Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Depresi Remaja, Kegelisahan Kita Bersama

9 Oktober 2020   07:07 Diperbarui: 8 April 2022   14:40 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Depresi pada remaja merupakan faktor penyebab meningkatnya kasus bunuh diri pada remaja | via pixabay.com

Suara sirine menandakan mobil polisi berlalu lalang di Jalan Dr. Radjiman, Solo. Entah mengapa nyali saya menciut, ada rasa cemas yang mengerucut. Berharap semoga semua dalam kondisi kondusif.

Satu notifikasi di WAG saya buka, ternyata ada pesan singkat dari wali kelas anak saya yang masih duduk di kelas 11 SMA. 

Pesan berupa himbauan agar orangtua tidak melibatkan anaknya dalam aksi demonstrasi penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja, guna menghindari penyebaran virus Covid-19.

Dengan segera himbauan tersebut mendapat dukungan penuh dari para orangtua dan wali siswa.

Dalam kurun waktu satu minggu ini, entah mengapa, semesta seakan menggiring saya untuk diam dan mendengarkannya berbicara.

Sepulang dari gereja, kembali seorang driver ojol yang mengantar saya, tetiba bercerita panjang lebar mengenai perubahan kebiasaan anaknya yang dahulu begitu aktif dan ceria. Semenjak adanya pandemi dan masa isolasi, kini anaknya mempunyai sikap malas, sering menunda pekerjaan, dan mudah marah.

Berbeda hari, ada seorang sahabat menelpon minta dukungan doa untuk saudaranya, mari kita namai saudaranya itu, Rebo, yang tetiba histeris dan menangis tanpa sebab.

Ada saat ketika Rebo berangsur tenang, namun beberapa saat kemudian, ia kembali menangis serta berteriak histeris. Pihak keluarga sangat gelisah. Saat itu, saya hanya menyarankan untuk mengajaknya menemui ahli jiwa, psikiater terdekat, agar Rebo lekas mendapat pertolongan.

Kondisi Rebo kini berangsur membaik. Memang ia masih harus menjalani perawatan psikiater, namun paling tidak, ia sudah agak nyaman dan tidak berteriak histeris lagi.

Masih ada beberapa kejadian yang hampir mirip, tapi untuk kali ini, saya bagikan dua kisah di atas saja. Berkenaan dengan judul di atas, kali ini kita bicarakan soal depresi.

Lebih mengerucut lagi, saya akan mempersempit obrolan receh kita ini dengan batasan depresi di kalangan remaja.

Kenapa harus remaja? Kenapa bukan jenjang usia lain? 

Sebelum menjawabnya, kita perlu tahu dulu apa perbedaan antara sedih, stres, dan depresi. 

Bagi sebagian orang tiga kondisi di atas adalah sama. Bukankah sering kita dengar seseorang berkata, "hhh, gue lagi depressed nih. Kerjaan ga kelar-kelar". Sekilas tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut. Tapi coba kita perhatikan yang berikut ini.

Depresi bukan perasaan sedih, yang datang dengan durasi singkat. Sedih merupakan satu dari sekian banyak emosi yang kapan saja dan di mana saja mampu menimpa kita.

Kita sedih bila kehilangan ponsel yang baru saja kita beli, kita sedih saat berpisah dengan anjing atau kucing kesayangan kita yang mati diracun orang, dan masih banyak contoh yang lain. Sedih akan berlalu setelah peristiwa tersebut usai.

Depresi bukan pula stres. Stres adalah kondisi di mana individu merasa cemas dalam durasi sepanjang stresor hadir dalam aktivitas keseharian. Frekuensinya pun tergantung pada setiap kali stresor datang memicu individu. Setelah stresor berlalu, maka tingkat stres pun akan menurun.

Mungkin kita akan merasa stres apabila menghadapi sidang skripsi, tapi setelah sidang berlalu, maka tekanan stres pun akan berlalu. Atau, bila kita harus berpidato di muka umum, apabila selesai berpidato, maka usai pula stres kita.

Menurut survei yang diadakan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO pada bulan Juni hingga Agustus 2020 dari 130 negara diperoleh data lebih dari 60% penduduknya menderita gangguan mental di berbagai tingkatan usia dan kondisi individu. Kabar buruknya, 72% diantaranya adalah anak dan remaja.

