Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review Film "Dua Hati Biru", Belajar Berumah Tangga Sepanjang Hidup

18 April 2024   06:39 Diperbarui: 19 April 2024   00:51 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ki-Ka: Aisha Nurra Datau, Farrell Rafisqy, dan Angga Yunanda di film Dua Hati Biru. (Instagram Official Dua Hati Biru/Starvision/Wahana Kreator via parapuan.co)

Sayangnya dari sisi sinematografi mengalami penurunan. Penonton tidak lagi dimanjakan dengan nuansa warna-warni yang disuguhkan pada film sebelumnya. Bukan berarti buruk. Tetap ada unsur kontrasnya, tetapi terkadang terlihat redup. Seperti ingin menggambarkan bahwa kehidupan tak selalu penuh warna. Konflik yang dihadapi Bima dan Dara terlihat lebih redup untuk pemilihan warna latar mereka.

Selalu saja Gina S. Noer tak pernah bermain-main dalam menggarap filmnya. Apalagi film Dua Garis Biru yang penuh dengan makna dalam setiap adegan. Sampai properti yang hanya sekadar terpajang saja memiliki makna yang mendalam.

Lagi-lagi, value tersebut terulang dalam film Dua Hati Biru. Penonton harus lebih seksama melihat segala unsur yang tergambar dalam frame. Mulai dari intrepretasi ikan yang berenang dalam akuarium. Sampai balon berbentuk ikan yang terbang dengan sendirinya.

Perlu dicatat bahwa lagi-lagi film ini tidak hanya sekadar film hiburan biasa. Justru ingin memberikan edukasi kepada penontonnya. Lagi-lagi menggambarkan dampak pernikahan dini dan atau hamil di luar nikah. Pengangkatan harim membuat Dara tidak seperti dulu lagi. Apalagi ketika ia akan melayani suaminya.

Pernikahan di usia muda juga tergambarkan konfliknya dalam film ini. Kesulitan ekonomi, sampai tingkat keegoisan masing-masing yang selalu ingin mengendalikan semuanya dengan cara masing-masing. 

Kurangnya komunikasi antara suami dan istri. Belajar parenting tidak hanya dibebankan kepada perempuan saja, tetapi lelaki juga harus belajar parenting. Sampai isu parenting terkait peran orangtua untuk mau meminta maaf kepada anaknya.

Yang paling membuat saya tertegun justru konflik di sekeliling Bima dan Dara. Konflik orangtua mereka masing-masing. Para nenek dan kakek yang ternyata juga harus siap dengan kehadiran sang cucu. Namun di sisi lain, mereka yang sudah berpengalaman harus memberikan kepercayaan kepada anak-anak mereka dalam membesarkan anaknya sendiri.

Kadang kita juga lupa untuk melakukan pendekatan antara mertua dengan menantu. Mertua yang terus menyalahkan menantunya. Terus menerus mencari dan membicarakan kekurangan sang menantu. Lalu menantu yang merasa tidak diberikan kepercayaan penuh dalam merawat anaknya sendiri. Selalu mendapatkan campur tangan dari mertunya.

Padahal, mereka bisa saling kompak dengan mau menurunkan ego masing-masing. Mertua yang sadar dengan batasannya dan mau untuk memberikan kepercayaan. 

Menantu yang mau untuk memahami dan sesekali tidak gengsi meminta bantuan mertua. Keduanya bisa saling mengucapkan maaf dan terima kasih dari hati ke hati. Saling memuji satu sama lain.

Bima dan Dara memang sepasang suami istri yang banyak kekurangan. Terlebih mereka tumbuh dalam kondisi keterpaksaan imbas pergaulan bebas. Namun keduanya mau untuk tumbuh bersama. Berproses bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun