Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Ajak Berdamai dengan Corona, Begini Respons Waras Saya

8 Mei 2020   09:18 Diperbarui: 7 Juni 2020   00:36 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo [Biro Sekretariat Presiden via Kompas.com]

"Artinya, sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan," kata Presiden Joko Widodo dalam video unggahan Sekretariat Presiden, Kamis, 7 Mei ini.[1]

Mula-mula membaca kabar itu, istri saya sangat jengkel. Ya, semua orang akan begitu saat pertama kali membacanya. Syukurlah kejengkelan itu tidak istri saya lampiaskan dengan membatalkan rencana membuat panekuk labu pagi ini.

Saya tidak terlalu menanggapi omelannya terhadap pernyataan Presiden. Dalam hati saya membatin, "Untunglah rencana saya menulis artikel dan pesan berjudul serupa, 'Hidup Aman di Tengah Pandemi' batal."

Tetapi mengingat Presiden Joko Widodo sudah sampaikan ini, saya jadi punya bumper untuk menulisnya. Jika orang marah, Pak Jokowi yang akan jadi sasaran.

Begini ...

Kalau pernyataan Pak Jokowi diihat utuh, kita akan mengerti konteksnya. Ia katakan demikian dalam konteks selama vaksin virus SARS-CoV-2 belum ditemukan. Artinya hingga vaksin ini kelak ditemukan dan disuntikkan di paha--kalau di bahu bisa merusak tatoo--seluruh rakyat, kita memang harus 'gencatan senjata sementara' dengan virus corona.

Dalam hal ini, Presiden hanya mengajak kita untuk realistis. Itu lebih baik dibandingkan bisikan angin surga dan lontaran janji-janji yang tidak bisa dipenuhi atau sebaliknya menutup-nutupi kenyataan.

Menyesuaikan kehidupan, mengubah kebiasaan-kebiasaan, membuang sejumlah onderdil dari zona nyaman kita, boleh diwakili oleh frasa berdamai dengan corona.

Istilah berdamai dengan corona atau berdamai dengan bencana bukan baru dalam dunia respon kebencanaan.

Satu dekade lalu, saat jadi kuli sebagai editor majalah sebuah lembaga non-pemerintah yang mengurusi isu kebijakan kebencanaan, saya sering berjumpa dengan istilah ini. "Hidup aman bersama bencana," bunyi tepatnya.

Frasa 'hidup aman bersama bencana' mengandung makna ada peristiwa-peristiwa alam yang tidak bisa kita cegah kejadiannya. Siapa punya kuasa mengcegah gempa bumi dan letusan gunung api?

Nah, terhadap peristiwa-peristiwa tidak terhindari, yang bisa umat manusia lakukan adalah menyesuaikan kehidupannya dengan kenyataan itu. Hal ini sangat penting bagi penduduk Nusantara yang sudah ditakdirkan semesta harus hidup di antara gunung-gunung berapi dan pertemuan lempeng-lempeng kerak bumi.

Penyesuaian-penyesuain itu berupa pengarusutamaan risiko bencana dalam pembangunan. Contohnya di daerah-daerah rawan gempa bumi, pemerintah tidak mengizinkan pembangunan pemukiman di tepi  pantai; pantai dikonservasi dengan reboisasi bakau; ada sistem peringatan dini; sekolah-sekolah dibangun dengan konstruksi tahan gempa, dan banyak contoh lainnya.

Dengan demikian ketika gempa bumi terjadi, korban yang jatuh bisa diminimalisir.

Ingat, yang namanya bencana itu bukan kejadian alamnya, melainkan seberapa besar korban jiwa dan material yang ditimbulkan oleh peristiwa itu.

Hidup aman bersama bencana juga berarti menciptakan masyarakat yang lenting, yang punya segudang coping strategy untuk bisa segera bangkit setelah mengalami kejadian buruk kebencanaan. Untuk itu diperlukan penyesuaian-penyesuaian dalam hidup.

Contohnya, masyarakat di wilayah-wilayah yang kerab kekeringan, perlu menyesuaikan pola konsumsi pangannya. Jika selama ini sudah terlanjur doyan makan beras gara-gara politik berasnisasi orde baru, mereka perlu membiasakan lagi mengonsumsi pangan pokok yang cocok dibudidayakan dalam lingkungan kritis air.

Nah, penyesuaian hidup itu dengan kondisi kebencanaan inilah yang dengan tepat diistilahkan sebagai berdamai. Presiden Joko Widodo sudah menggunakan istilah itu dengan tepat.

Dalam konteks bencana kesehatan pandemi Covid-19 ini, penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan adalah perubahan sikap dalam pergaulan dan pembawaan hidup sehari-hari.

baca juga: "Kemunafikan Indonesia dalam Kasus Nelayan di Kapal Tiongkok"

Kita terpaksa tidak bisa lagi merumpi keburukan teman—kecuali jika mau dilakukan sambil teriak-teriak dan didengar yang bersangkutan—sebab saat mengobrol bergosip pun harus jaga jarak.

Kita tidak bisa lagi salaman dan salim-saliman saat berjumpa kenalan dan kerabat, apalagi cipika-cipiki dengan mantan yang sudah jadi suami atau istri orang. Mantan sekalipun bisa saja sudah tertular virus corona sekalipun masih tampak segar.

Kita tidak bisa lagi menatap mentari senja sambil sender-senderan bahu dan kepala dengan kekasih orang yang tidak kita kenal, sebab siapa tahu ia silent carrier virus corona. Hah?

Kita harus lebih sering mandi dan cuci tangan; mengenakan masker jika keluar rumah; tidak lagi menempelkan upil di bangku taman, apalagi di lengan baju orang di samping saat berjejal di dalam kereta. Prinsipnya hidup lebih higienis.

Penyesuaian-penyesuaian ini adalah keharusan sebab kita tidak mungkin melakukan karantina wilayah atau PSBB selama lebih dari tiga bulan. Bukan cuma karena hal itu meruntuhkan perekonomian. Yang paling mendasar adalah cadangan kekayaan negara tidak sanggup untuk mendukung kehidupan rakyat dalam rentang waktu sepanjang itu. Bisa jadi pandemi busung lapar kalau dipaksakan juga. 

Hanya saja saya merasa perlu bertanya balik ke Presiden Jokowi. Jika masyarakat bisa berdamai dengan corona---hingga vaksin ditemukan dan disuntikan ke seluruh rakyat---apakah Pak Jokowi juga bersedia berdamai dengan corona?

Kesediaan Presiden atau pemerintah untuk berdamai dengan corona akan tampak dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat.

Contohnya selama ini Pak Jokowi terlalu membangga-banggakan perusahan rintisan berbasis teknologi. Pada masa kampanye dahulu perusahaan-perusahaan berskala unicorn jadi jualan, alat pelegitimasi kesuksesan pemerintah. Dengan kondisi bencana kesehatan seperti ini, sudah sepantasnya Presiden bersedia menyesuaikan diri, tidak memaksakan subsidi terhadap perusahaan-perusahaan ini.

Kartu Prakerja pada kenyataannya merupakan subsidi terhadap perusahaan-perusahaan rintisan yang jadi makelar kursus online jika ngotot dilaksanakan prematur. Soal ini, sila Pak Presiden dan para penggemar setia beliau membaca artikel "Ketika Sri Mulyani Ngotot Kartu Prakerja".

Pemerintah yang berdamai dengan kondisi tantangan kekinian dan masa depan adalah pemerintah yang bersedia meninggalkan pola bansos yang sering salah sasaran, politis, banyak dikorupsi, dan merendahkan martabat golongan masyarakat miskin. Pola itu diganti dengan penerapan Universal Basic Income seperti yang sudah diterapkan Iran dan Spanyol.

Soal UBI, sila baca artikel "Bikin Cemburu, Spanyol Terapkan UBI, Akankah Indonesia Juga?" Tentu saya tidak mendesak hal ini dilakukan sekarang. Ada banyak pembenahan prasyarat--seperti administrasi kependudukan, perombakan beban pajak penghasilan menjadi lebih progresif, hingga penciptaan dana abadi--yang perlu terlebih dahulu dilakukan.

Nah, kalau nanti Pak Jokowi sudah mampu berdamai dengan kondisi, rakyat pun boleh ikut-ikutan. Monggo, Pak, kasih kami contoh. Ingat, lho, tut wuri handayani  itu baik, tetapi jauh lebih penting ing ngarsa sung tulada dan ing madya mangun karsa.

Ok, baiklah. Istri saya sudah selesai membuat panekuk labu. Ada tiga lapis. Di tengah dan atasnya dikasih parutan keju mozzarrela. Sudah pula saya lahap hingga habis. Jadi risiko artikel ini bikin ia jengkel sudah zero. Saya sudah bisa publish sekarang.

Selamat menunaikan puasa, pembaca. Saya turut mendoakan puasa Anda penuh terus sebulan ini.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun