ketika mengobrol dengan lansia, kita perlu menyadari bahwa lansia memiliki kebutuhan untuk didengar, baik kisahnya maupun petuah yang mereka sampaikan. Meskipun mungkin cerita mereka terkadang berulang."
Di sisi lain, didorong oleh akses ke begitu banyak informasi, GenZ memiliki pendapat yang kuat dan mereka ingin didengar. Mereka percaya bahwa ide mereka sama berharganya dengan ide dari anggota generasi lain. Walau mereka dianggap kurang berpengalaman, tapi mereka cepat belajar dengan sumber informasi yang melimpah.
Bisa dibayangkan, jika kedua generasi ini tidak ada yang saling mengalah. Yang ada ribut. Mereka berbicara sendiri-sendiri tanpa ada yang mau mendengarkan. Sampai kapanpun generasi muda tidak akan pernah mengerti apa yang dimaksudkan oleh Megawati.
Padahal, secara substansi apa yang disampaikan atau dilakukan Megawati tidak ada yang salah. Soal petugas partai, jelas secara kondrat kita tidak pernah ada begitu saja. Tidak mungkin kita "jebrot" muncul ke dunia dari ketiadaan. Mustahil!
Soal perkataan dan sikap Megawati yang dianggap merendahkan Jokowi di acara Partai. Ingat konteksnya adalah acara internal, yang mana Megawati adalah bosnya Jokowi. Maka wajar saja hal itu dilakukan Megawati. Toh, rakyat akhirnya bisa memilih Jokowi karena PDI-P mau mendengarkan kehendak kita semua sehingga Jokowi maju di kancah daerah dan nasional. Tidak hanya memberi ijin tetapi mengerahkan semua sumber daya, SDM sampai materi.
Bagi saya konyol saat mendengar ada orang yang masuk partai tapi tidak mau ikut kebijakan partai. Ada TikTokers gabung ke partai tertentu. Dia ingin bertarung di pemilu untuk posisi senat. Tapi dia sudah bilang di awal, "Gua kalau terpilih, gua maunya mendengarkan suara rakyat bukan suara partai." Pernyataan yang kedengarannya keren dan merakyat tetapi kontradiktif.
Akhirnya, perang dua generasi ini mengajak kita untuk berpikir kritis. Baik untuk generasi kolonial maupun generasi muda. Informasi apapun yang diterima harus benar-benar dilihat secara obyektif, membedah konteks, meneliti argumen dan bukti yang disampaikan. Memang kita perlu repot, karena kita harus mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan dalam argumen atau bidang informasi yang masuk.
Supaya kita cerdas sebagai bangsa, mengutip situs ung.ac.id, mau tidak mau kita bersama-sama mau sabar. Kita juga harus tekun menggali lebih dalam serta mempertimbangkan semua informasi yang tersedia. Proses ini mesti dilalui sebelum membuat keputusan atau mengekspresikan pandangan. Â
Sumber Foto: YouTube PDI-P
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H