Lalu sebenernya apa yang disebut depresi?

WHO mendefinisikan depresi sebagai gangguan serius pada suasana hati yang ditandai dengan munculnya gejala penurunan suasana hati (mood).

Penurunan mood secara umum dapat berwujud seperti: kehilangan minat terhadap sesuatu, memiliki perasaan bersalah berlebih, gangguan tidur, gangguan nafsu makan (bisa menjadi hilang nafsu makan atau justru semakin meningkat), kehilangan energi, dan penurunan konsentrasi.

Monmaap, Teman, tetapi tulisan ini saya buat bukan untuk tujuan supaya kita dapat memberi label diri kita sendiri atau orang lain, yha. 

Pliiiiis, don't do that... Diagnosa diberikan oleh ahli medis, dalam hal ini psikiater ataupun psikolog ditujukan untuk membuat treatment plan. Itu pesan dari Dr. Jiemy Ardian SpKJ. Bila memang ada kesamaan gejala, maka secepat mungkin, konsultasikan ke psikiater atau psikolog. 

Menurut Erik Erikson, fase remaja adalah suatu fase di mana anak harus mencapai identitas egonya, siapa dirinya, di tengah lingkungan sosial yang lebih luas dari keluarganya. Ia menyebutkan bahwa remaja memasuki masa identity ego vs role confusion.

Remaja akan mengembangkan dirinya, di lingkungan sosial yang lebih luas dari lingkungan keluarga. 

Dukungan keluarga di masa kanak-kanak sangat berperan penting bagi perkembangan remaja. Itu mengapa di sinilah titik penting fase remaja. Apabila jati dirinya belum kuat, maka ia akan mengalami kebingungan akan perannya di masyarakat. 

Kesetiaan pada norma yang berlaku di masyarakat adalah kunci penting bagi tumbuh kembang remaja, terlepas dari kelemahan, keunggulan, maupun konsistensi standar "normal" yang berlaku di masyarakat tersebut.

Sebuah penelitian yang tertuang dalam Jurnal Psikogenesis menjelaskan beberapa gejala depresi yang ada pada remaja, antara lain:

  1. Hadirnya perasaan cemas hampir setiap hari di sepanjang hari. Ada yang berupa perasaan mudah tersinggung
  2. Penurunan kesenangan atau minat secara drastis dalam hampir semua aktivitas setiap hari di sepanjang hari 
  3. Terjadi penambahan atau penurunan berat badan secara signifikan tanpa disertai adanya upaya menjalani program diet atau penambahan berat badan
  4. Penurunan atau peningkatan nafsu makan
  5. Mengalami gangguan tidur, baik itu frekuensi tidur yang kurang maupun berlebih
  6. Sering timbul perasaan bersalah atau tidak berharga secara berlebihan

Depresi pada remaja biasanya tidak dapat terdeteksi sejak awal, karena pada masa remaja, terjadi kekacauan emosional. Gejala mungkin dapat dilihat bila terjadi permasalahan dengan teman sebayanya, atau di lingkungan sekolah.

Aksi bullying, perlakuan orangtua yang membandingkan anaknya dengan orang lain, ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga, akan membuat seorang remaja bingung. 

Ini mengapa banyak kasus kenakalan remaja seperti merokok, minum miras, pornografi, melawan orangtua, mencuri, seks bebas, tidak melaksanakan tugas, adalah wujud dari pencarian diri karena remaja sedang dalam kebingungan peran oleh sebab identitas dirinya belum mampu memberikan gambaran yang jelas akan perannya di masyarakat.

Jangan heran, bahwa remaja sekarang menganggap bahwa mengkonsumsi miras dan merokok merupakan sebuah aktivitas yang dianggap lazim oleh mereka. Terkejut? Ya, bagi saya.

Kemungkinan terburuk apabila tidak mendapat pertolongan, maka remaja yang mengalami depresi besar kemungkinan akan melakukan tindakkan bunuh diri. 

Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk menolong remaja yang bermasalah dengan depresi? Satu-satunya jawaban, cari pertolongan pada psikiater atau psikolog. Paling tidak, ia akan tertolong untuk hidup lebih nyaman.

Mari peduli, tebarkan empati.

Salam sehat

Sumber: www.who.intr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun